fantasia

cw // strong displays of dominance.


nafas omega itu benar-benar kacau. lagian, siapa juga yang siap untuk memaksa tubuh berlari di pagi hari, apalagi dengan matahari yang sudah lumayan menusuk kulit.

pun langkah kaki memelan saat gerbang sudah terlihat di mata, dada naik turun mencoba mengatur nafas secara perlahan.

ketika sudah begitu dekat, omega itu— sunghoon, berakhir mengernyit bingung. waktu di jam tangan masih tunjukkan pukul 7.25, ada sisa waktu 5 menit, lantas mengapa gerbang sudah ditutup?

“pak, permisi,” sunghoon panggil bapak security yang sedang duduk santai di posnya, “kalau boleh tau, mengapa gerbangnya sudah tertutup? bukankah seharusnya masih terbuka?”

jawaban yang didapatkan adalah geraman penuh amarah, membuat sunghoon terkejut karena ia yakin sudah bertanya dengan sopan. tanpa sadar, salah satu kaki mengambil satu langkah kebelakang— tanda bahwa ia takut, mau bagaimanapun ia adalah seorang omega, dan bapak-bapak itu adalah seorang alpha.

geraman tak berhenti, “banyak tanya,” security itu menghela nafas kasar, “gerbangnya tidak akan dibuka lagi sebelum jam-nya. salah sendiri datang mepet waktu.”

ah. rasanya sunghoon ingin menangis. salah apa sampai diperlakukan seperti ini? kakinya pegal, emosinya memuncak, dan ia terpikir tentang nilai kimia nya yang sudah pasti akan bernilai kosong— pagi ini benar-benar terburuk.

sunghoon sudah hampir ingin kembali ke rumah, sebelum akhirnya ada suara dari belakang—

“buka gerbangnya, pak. sekarang masih belum waktunya gerbang ditutup.”

seorang alpha, sunghoon bisa merasakannya. bisa merasakan dominansi yang begitu kuat terpapar lewat scent beraroma seperti vinyl tua bercampur dengan sedikit harum uap teh hitam panas.

alpha itu sedang memerintah. bukan kepada dirinya, namun sunghoon sudah hampir kehilangan akal sehat akibat sisi omega-nya yang terkena efeknya. kakinya melemas, bergetar tak karuan menahan tubuh agar tidak jatuh terduduk untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada sang alpha.

walaupun begitu, sunghoon masih bisa melihat dari pandangan yang lumayan kabur bahwa yang paling tua diantara mereka bertiga tambah terbakar emosi. seorang alpha mana mau diperintah oleh alpha yang lain— terutama apabila alpha yang memerintah jauh lebih muda.

“enak saja, memangnya kau sia—”

“—buka, pak. sekarang.

ini gila. sunghoon menutup mata takut, menggigit bibir kuat, dan gagal mengatur nafas yang begitu masai— tidak, dirinya terlalu terpengaruh. ia tidak sangka alpha dibelakangnya dapat memerintah begitu mutlak hingga security itu, yang notabenenya alpha lebih tua, mengikuti perkataannya. suara gerbang terbuka menjadi bukti.

“maaf.”

mata sunghoon langsung terbuka, menatap ke samping dimana alpha itu sekarang berdiri— astaga. bibir tanpa sengaja terbuka sedikit, mata berkedip berulang kali saat ia bisa mengenali alpha itu; heeseung. lee heeseung, grade 12.

mereka diam. tidak ada yang berbicara. sunghoon masih memandangi heeseung, walau tubuhnya sudah mulai tenang— tidak seperti tadi yang begitu lemah akibat scent penuh autoritas milik sang alpha.

setelah 2 menit, heeseung jadi pematah kesunyian diantara mereka. “sana, masuk. nanti telat.” alpha itu membuang muka saat selesai berucap, sehingga sang omega tidak yakin apa yang lebih tua melihatnya mengangguk sebagai jawaban.

namun sunghoon tidak percaya dengan suaranya sekarang, pasti akan bergetar apabila ia berucap satu kata sekalipun.

pada akhirnya, ia hanya menunduk kecil sebagai adek kelas yang sopan dan melangkah duluan—

sunghoon pergi, dengan jantung berdegup tidak karuan, dengan scent heeseung melekat begitu kuat di indera penciuman, dan bibir tanpa sadar bergumam, “alpha, my alpha.

heeseung hembuskan nafas lega. baru saja selesaikan laporan yang diminta sang ayah, pun tubuh bersandar santai di kursi ruang kerja.

ah, iya— belakangan ini heeseung tidak pergi ke kantor, toh juga tidak diwajibkan. asal marketing dan laporan tetap jalan, ayah pasti tidak masalah.

mata ditutup sebentar, heeseung berpikir apa yang perlu dilakukan sekarang. kalau sesuai dengan apa yang direncanakan, maka seharusnya sudah bergegas ke shelter karena jam menunjukkan pukul 4 sore.

apabila ingatan heeseung tidak salah, shelter tutup jam 6 sore. perjalanan dari rumah ke tempat itu estimasi kasarnya butuhkan 1 jam lebih. itupun kalau tidak ada kemacetan.

tapi apa perlu pergi ke sana? heeseung membuka matanya, merasa tidak ada guna ia ke sana— hanya untuk mencari mate semata-mata mendiamkan kalimat ibunda yang ribut di pikiran.

bagaimana kalau memang bertemu dengan mate yang akan dicinta seumur hidup?

hati berucap, pikiran terdiam. kadang kala hati selalu menyatakan hal yang benar, dan heeseung adalah orang yang lebih memilih suara hati dibanding pikiran— maka dari itu, kaki jenjangnya berdiri bersamaan dengan tangan menyambar jas hitam di gantungan dekat pintu.

heeseung pergi dengan hati yang senang dituruti, namun pikiran kacau akan didiamkan.


