fantasia

warning! this chapter contains : self-doubt, harsh criticism


“Sunghoon, ada apa denganmu? Kemarin kamu bisa lakukan back to back mapes and waltz jumps tanpa ada masalah sama sekali,”

Wajah sang pelatih datar, tetapi setiap kata bagai gasing panas membakar telinga Sunghoon. Tidak enak, sama sekali tidak— ditambah lagi fakta pelatihnya berkata fakta. Sunghoon tau hari ini ia benar-benar terburuk.

“Jadi kenapa sekarang kamu tidak bisa melakukannya? Bahkan sampai terjatuh terus menerus dalam 10 kali percobaan. Spinning-mu juga lumayan berantakan. Saya ingin tau apabila ada sesuatu yang mengganggu, karena lomba sudah di penghujung mata.”

Nafas memburu serta rasa nyeri secara fisik dan mental yang menjalar tiada henti buat Sunghoon sedikit susah menjawab. Ada sekitar semenit dihabiskan untuk atur emosi, lalu sesudahnya— pertanyaan sang pelatih berhasil bertemu jawaban dinanti.

“Maaf, coach. Besok saya akan latihan sendiri, dan hari ini memang ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya. Tetapi itu semua bukan salah siapapun, melainkan salah saya sendiri, karena tidak bisa mengembalikan fokus. Sekali lagi saya minta maaf.”

Perkataan diakhiri dengan Sunghoon paksa tubuh penuh memar biru yang baru saja memekar untuk membungkuk 90 derajat, sekaligus coba sekuat tenaga agar tidak menangis.

Aneh. Tentu sepanjang perjalanan 6 tahun sebagai seorang artistic roller skater, Sunghoon terbisa terima kritikan sepedas apapun. Bagai makanan sehari-hari terkonsumsi guna memperbaiki diri sendiri nanti.

Lantas mengapa? Mengapa ia rasa begitu sakit, begitu tidak berguna— semua disebabkan kesalahan satu hari saja? Sial, Sunghoon pusing bukan main. Kaki jangkung langsung melangkah lunglai keluar dari gymnasium. Kepala tidak mau dinaikkan, peduli setan mau tabrak orang atau tiang sekalipun.

Saat dekati gerbang utama, Sunghoon berhenti— menekan pikiran agar tidak ribut dalam menjatuhkan dirinya sendiri. Detik itu juga ia tanamkan pikiran baru. Besok, pasti besok ia akan kembali ke diri yang biasanya. Diri yang tidak khawatir tentang pandangan orang lain.

Toh, Sunghoon tidak tau persis seperti apa pandangan mereka. Sekedar satu hal yang ia tau adalah mereka jelas iri. Begitu iri pada fakta bahwa mereka sama sekali tidak bisa membuat Lee Heeseung jatuh tidak berdaya dibayang cinta layak lelaki itu padanya.

Pemikiran tersebut buat Sunghoon tertawa sendiri sebab terkesan terlampau berani—

“Dek, kamu kenapa? Serem loh mendadak ketawa gitu.”

Sayangnya tidak sadar sedari tadi Heeseung sudah berada di samping. Serius, Heeseung harus berhenti mendadak muncul seperti ini karena Sunghoon tidak suka mendadak terlonjak kaget ditemani malu melingkupi.

“Kak?! D-dari kapan jalan disampingku?” Pertanyaan Sunghoon mengakibatkan Heeseung mendengus, menggeleng-geleng kepala tidak percaya. “Dari 4 menit yang lalu. Kamu lagi banyak pikiran, ya?”

Pertanyaan retorikal. Berdua tau tanpa Sunghoon menjawab, pasti ketahui jawabannya adalah 'iya.' Maka dari itu Heeseung tidak masalah pertanyaannya termakan udara begitu saja. Ia malah tarik lembut tangan kanan Sunghoon,

“Ayo kita pergi.”


