Ikat Janji Padaku (Bagian Kedua)

Please welcome, entry five for short program— perwakilan dari Belift Highschool, Park Sunghoon.”

Tenang.

Semua akan baik-baik saja.

Nafas ditarik, dihela, ditarik, dan dihela— sehentak dengan ritme kaki berhias roda yang berangsur-angsur berjalan ke tengah. Rerumbaian berlukis ungu di bagian pundak kelilingi hingga lengan setia ikuti pergerakan Sunghoon kala ia kelilingi sepetak lahan—sekaligus memberi hormat— yang harus diri kuasai untuk performa terbaik.

Beberapa detik sunyi. Sunghoon hanya bisa dengar jantung berdegup layak tiada hari lain. Lalu nada lembut terlampau familiar merasuki indera pendengaran, badan secara langsung bergerak sesuai apa yang otot ingat.

Namun fokusnya tidak kunjung datang. Mata masih setia curi pandang kearah penonton, yang mana Sunghoon bisa lihat ada Jake dan Sunoo berdiri dekat pelatihnya. Tidak ada dirinya, Heeseung tidak ada.

Ah, tidak. Sunghoon paksa atensi kembali, ia tidak bisa kehilangan fokus. Sebentar lagi, sebentar lagi diri harus lakukan—

trak

Dan dengan segitu gampangnya, jump pertama-nya berakhir gagal. Secepat mungkin langsung kembalikan keseimbangan. Sunghoon lanjutkan aksinya dengan nafas masai akan kecewa pada diri sendiri.

Untuk apa kamu lakukan skating? Apa kamu sedari dahulu hanya melakukannya untuk Heeseung?

Pikiran tersebut masuk dalam pikiran begitu saja. Buat Sunghoon tersadar. Benar, semua yang sekarang dilakukan, bukan untuk lelaki itu— persetan ia mau datang atau tidak. Sunghoon mendalami semua karena memang diri suka. Adalah sebuah kesalahan besar kehilangan arah terhadap hal sesimpel itu, Sunghoon tarik nafas perlahan atur emosi.

Tenang. Semua akan baik-baik saja. Sama seperti apa yang tadi dikatakan.

Yang sedari tadi ditunggu pun kembali, fokusnya. Tanpa basa-basi, Sunghoon ukirkan keindahan di tengah, tinggalkan seluruh kesalahan dibelakang dan tunjukkan sisi kesempurnaan yang selalu ia visualisasikan bak salju pertama— indah, begitu indah.

Bahkan Sunghoon bisa tidak sadar musik telah terhenti, jikalau riuh tepuk tangan tidak ribut dalam gedung kecil itu.

“Park Sunghoon, a total score of 57.45

Astaga. Melewati 50? Sunghoon kira akan lebih rendah dari itu. Senyum tidak lepas dari wajah ketika ia kembali ke arah penonton, sebelum akhirnya dihentikan dengan lampu yang mendadak mati.

Tubuh Sunghoon terlonjak sedikit— apa-apaan? Masa mendadak mati lampu di lomba seperti ini? Secara tidak langsung cari cahaya, yang mana ditemukan kala salah satu lampu sorot menyala. Mengarah pada seseorang diujung tangga masuk gedung.

Lemas. Kaki Sunghoon lemas. Ia tau, sangat tau siapa itu— siapa lagi selain Lee Heeseung, lelaki yang sedari tadi disumpah-serapah dalam hati.

Rasanya bisa menangis pada saat itu juga. Apalagi Heeseung berjalan ke arahnya, ada kotak kecil dibawa dalam genggaman tangan kiri, walau Sunghoon tidak sepenuhnya tau apabila itu benar atau bukan— mata sudah tidak bisa fokus akibat tangis yang mulai menggenang.

“Sunghoon,” Heeseung berkata saat mereka berhadap-hadapan, “Maaf telat, aku memang sengaja sih.” Kekehan mengait di akhir.

Tidak ada balasan dari yang lebih muda. Akhirnya Heeseung lanjutkan berbicara, “Tadi aku melihatmu. Kamu— astaga, luar biasa indah, cantik, sempurna. Aku sampai gak tau mau jelasinnya gimana.”

Berhenti. Sunghoon memohon agar Heeseung berhenti dalam batin. Ia tidak mau menangis, hanya saja yang lebih tua itu mengiring begitu banyak emosi hingga meluap-luap membakar relung.

Tetapi Heeseung tidak mau berhenti. Tidak, sampai semua janjinya yang telah diikat tuntas.

Therefore,”

Kotak kecil yang sebelumnya digenggam Heeseung buka, tunjukkan adanya sebuah kalung dengan sebuah hiasan abstrak sedikit terlihat seperti sebuah hati. Dan ya, tentu— tidak butuh waktu lama untuk kalung tersebut dipasangkan di leher Sunghoon yang mematung.

I’ll be honored— very honored— if you accept me as your boyfriend, Park Sunghoon.