“selamat datang di shelter, tuan. ada yang bisa kami bantu?”

seorang perempuan, sepertinya beta dan sedikit lebih muda darinya, menyapa heeseung saat ia masuk ke tempat yang paling ia hindari.

aduh, mampus. heeseung harus menjawab apa atas pertanyaan yang dilontarkan oleh sang beta tersebut— “uh.. saya hanya mau..” bibir berhenti berucap setelahnya, malah gunakan tangan untuk ekspresikan apa yang ingin dikata.

“ooh, mau mencari mate ya?” pertanyaan hanya untuk memastikan, dijawab heeseung dengan anggukan kikuk. “kalau begitu, langsung masuk saja. disini bebas cari sendiri kok.”

masalahnya sekarang, heeseung seperti sesosok character dalam game ‘the sims’ atau seperti perwujudan dari meme ‘muhammad ibnu’ karena tidak tau mau bagaimana. ia berdiri kikuk di aula tengah, walaupun mata tetap diedarkan kesana kemari secara perlahan.

suara pintu terbuka dari sebelah kanan membuat kepalanya menoleh, dan heeseung membeku. scent harum bunga freesia memenuhi indra penciumannya, terlalu manis hingga hampir membuat kewarasan hilang.

seorang omega— rambut hitam legam, kulit bak salju pertama, berperawakan mungil namun tinggi.

entah berapa lama waktu heeseung habiskan hanya untuk menatap, sampai akhirnya terdengar teriakan dari perempuan yang sebelumnya menyambutnya, “sunghoon! kembali masuk ke kamarmu, ada alpha yang sedang berkunjung.”

ah. namanya sunghoon, toh. heeseung tersenyum sedikit mengetahui nama dari omega yang berhasil membuatnya terpikat, tetapi kemudian alisnya sedikit berkerut bingung mengingat apa yang dikata tadi—

kenapa sunghoon harus masuk kembali ke kamar, sedangkan omega dan beta yang lain sedari tadi dibebaskan untuk bermain disekitar heeseung yang notabenenya seorang alpha?

akhirnya heeseung putuskan untuk memanggil si beta di depan yang ia anggap sebagai penjaga shelter untuk sekarang, yang mana panggilannya langsung dijawab dengan “iya? ada apa, tuan?”

“saya sudah menemukan yang ingin saya jadikan mate.”

perempuan itu tersenyum mendengar perkataan heeseung, “senang mendengarnya, tuan. kalau boleh tau, siapa pilihan tuan?”

“sunghoon.”

TW // heavy angst, implied major character death, implied dead character, implied suicide, hallucinating, implicit descriptions of blood, hinted depression.


ia melihatnya.

ah, begitu ya? ternyata begitu kenyataannya. hidup ini selalu melawak, perlakukan diri bagai seonggok boneka dengan seutas tali siap untuk dikendalikan.

heeseung paham, ia selalu paham, maka dari itu sudah tidak asing lagi ketika hati tertawa kencang diatas rasa pedih memeras raga.

“lepas. lepaskan sekarang juga.” sesosok lelaki didepan heeseung menangis, memohon meminta ampun kepadanya yang masih larut dalam tawa.

pun menggeleng, “aku tidak bisa.” heeseung jawab dengan wajah datar— berbanding balik pada diri beberapa detik lalu.

“kau bisa.”

“aku sudah bilang, tidak.”

“aku juga sudah bilang, kau pasti bis—“

suara lelaki itu terputus, tepat saat heeseung melayangkan tangan kiri kedepan. begitu kuat hingga hancur, begitu perih hingga menembus kulit, begitu membakar menggelora diujung kepalan. bahkan berhasil teteskan merah mengalir tak karuan diantara jemari.

“aku tidak bisa melepaskanmu.” sekarang heeseung tatap sendu cermin didepannya, sudah tidak berbentuk akibat perlakukan sendiri. lantas tanpa disadari tangan penuh bercak merah itu mengambil salah satu serpihan kaca, mengarahkannya ke pergelangan tangan kanan—

heeseung tertawa lagi, “karena itu, bukankah lebih baik apabila aku menyusulmu, sunghoon?”

cermin itu sudah pecah, sama halnya seperti heeseung.

Sunghoon merengut— sedari tadi Heeseung tidak berhenti menggodanya semenjak mereka sudah berada di mobil.

Mulai dari puluhan ucapan selamat karena Sunghoon berhasil memenangkan juara kedua (padahal lelaki itu menang juara satu untuk olimpiadenya) hingga perihal yang lebih muda mengupload foto Heeseung duluan.

Apa Heeseung tidak sadar Sunghoon sudah benar malu? Apalagi tadi ditembak depan muka umum, ia bahkan sampai tutupi wajah dibelakang figur pacarnya itu selama lomba berlangsung karena begitu banyak siulan serta ucapan selamat datang dari orang-orang asing.

“Kak hee, udah! Aku malu.” Entah berapa kali Sunghoon ucapkan, hanya Heeseung balas dengan ketawa. Tetapi kali ini sepertinya yang lebih tua sudah merasa cukup, “Iya iya ini aku berhenti kok, sayang.”

Sayang, katanya. Jujur saja, Sunghoon belum terbiasa. Kedua pipi memekar merah, langsung membuang muka sok alihkan perhatian ke riuh jalanan sore hari.