Sesampainya di mobil, “Kak, ini kita mau kemana?” Sunghoon langsung bertanya. Pikiran tidak lagi berkabut, maka dari itu sanggup ingat Heeseung bilang mau lanjut mengobrol di ruang chat mereka beberapa jam lalu. Kemungkinan mereka tidak langsung pulang ada di persentase 85%— setidaknya segitu, menurut Sunghoon.

“Ah, iya. Aku berencana untuk membawamu ke tempat kesukaanku— sekalian kenalan formal dulu sambil bincang nanti,” Heeseung tertawa sedikit, “Tapi kayaknya bakal sampai malam. Nah masalahnya, Hoonie dibolehin gak baru pulang ke rumah mungkin sekitar jam 8 atau 9?”

Tunggu. Hoonie? Apa Heeseung baru saja— astaga, Sunghoon mau meledak. Memang benar dua hari ini Heeseung selalu gunakan panggilan manis padanya, tetapi panggilan ini, Hoonie, Sunghoon terus terang sangat suka.

“Dek?”

Bodoh. Lupa menjawab. Sunghoon kebablakan, “Hah— boleh kok.. boleh, kayaknya kak.”

“Kok ada kayaknya sih? Yang bener gimana?” Heeseung tertawa. Salah satu tangan tinggalkan stir mobil, usak perlahan rambut Sunghoon akibat gemas.

Heeseung tidak kasih waktu bernafas barang sedetik. Yang lebih tua terus menerus lakukan hal penuh romansa bak sepasang kekasih kasmaran. Bahaya, Sunghoon rasa hangat mulai rasuki kedua pipinya.

Kalau begini, Sunghoon berubah hilang peduli entah orang tua-nya marah atau tidak saat nanti ia pulang larut karena dibawa pergi oleh Heeseung.

warning! this chapter contains : panic attack, sudden public attraction.


Jam sudah sapa angka 6 dengan hangat kala Sunghoon masih sibuk berdiri depan cermin. Tenang, diri sudah siap kok. Seragam lengkap ditambah cardigan hitam guna lindungi dari dingin pagi ini. Hanya saja sekarang bingung.

Bingung antara gunakan sedikit sentuhan tambahan di wajah atau tidak gunakan sama sekali. Helaan nafas keluar menyalip bibir, Sunghoon berasa seperti mau pergi jalan bersama pacar. Padahal cuma berkelana ke sekolah bareng Heesung yang mana Sunghoon sendiri belum sepenuhnya kenal. Mereka masih asing, tapi sudah begitu ribut akan afeksi melalui kata.

Berakhir putuskan untuk menggunakan lipbalm, karena bibirnya memang sedari dahulu sering pecah. Sunghoon baru saja mau oleskan ketika suara Ibunda terdengar telinga, “Nak! Ada sedan hitam depan rumah, sepertinya itu jemputanmu!”

Mampus. Secepat kilat Sunghoon gunakan lipbalm sekaligus ambil tas yang ada di dekat pintu kamar. Saat keluar, mata dapat lihat Heeseung berbicara dengan Ibu. Ah, kakak kelasnya itu keluar mobil— dapat tarik kesimpulan Heeseung tidak hanya baik dalam akademik tapi juga perilaku.

“Nah, ini dia anaknya. Jaga dia baik baik ya, Nak Heeseung.” Ibu berkata sambil beri tepukan kecil di punggung Sunghoon yang malu-malu mendekati Heeseung. Jadi sedikit penasaran, pembicaraan mereka tentang apa dan bagaimana cara Heeseung mengenalkan diri ke Ibu.

“Iya, tante.” Senyuman sekaligus bungkukan kecil Heeseung taruh untuk hiasi kalimat, “Kalau gitu— ayo kita berangkat, hoon. Kita permisi ya, tante.”

Dan dengan begitu lah, sekarang Sunghoon jadi duduk di kursi depan mobil milik Heeseung yang secara konstan melaju kearah sekolah.

“Hari ini kamu ada latihan?” Pertanyaan pertama dilontarkan Heeseung, dijawab langsung dengan anggukan dari Sunghoon.

Yang lebih muda menambahkan sedikit setelahnya, “Tapi pulang di jam biasa sih kak, gak sampai sore.”

