Selamat Pagi
—warning! this chapter contains : mild degradation, bad-mouthing, heavy fight scene, minor violence.
“Astaga!”
Sunghoon berteriak kaget, paksa tubuh untuk duduk tegap walau pusing memenjara kala ia baru saja terbangun.
Ia tau ia pasti tertidur, padahal tadi malam— ya ampun, bisa-bisanya. Sedang asik berbicara bersama Heeseung malah berakhir begitu. Jujur saja, malu.
Tambah malu lagi ketika telinga tangkap suara dari handphone yang ditaruh disamping bantal, “Selamat pagi, Hoonie.”
Sontak tangan langsung raih, mata melotot tidak percaya bahwa Heeseung sama sekali tidak mematikan panggilan dari jam entah berapa. Disitu tertera jelas di layar, 6 jam 45 menit 31 detik— segitu lamanya.
Jadi kepikiran, bagaimana— bagaimana kalau saat tidur Sunghoon mengigau? Atau mengeluarkan suara apapun yang memalukan? Astaga mama, tolong anakmu malu huhu.
“Dek? Kok gak dijawab?”
“Hah— e-eh iya kak, selamat pagi juga.” Duh, Sunghoon ingin loncat saja rasanya. Terdengar suara ketawa Heeseung mengalun diujung sana, seakan ketahui Sunghoon salah tingkah.
“Gimana tidurnya? Pasti nyenyak ya? Gih sana siap-siap, 20 menit lagi aku jemput.”
“Iya, nyenyak— bentar… 20 menit lagi?! Astaga kalau gitu aku matiin ya kak,” Sunghoon benar tidak sadar kalau diri bangun telat sehingga langsung mengaduh, “Dadah!”
“Dadah, sayang.”
Ah. Coba saja Sunghoon dengar perkataan Heeseung tersebut, pasti sekarang bukannya bersiap-siap malah akan berteriak tidak karuan. Untung saja ia tidak dengar.
Masuk ke dalam mobil Heeseung itu seperti— aduh, apa ya? Intinya penuh kenyamanan, dilapis aroma kopi halus yang perlahan memeluk keseluruhan raga.
Mereka tidak ada berucap, tidak sama sekali. Hanya alunan dari lagu ‘Black Butterflies and Déjà Vu’ dari The Maine jadi pengisi sunyi—“Lagu ini mengingatkanku padamu.” Begitu kata Heeseung sesaat segelah lagu itu diputar pertama kali, dan Sunghoon tidak bisa tahan letupan kecil di dalam relung ketika ia dengarkan liriknya.
Perjalanan mereka terasa singkat— Sunghoon hembuskan nafas, mata sudah bisa lihat bangunan sekolah dari kejauhan. Walau begitu saja, Heeseung seperti paham. Maka dari itu jemari langsung bertemu. Mengait satu sama lain. Seakan ingin beri tau, ‘Tenang, ada aku.’
Dan benar. Sunghoon kali ini keluar dari mobil tidak sendirian, melainkan telak dirangkul oleh Heeseung. Banyak bisik-bisik dilayangkan, hanya saja Sunghoon sekuat tenaga untuk tidak peduli— tetap langkahkan kaki jangkung dengan wajah sedikit dinaikkan, tunjukkan bahwa diri memang setara berjalan samping Heeseung.
Semua baik saja, hingga ada satu bisikan yang buat Sunghoon mual. Hati seakan dirampas paksa lalu dilindas berulang kali.
Lihat, dasar penjilat.
Gila. Panas, matanya sangat panas menahan tangis. Awalnya, Sunghoon coba lupakan saja, tetapi Heeseung tidak sepemikiran. Lelaki kesayangan sekolah itu dengar semuanya. Tangan yang sebelumnya rangkul, beralih dan melayang tepat di pipi entah siapa lelaki yang bicarakan Sunghoon.
Sunghoon kaget. Terdiam di tempat. Tidak menyangka Heeseung akan lakukan sejauh itu, demi membelanya.
“Brengsek, apa yang tadi lo bilang tentang Sunghoon, hah? Ulangin lagi—“ Pukulan kembali dilayangkan, “Gue mau denger lo bilang itu lagi biar gue bisa hancurin muka lo sekalian.”
“Ma-maaf, gua gak bermak—“ Belum sempat lelaki itu berkata, Heeseung masih kalap dalam emosi hingga tangannya kembali memukul, bahkan tangan satunya sekarang tarik kerah lelaki itu kuat. Kala itu, Sunghoon langsung tersadar. Tidak, tidak, ini sudah terlalu jauh. Heeseung bisa kena masalah karena ini.
Pun tangan Sunghoon— walau bergetar— tahan tangan Heeseung yang sedari tadi dipakai untuk menghajar, “K-kak.. kak hee, udah kak.”
Heeseung toleh ke belakang. Raut wajah terlihat jelas menolak, “Enggak, hoon. Dia.. dia ngomongin kamu gitu, aku gak bisa diem doang. Dia perlu aku—“
“—Sst. Udah ya, kak? Aku gak apa-apa kok.”
Perlahan Sunghoon putarkan badan Heeseung, menjauhkan kakak kelasnya itu dari lelaki tadi. Mereka diam— Heeseung cari ketenangan dengan coba dengarkan ritme nafas Sunghoon, walau susah karena sekeliling mereka ribut karena tidak percaya lelaki yang dianggungkan sekolah berani melayangkan pukulan begitu saja.
Tapi sial sekali. Dalam diam itu, Sunghoon lihat jelas dari ujung matanya. Para guru sudah datang, dan Sunghoon tau benar bahwa Heeseung pasti akan dibawa ke ruang kepala sekolah.