Tidak ada yang berbicara setelahnya. Pun Sunghoon biarkan pikiran untuk ribut— ini semua agak gila, ya? Siapa yang sangka ia bisa mendadak jalin kisah kasih bersama Heeseung hanya karena berdua saling berbicara di meeting para ketua club? Bahkan dirinya sendiri saja masih tidak percaya.

’Sepertinya aku harus beri ucapan terimakasih pada Kak Seungmin,’ Sunghoon terkekeh dalam diam. Kalau hari itu bukan dirinya yang jadi perwakilan, sekarang mana mungkin bisa dapat gelar kekasih dari Heeseung.

Selama terlarut dalam pikiran, Sunghoon tidak bisa tahan senyuman membingkai bibir. Betapa beruntu—

“Aku cinta kamu, Sunghoon.”

Rantai pikiran langsung terputus. Sunghoon membelalak, menoleh secepat kilat ke arah Heeseung yang masih setia menatap jalanan.

“Kak?! Kenapa— kenapa mendadak banget..?”

Heeseung tertawa. Sedikit menoleh sebentar ke arah Sunghoon, tersenyum semakin lebar mengetahui yang lebih muda total malu akibat perkataannya tadi.

“Ya gak apa-apa. Aku cuma mau bilang aja.”

Angguk patah-patah, Sunghoon gigit kecil bagian dalam bibir bawah— jantungnya seperti sedang marathon hingga seluruh tubuh berasa ringan layak raga diangkat.

“Aku.. juga,” Sunghoon hembuskan nafas, “Aku juga cinta sama kamu, kak.” Kalimat terakhir berubah gumaman, yang mana untungnya Heeseung tetap mendengar.

Ada jeda beberapa detik sebelum Heeseung ketawa, geleng-geleng tidak percaya karena— gila, astaga, mereka ini seakan hidup dalam dunia romansa picisan. Sunghoon juga berakhir ikut tertawa, menunduk malu dengan jemari yang entah bagaimana bisa terkait dengan jemari kekasihnya.

Ah. Sunghoon berharap ini semua bisa bertahan selamanya— atau kalau tidak, sampai kata ‘selamanya’ itu sendiri hancur.

Please welcome, entry five for short program— perwakilan dari Belift Highschool, Park Sunghoon.”

Tenang.

Semua akan baik-baik saja.

Nafas ditarik, dihela, ditarik, dan dihela— sehentak dengan ritme kaki berhias roda yang berangsur-angsur berjalan ke tengah. Rerumbaian berlukis ungu di bagian pundak kelilingi hingga lengan setia ikuti pergerakan Sunghoon kala ia kelilingi sepetak lahan—sekaligus memberi hormat— yang harus diri kuasai untuk performa terbaik.

Beberapa detik sunyi. Sunghoon hanya bisa dengar jantung berdegup layak tiada hari lain. Lalu nada lembut terlampau familiar merasuki indera pendengaran, badan secara langsung bergerak sesuai apa yang otot ingat.

Namun fokusnya tidak kunjung datang. Mata masih setia curi pandang kearah penonton, yang mana Sunghoon bisa lihat ada Jake dan Sunoo berdiri dekat pelatihnya. Tidak ada dirinya, Heeseung tidak ada.

Ah, tidak. Sunghoon paksa atensi kembali, ia tidak bisa kehilangan fokus. Sebentar lagi, sebentar lagi diri harus lakukan—

trak

Dan dengan segitu gampangnya, jump pertama-nya berakhir gagal. Secepat mungkin langsung kembalikan keseimbangan. Sunghoon lanjutkan aksinya dengan nafas masai akan kecewa pada diri sendiri.

Untuk apa kamu lakukan skating? Apa kamu sedari dahulu hanya melakukannya untuk Heeseung?

Pikiran tersebut masuk dalam pikiran begitu saja. Buat Sunghoon tersadar. Benar, semua yang sekarang dilakukan, bukan untuk lelaki itu— persetan ia mau datang atau tidak. Sunghoon mendalami semua karena memang diri suka. Adalah sebuah kesalahan besar kehilangan arah terhadap hal sesimpel itu, Sunghoon tarik nafas perlahan atur emosi.

Tenang. Semua akan baik-baik saja. Sama seperti apa yang tadi dikatakan.

Yang sedari tadi ditunggu pun kembali, fokusnya. Tanpa basa-basi, Sunghoon ukirkan keindahan di tengah, tinggalkan seluruh kesalahan dibelakang dan tunjukkan sisi kesempurnaan yang selalu ia visualisasikan bak salju pertama— indah, begitu indah.

Bahkan Sunghoon bisa tidak sadar musik telah terhenti, jikalau riuh tepuk tangan tidak ribut dalam gedung kecil itu.

“Park Sunghoon, a total score of 57.45

Astaga. Melewati 50? Sunghoon kira akan lebih rendah dari itu. Senyum tidak lepas dari wajah ketika ia kembali ke arah penonton, sebelum akhirnya dihentikan dengan lampu yang mendadak mati.

Tubuh Sunghoon terlonjak sedikit— apa-apaan? Masa mendadak mati lampu di lomba seperti ini? Secara tidak langsung cari cahaya, yang mana ditemukan kala salah satu lampu sorot menyala. Mengarah pada seseorang diujung tangga masuk gedung.

Lemas. Kaki Sunghoon lemas. Ia tau, sangat tau siapa itu— siapa lagi selain Lee Heeseung, lelaki yang sedari tadi disumpah-serapah dalam hati.

Rasanya bisa menangis pada saat itu juga. Apalagi Heeseung berjalan ke arahnya, ada kotak kecil dibawa dalam genggaman tangan kiri, walau Sunghoon tidak sepenuhnya tau apabila itu benar atau bukan— mata sudah tidak bisa fokus akibat tangis yang mulai menggenang.

“Sunghoon,” Heeseung berkata saat mereka berhadap-hadapan, “Maaf telat, aku memang sengaja sih.” Kekehan mengait di akhir.

Tidak ada balasan dari yang lebih muda. Akhirnya Heeseung lanjutkan berbicara, “Tadi aku melihatmu. Kamu— astaga, luar biasa indah, cantik, sempurna. Aku sampai gak tau mau jelasinnya gimana.”

Berhenti. Sunghoon memohon agar Heeseung berhenti dalam batin. Ia tidak mau menangis, hanya saja yang lebih tua itu mengiring begitu banyak emosi hingga meluap-luap membakar relung.

Tetapi Heeseung tidak mau berhenti. Tidak, sampai semua janjinya yang telah diikat tuntas.

Therefore,”

Kotak kecil yang sebelumnya digenggam Heeseung buka, tunjukkan adanya sebuah kalung dengan sebuah hiasan abstrak sedikit terlihat seperti sebuah hati. Dan ya, tentu— tidak butuh waktu lama untuk kalung tersebut dipasangkan di leher Sunghoon yang mematung.

I’ll be honored— very honored— if you accept me as your boyfriend, Park Sunghoon.

Bel jam istirahat berdengung, Sunghoon hembus nafas lega. Pulpen yang sedari tadi bersemayam di jemari langsung terlepas. Kepala sedikit agak pusing setelah belajar non-stop tentang kimia, namun apa daya? Sedari beberapa hari lalu selalu ambil jam kimia sebagai waktu untuk latihan.

“Besok— lomba kan?” Pertanyaan dari Sunoo, entah bagaimana bisa sahabatnya dari kelas 4-C itu bisa cepat ambil jam istirahat dan duduk di bangku Jake yang kosong (kalau penasaran kenapa, lelaki darah Australia itu sedang mewakilkan perusahaan keluarganya)

“Ya iya.”

Jujur, rasanya begitu cepat. Sudah satu hari sebelum lomba, terhitung seminggu lebih tidak begitu berkomunikasi dengan Heeseung.

Ah. Heeseung. Omong-omong tentang lelaki itu, mereka masih baik-baik saja kok. Walau terbatas sekali pembicaraan, hanya terletak di awal serta penghujung hari. Itupun biasa membahas tentang ‘Bagaimana sekolah tadi?’ ‘Jangan kecapean ya,’ sehabis itu sudah. Tidak ada lagi percakapan. Ruang chat mereka benar-benar penuh debu.

Tetapi Sunghoon tidak lagi mempermasalahkan. Diawal memang ia bilang kangen, rindu— pokoknya segala macam bentuk rasa yang kelungkup hati— namun lama kelamaan terbiasa. Toh, mereka lakukan ini untuk kebaikan masing-masing.

“Halo untuk manusia bernama Park Sunghoon, masih hidup gak sih?”

Mata beberapa kali berkedip, coba kembalikan atensi ke sang adek kelas berambut pirang. “S-sorry.. lagi kecapean.”

Sunoo rotasikan mata sambil hela nafas, “Kalau itu mah semua orang bisa liat. Bilang aja tadi lagi pikirin Kak Heeseung.”

Jackpot— Sunghoon heran entah ini salah diri karena terlalu gampang dibaca atau memang Sunoo pintar tebak isi pikiran orang lain.

“Jangan tanya kenapa gue tau, keliatan jelas.” Kembali lagi Sunoo baca pikiran. “Oh iya, gimana kabarnya kalian berdua? Masih saling ambis gini?”

Sunghoon sedikit menoleh, “Masih. Kan kembali lagi nanti pas udah selesai lomba.” Besok. Mereka kembali lagi besok. Ada alasan jelas mengapa Sunghoon sedikit merasa gugup— sebenarnya bukan sedikit, melainkan sangat— karena Heeseung selalu saja berkata bahwa ia akan berada disana, menonton Sunghoon.

Bahkan di pagi setelah hari mereka berucap kesepakatan, bukannya berkata kangen seperti apa yang dikata di twitter, malah Heeseung lantunkan janji kedua— ‘Aku akan menantikanmu, cantik.

“Kak, gak usah gugup.” Sunoo kembali mengintrupsi, buat Sunghoon rasa bersalah akibat terlalu larut dalam pikiran lagi. “Pasti besok bakal biasa aja, pasti kembali menang lagi kayak sebelumnya.”

Sunghoon tau itu. Ia berlatih begitu lama, berteman dengan rasa sakit begitu sukarela, tidak mungkin semua itu khianati semudah membalikkan kertas.

Lalu mengapa—

Mengapa sekarang Sunghoon terlilit rasa gugup hingga rasanya begitu memuakkan? Seluruh kalimat Sunoo tempo hari menghilang, begitu pula rasa kepercayaan dirinya.

Apa karena mata sedari tadi tidak bisa temukan Heeseung dimanapun, padahal sebentar lagi giliran Sunghoon untuk tampil. Tidak, tidak, Heeseung benar akan datang kan?

Lelaki itu sudah berjanji.

“Terimakasih atas hari ini, kalian bisa pergi.”

Suara pelatih menggema, Sunghoon tersenyum penuh kemenangan— bagaimana tidak? Ia berhasil menyempurnakan gerakan-gerakan untuk lomba nanti.

Hari ini lumayan menyenangkan, pikirannya menyimpulkan kala kaki jalan keluar, tapi itu jika kejadian tadi pagi tidak dihitung sih. Ah, ia jadi ingat. Heeseung menyuruhnya untuk ke atap sekolah saat mereka berpapasan di waktu istirahat kedua, dikata lebih baik apabila mereka berbicara disitu dibanding di mobil.

Itu sedikit membuat Sunghoon senang. Setidaknya, Heeseung tau apa yang ia ingin bicarakan memang penting. Tidak bisa disepelekan begitu saja.

Maka dari itu, Sunghoon cepatkan langkah kaki. Apalagi langit sudah berlukis oranye bercampur ungu pudar saat diri sampai di atap. Namun, ini aneh. Sunghoon mengernyit, sama sekali tidak ada siapapun disana. Heeseung belum datang.

Kepikiran, Sunghoon jadi kepikiran. Sepercayanya diri pada yang lebih tua, tetap tidak cukup untuk hentikan awan tebal berisi pikiran buruk tutupi akal. Bagaimana jika Heeseung lupa, atau apabila Heeseung sudah pulang duluan? Bisa juga Heeseung tidak mau berbica—

“Hey, Hoonie. Sorry agak telat, kamu pasti udah nunggu lama ya?”

Sunghoon rasanya mau berterimakasih pada siapapun yang buat Heeseung selalu datang di saat yang tepat. Kepala ditolehkan, gelengan ia beri sebagai jawaban.

Ada senyuman lembut merangkai bibir Heeseung, dengan tangan yang acak sedikit rambut Sunghoon. “Ayo, kita bicara.”

Jujur. Jantung Sunghoon mau meledak. Seakan berada di dunia film romansa, ini semua terlalu indah untuk dirasakan olehnya— Heeseung duduk disamping, jemari terkait jemari, disaksi-bisukan oleh senja.

Tidak, tidak bisa begini— Sunghoon tarik nafas perlahan guna tenangkan pikiran. Bibir terasa susah bergerak, walau pada akhirnya berhasil,

“Kak hee, d—don’t you think.. we’re both bad influences to each other..?” Salah satu alis Heeseung naik keatas, seperti mempertanyakan namun tidak bersua, menunggu sampai Sunghoon jelaskan alasan.

“Maksudku, bukan berarti kakak buruk buat aku atau gimana— lebih kayak.. whatever we have right now, aku ngerasa itu yang berdampak.. ke- itu.. uh… ”

Perkataan Sunghoon terhenti. Masih mencari kata tepat, otak tiba-tiba hilang kosakata. Mata berkedip berulang kali— astaga, Sunghoon benar lupa. Padahal sudah diujung lidah siap diucapkan.

“Prestasi kita?” Akhirnya Heeseung bersuara, Sunghoon angguk pelan. Mulai rasa takut karena bisa saja yang lebih tua akan lihat dirinya dengan perspeksi buruk.

Sunyi. Baru beberapa menit setelahnya yang lebih tua ambil kesempatannya untuk jawab, “I think so too, honestly. Tapi aku rasa karena emang waktunya gak tepat. Kita lagi pdkt-an gini pas deket sama lomba-lomba yang seharusnya kita fokus ke situ, dan kamu lomba tanggal 27 kan?”

Sunghoon berpikir sebentar mengingat dengan pasti, “Iya, kak. Hari sabtu.”

“Aku juga olimpiade di hari yang sama, Hoon. Jadinya gimana kalau.. we take a break from what we are right now, dan kembali lagi habis semuanya selesai? Untuk seminggu lebih beberapa hari aja.”

Take a break. Bagai pasangan sedang dilanda masalah saja, Sunghoon tawa miris dalam diam. Tetapi ia tau, itu jalan terbaik. Sunghoon juga tau kalau mereka paksa semua, pasti berakhir jadi penghancur apa yang telah mereka kuasai dan bangun selama bertahun-tahun lamanya. Berdua mana mau hancur semudah itu karena cinta.

Pun Sunghoon setuju. “Iya, lebih baik gitu.” Hanya saja diri bukan seorang aktor handal dalam sembunyikan perasaan dibalik topeng, dan Heeseung bukan seorang buta akan keadaan.

“Jangan sedih dek,” Ada ketawa kecil terselip, “Kita masih pulang-pergi sekolah bareng kok. So we just.. won’t be able to chat often, but not completely acting like strangers.

Helaan nafas lega tidak bisa ditahan tidak keluar, “Aku kira kakak bakal bener-bener buat kita lost contact gitu aja.”

“Gak mungkin, yang ada aku bakal kangen banget sama kamu dan tambah hilang fokus.”

Bisakah Heeseung tidak menggombal lalu menatapnya seakan ia adalah satu-satunya orang di dunia ini pada saat yang sama? Jantung Sunghoon serius bisa keluar sangking kencang degupan.

Alih-alih menjawab, Sunghoon lepas atensi dari Heeseung. Sembunyikan rona merah mulai memekar di pipi. Telinga tangkap Heeseung tertawa lepas, “Gemes. Kamu gemes, Sunghoon.”

Diam! Pikiran Sunghoon mengamuk. Ayolah, mereka sebentar lagi akan jarang bertemu— Heeseung seharusnya tidak membuat Sunghoon semakin jatuh seperti itu.

“Oh iya,” Heeseung berkata seakan ingat sesuatu, Sunghoon langsung kembalikan atensi. “Kamu mulai lomba nanti jam berapa?”

“Jam 3 sore, emangnya kenapa kak?”

Muka Heeseung berubah begitu cerah. Layak bertemu harta karun. “Aku bisa nonton kamu, no, I’ll definitely watch you, karena olimpiadenya selesai jam 2.”

“Eh?! Serius?”

“Serius, cantik— eh udah yuk, pulang. Udah sore banget, nanti kamu dicariin orang tuamu.”

Heeseung berdiri, salah satu tangan membantu tarik Sunghoon dari posisi duduk. Tetapi sebelum mereka berjalan keluar dari atap, Heeseung secara lembut tarik Sunghoon dan memeluknya, sambil berbisik di telinga—

“Sebentar saja ya, Sunghoon? Setidaknya biarin kita gini dulu. Jadi nanti besok dan selanjutnya sampai seminggu, aku bisa coba untuk gak terlalu kangen sama kamu.”

warning! this chapter contains : strict parents (only mentioned briefly, though.)


Heeseung mendengus. Memang bukan pertama kali berada di ruang kepala sekolah, tapi baru kali ini duduk untuk diceramahi akan sikap, bukan ucapan kagum atas prestasi.

Lagian juga, ini janggal. Bukankah untuk masalah sepele— bagi Heeseung sih, sangat sepele— seharusnya diarahkan ke ruang BK? Kenapa malah sekarang didudukkan berhadapan dengan sang kepala sekolah? Heeseung tidak habis pikir.

“Nak Heeseung, apa benar tadi terlibat perkelahian?”

Mau tidak mau, Heeseung mengangguk. “Saya hanya mencoba membela Sunghoon, Pak. Lelaki itu sepertinya seangkatan saya. Ia tadi berkata sangat buruk dan menjelekkan Sunghoon.”

“Bukan berarti boleh memukulnya begitu saja, nak.” Terdengar helaan nafas keluar dari yang lebih tua, “Nak Heeseung tau sendiri kan akibatnya apabila bapak panggilkan orang tuamu kesini?”

Badan Heeseung seketika menegang kala orang tuanya disangkut-pautkan. Coba sekuat tenaga untuk kontrol ketakutan yang mulai muncul, sebelum akhirnya mengangguk lemah sebagai jawaban pertanyaan tadi.

“Bapak tau seberapa keras orang tuamu, sehingga kali ini tidak akan bapak panggil dan beri tau. Tetapi lain kali, jangan bertindak diatas emosi nak. Bapak ingatkan kalau kamu anak emas sekolah ini, teladan bagi adek-adek kelas, sehingga yang Nak Heeseung lakukan akan berdampak banyak. Paham?”

Tidak ada yang bisa dilakukan selain berkata “Paham, pak.” Pun setelahnya Heeseung berdiri, menunduk beri hormat, kala dirasa perbincangan sudah selesai. Tangan sudah mendorong pintu, hampir saja keluar jikalau sang kepala sekolah tidak membuka mulutnya lagi.

“Ini memang bukan urusan bapak, tapi..” Kalimat dijeda dengan sebuah tarikan nafas, “Cinta tidak baik untukmu, Heeseung. Tidak baik bagi seseorang secerdas dan secemerlang dirimu.”

Mendengarnya, Heeseung tertawa miris dalam diam. Aku tau itu.


Ting nong, ting nong.

Sudah jam istirahat pertama. Heeseung geleng kepala, selama itukah tadi pembicaraannya bersama bapak kepala sekolah? Ia bahkan tidak sadar.

Akhirnya lanjutkan langkah, tidak jadi balik ke kelas, melainkan ke arah ruang klub astronomi. Ada beberapa hal yang harus diurus, yang mana sedari kemarin malam tidak sempat diselesaikan.

Tetapi Heeseung sedikit lupa. Perjalanannya ke ruang klub kesayangan itu, sudah pasti lalui kelas Sunghoon. Baru ingat kala mata bertemu mata— Heeseung tersenyum lebar melihat Sunghoon, seakan semua kejadian tadi langsung menghilang.

Beberapa detik kemudian terlihat Sunghoon seperti ingin berdiri, ingin berbicara— sayangnya, Heeseung sontak menggeleng. Tidak memperbolehkan. Tangan bentuk signal sebuah handphone dan bibir berbicara tanpa suara, “Maaf, dek. Aku lagi ada urusan. Let’s do it in chat, yeah?

Walau Sunghoon mengangguk, Heeseung tidak bisa lewatkan raut kecewa yang muncul sesaat di wajah yang lebih muda.

warning! this chapter contains : mild degradation, bad-mouthing, heavy fight scene, minor violence.


“Astaga!”

Sunghoon berteriak kaget, paksa tubuh untuk duduk tegap walau pusing memenjara kala ia baru saja terbangun.

Ia tau ia pasti tertidur, padahal tadi malam— ya ampun, bisa-bisanya. Sedang asik berbicara bersama Heeseung malah berakhir begitu. Jujur saja, malu.

Tambah malu lagi ketika telinga tangkap suara dari handphone yang ditaruh disamping bantal, “Selamat pagi, Hoonie.”

Sontak tangan langsung raih, mata melotot tidak percaya bahwa Heeseung sama sekali tidak mematikan panggilan dari jam entah berapa. Disitu tertera jelas di layar, 6 jam 45 menit 31 detik— segitu lamanya.

Jadi kepikiran, bagaimana— bagaimana kalau saat tidur Sunghoon mengigau? Atau mengeluarkan suara apapun yang memalukan? Astaga mama, tolong anakmu malu huhu.

“Dek? Kok gak dijawab?”

“Hah— e-eh iya kak, selamat pagi juga.” Duh, Sunghoon ingin loncat saja rasanya. Terdengar suara ketawa Heeseung mengalun diujung sana, seakan ketahui Sunghoon salah tingkah.

“Gimana tidurnya? Pasti nyenyak ya? Gih sana siap-siap, 20 menit lagi aku jemput.”

“Iya, nyenyak— bentar… 20 menit lagi?! Astaga kalau gitu aku matiin ya kak,” Sunghoon benar tidak sadar kalau diri bangun telat sehingga langsung mengaduh, “Dadah!”

“Dadah, sayang.”

Ah. Coba saja Sunghoon dengar perkataan Heeseung tersebut, pasti sekarang bukannya bersiap-siap malah akan berteriak tidak karuan. Untung saja ia tidak dengar.


Masuk ke dalam mobil Heeseung itu seperti— aduh, apa ya? Intinya penuh kenyamanan, dilapis aroma kopi halus yang perlahan memeluk keseluruhan raga.

Mereka tidak ada berucap, tidak sama sekali. Hanya alunan dari lagu ‘Black Butterflies and Déjà Vu’ dari The Maine jadi pengisi sunyi—“Lagu ini mengingatkanku padamu.” Begitu kata Heeseung sesaat segelah lagu itu diputar pertama kali, dan Sunghoon tidak bisa tahan letupan kecil di dalam relung ketika ia dengarkan liriknya.

Perjalanan mereka terasa singkat— Sunghoon hembuskan nafas, mata sudah bisa lihat bangunan sekolah dari kejauhan. Walau begitu saja, Heeseung seperti paham. Maka dari itu jemari langsung bertemu. Mengait satu sama lain. Seakan ingin beri tau, ‘Tenang, ada aku.’

Dan benar. Sunghoon kali ini keluar dari mobil tidak sendirian, melainkan telak dirangkul oleh Heeseung. Banyak bisik-bisik dilayangkan, hanya saja Sunghoon sekuat tenaga untuk tidak peduli— tetap langkahkan kaki jangkung dengan wajah sedikit dinaikkan, tunjukkan bahwa diri memang setara berjalan samping Heeseung.

Semua baik saja, hingga ada satu bisikan yang buat Sunghoon mual. Hati seakan dirampas paksa lalu dilindas berulang kali.

Lihat, dasar penjilat.

Gila. Panas, matanya sangat panas menahan tangis. Awalnya, Sunghoon coba lupakan saja, tetapi Heeseung tidak sepemikiran. Lelaki kesayangan sekolah itu dengar semuanya. Tangan yang sebelumnya rangkul, beralih dan melayang tepat di pipi entah siapa lelaki yang bicarakan Sunghoon.

Sunghoon kaget. Terdiam di tempat. Tidak menyangka Heeseung akan lakukan sejauh itu, demi membelanya.

“Brengsek, apa yang tadi lo bilang tentang Sunghoon, hah? Ulangin lagi—“ Pukulan kembali dilayangkan, “Gue mau denger lo bilang itu lagi biar gue bisa hancurin muka lo sekalian.”

“Ma-maaf, gua gak bermak—“ Belum sempat lelaki itu berkata, Heeseung masih kalap dalam emosi hingga tangannya kembali memukul, bahkan tangan satunya sekarang tarik kerah lelaki itu kuat. Kala itu, Sunghoon langsung tersadar. Tidak, tidak, ini sudah terlalu jauh. Heeseung bisa kena masalah karena ini.

Pun tangan Sunghoon— walau bergetar— tahan tangan Heeseung yang sedari tadi dipakai untuk menghajar, “K-kak.. kak hee, udah kak.”

Heeseung toleh ke belakang. Raut wajah terlihat jelas menolak, “Enggak, hoon. Dia.. dia ngomongin kamu gitu, aku gak bisa diem doang. Dia perlu aku—“

“—Sst. Udah ya, kak? Aku gak apa-apa kok.”

Perlahan Sunghoon putarkan badan Heeseung, menjauhkan kakak kelasnya itu dari lelaki tadi. Mereka diam— Heeseung cari ketenangan dengan coba dengarkan ritme nafas Sunghoon, walau susah karena sekeliling mereka ribut karena tidak percaya lelaki yang dianggungkan sekolah berani melayangkan pukulan begitu saja.

Tapi sial sekali. Dalam diam itu, Sunghoon lihat jelas dari ujung matanya. Para guru sudah datang, dan Sunghoon tau benar bahwa Heeseung pasti akan dibawa ke ruang kepala sekolah.

Kalimat penuh kagum tiada henti keluar dari belah bibir Sunghoon. Pantas, pantas saja. Heeseung sematkan gelar favorit ke tempat ini bukan tanpa alasan. Lihat, cantiknya hamparan penuh hijau tempat ia berdiri.

Belum lagi, malam ini awan seakan bersembunyi— mewujudkan sinar rembulan bercampur kelip bintang kompak menerangi berdua.

“Kayaknya kita lagi beruntung nih,” Heeseung berkata layak bisa baca pikiran Sunghoon, “Ayo sini dek, duduk.”

Jemari bertemu jemari, Sunghoon dituntun lembut agar duduk didepan Heeseung. Tanpa sadar kedua lutut bersentuh dengan tungkai terjerat satu sama lain. Baru begini saja, jantung sudah mulai berdegup terlalu kencang.

Tidak ada yang berbicara. Namun tidak canggung, kok. Masing-masing saling hirup rakus kenyamanan yang menyelimuti. Bahkan Sunghoon berani berkata— walau mereka hanya diam, mereka masih tetap ribut dalam hati yang bergumam meminta pasangannya.

Tetapi sekarang tidak bisa begitu, kan sudah direncanakan mau mengenal satu sama lain lebih dalam lagi. Makanya Heeseung berdeham sedikit, kembali jadi orang pertama pembuka pembicaraan.

“Uh.. kita kenalan formal aja dulu kali ya,” Tangan Sunghoon kembali dipegang secara perlahan, “Namaku Heeseung. Lee Heeseung. Ketua klub astronomi, kelas 4-A. Salam kenal, cantik.”

“A—aku.. aku Park Sunghoon. Kelas 3-B, member klub sepatu roda. Salam kenal, Kak Hee.”

Langsung tertawa lepas. Mereka benar rasa canggung, berkenalan seperti itu. Apalagi bila diingat-ingat, hubungan mereka sudah layak orang berpacaran setahun lebih.

Heeseung kemudian menyeletuk, “This is too awkward,” yang mana langsung disetujui oleh Sunghoon melalui anggukan.

Ada jeda 2 menit penuh keheningan. Mungkin sama-sama berpikir mau berkata apa, mau membawa topik apa.

“Gimana kalau kita main 10 questions?”

Itu Sunghoon yang ajukan. Tentu tidak mungkin Heeseung tolak. Awalnya, bingung akan siapa yang bertanya duluan— Sunghoon bersikeras lebih baik Heeseung saja, namun Heeseung merasa Sunghoon yang lebih cocok jadi penanya pertama.

Mereka berakhir memilih main siut, daripada ribut. Hasilnya dimenangkan oleh Sunghoon, sehingga Heeseung lah yang bertanya duluan.

“Aku tanya yang gampang dulu aja ya, what kind of things do you like?”

“Hm… banyak sih, kak. Yang jelas pasti skating sama latte.”

Heeseung manggut-manggut paham, lalu mempersilahkan Sunghoon untuk berbalik bertanya padanya.

Yang lebih muda pun tenggelam dalam pikiran akibat mencari pertanyaan tepat— “Ah iya! Aku dari kemarin penasaran. Kakak kenapa masuk klub astronomi? Kan bisa masuk klub olimpiade, atau bahasa inggris.”

Kekehan jadi awalan dari jawaban, “Simpel aja sih. Aku suka belajar tentang bintang-bintang. Menurutku lebih seru, daripda hal yang lain.”

“Kalau gitu, tell me about the stars. Aku mau tau, kak.”

Mata Heeseung berbinar tepat setelah Sunghoon berkata. Layak anak kecil diberi mainan kesukaan pada umur 5 tahun. Lucu.

Tanpa sadar, tangan kanan Heeseung merangkul bahu Sunghoon— menariknya lebih dekat hingga helaian rambut mereka bertemu sambil telunjuk tangan kirinya tunjuk ke salah satu bintang diatas.

“Lihat itu, kan?” Tanya Heeseung yang mana Sunghoon langsung mengangguk, “Itu namanya Altair. Salah satu bintang dari The Summer Triangle. Dia bagian dari konstelasi yang biasa disebut Aquila, sekarang kita bisa liat lumayan jelas karena dia bintang paling cerah di konstelasinya sekaligus sekarang lagi summer,

“Seharusnya kita juga bisa lihat Deneb sama Vega— bagian dari The Summer Triangle juga— tapi mungkin bisa dilihatnya harus pakai teleskop. Nah kalau Deneb, itu dari Cygnus, konstelasi yang bentuknya kayak angsa. Kalau Vega, dari Lyra. Aku belum terlalu hafal tentang Lyra sepenuhnya sih, jadi segitu aja yang aku bisa jelasin.”

Tidak ada respon. Sunghoon telak kagum, lihati Heeseung dengan tatapan penuh admirasi. Itu buat Heeseung agak panik, “E-eh, aku jelasin terlalu panjang ya? Sorry.”

Sontak Sunghoon menggeleng, tersenyum lebar— beri tau tanpa suara bahwa ia suka, sangat suka. Mau selama apapun Heeseung berbicara tentang bintang, Sunghoon akan terus dengarkan.

“Kalau— kalau gitu, giliranku bertanya kan? Sama kayak pertanyaanmu tadi. Kenapa kamu bisa suka roller skating?” Entah kenapa Heeseung tergagap sendiri, mulai melepas rangkulannya dan sedikit menjauh ikuti posisi awal.

Sunghoon berpikir sebentar, “Hmm. No particular reasons. Aku emang suka, dan kebetulan orang tuaku dukung dari kecil, tapi jujur.. aku lebih senang ice skating dibanding sepatu roda— sayangnya, hiring an ice rink everyday for practicing is so expensive, dan sekolah-sekolah jarang ada klubnya. Jadinya aku fokus ke roller skating aja.”

Mulut Heeseung terbuka membentuk sebuah “O” sambil mengangguk, sebelum akhirnya mata tangkap waktu di jam yang lekat di pergelangan tangan. Sudah larut.

“Eh, astaga— sekarang udah jam 8. Kamu harus pulang,” Tangan Heeseung bantu Sunghoon berdiri, lalu digandeng sampai masuk ke dalam mobil tanpa dengar apa yang lebih muda itu mau katakan.

Mereka diam selama perjalanan, seperti mengutuk waktu yang berjalan begitu cepat. Tetapi sebelum benar-benar berpisah, Heeseung berucap—

“Sunghoon, Aku gak mau kamu ngerasa kita bakal gini-gini aja terus. Jadi sebelum kamu masuk ke rumah, aku mau janji,”

“Hah? Gimana.. maksudnya? Janji apa kak?”

That I’ll truly make you mine, sooner or later. I promise.