“Oooh oke. Kalau gitu pulang bareng aku lagi aja, hari ini aku juga gak pulang sore soalnya.”

Dengarnya buat Sunghoon senang. Sontak angguk antusias, disambut kekehan Heeseung akan kegemasan. Mungkin, mungkin saja— ia senang karena diri mulai ingin terus-menerus dengan Heeseung? Entahlah. Rasanya terlalu singkat apabila hati sudah bertindak diatas rajutan merah bernama cinta.

Namun untuk sekarang, Sunghoon hanya mau nikmati ini semua.


Sudah terduga.

Tepat ketika Sunghoon keluar dari mobil, seluruh pasang mata tersedia disana langsung lihati. Mau gimanapun, ia tau ia orang pertama yang berangkat bersama Lee Heeseung— incaran hampir semua orang.

Rasa mual perlahan merasuki tubuh. Sebagai akibatnya, Sunghoon secara tidak sadar berjalan terlebih dahulu. Mencoba masuk ke dalam sekolah secepat mungkin. Meninggalkan Heeseung untuk mengejarnya, tetapi yang lebih tua itu tetap berada di belakang seakan memberi ruang kosong yang dibutuhkan.

Hanya saja ini terlalu overwhelming. Sunghoon tidak kuat. Hampir saja mau menangis, jikalau tangan Heeseung tidak melingkar di pinggang dan berkata, “Kalian semua, bisa gak saya minta tolong jangan lihatin Sunghoon lagi? Terima kasih.”

Semua atensi langsung berpindah kembali ke asal. Tidak ada lagi yang tatap Sunghoon. Sungguh, sebegitu besar pengaruh Heeseung terhadap seluruh siswa-siswi sekolah hingga Sunghoon benar kagum lihatnya— juga, sejak kapan lelaki itu berada di sampingnya? Ia bahkan tidak sadar.

Thank you, kak.”

Heeseung menggeleng, “Gak usah bilang makasih. It's my responsibility, after all.

Tidak ada lagi pembicaraan, mereka terdiam. Kali ini sedikit canggung— Sunghoon bingung mau berkata apa, Heeseung seakan tidak mau melepas tangannya dari pinggang. Pun kesadaran lelaki pencinta bintang itu kembali, buru-buru menarik tangan menjauh.

“Oh iya, dek,” Heeseung menggaruk tengkuk kaku, “Aku gak bisa antar kamu ke kelas, gak apa-apa kan?”

Sunghoon berdeham lucu sambil angguk kecil sebagai jawaban. Tentu tidak apa-apa, dikarenakan mata bisa tangkap Sunoo yang berjalan kearahnya untuk menemani ke kelas. Ditambah lagi, ada pula Jake— sahabat dan teman sebangkunya.

Sehingga rasa takut, mual, atau apapun yang tadi dirasa telah hilang. Oleh karena itu, Sunghoon pun dedikasikan fokusnya ke arah papan tulis untuk beberapa jam kemudian. Namun fokusnya buyar pada jam istirahat pertama, disebabkan Jake yang menyeletuk disamping,

“Hoon, udah waktunya makan. And also, you might want to check twitter first.

Sunghoon naikkan salah satu alis bingung terhadap perkataan lelaki berdarah Australia itu. Maksudnya apa? Memang ada apa di twitter?

Pasrah.

Sunghoon benar pasrah. Bisa rasa jemari gemetar akan satu sama lain, berdiri begitu kaku depan ruangan yang memang biasa digunakan untuk rapat para ketua club. Kalau diri adalah sang ketua, tentu tidak masalah. Tapi disini hanya sebagai perwakilan. Sedikit merutuk mengapa Seungmin, kakak kelas plus ketuanya itu, harus sakit di saat seperti ini.

Ah, sudahlah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Berkata satu dua kalimat, menjawab seperlunya, dan selebihnya diam— itu saja yang perlu Sunghoon lakukan. Tarik nafas, pun tangan dorong pintu terbuat dari kayu gelap di depannya.

Kosong..? Sunghoon tambah bingung. Langsung cek ulang, ia benar kok. Tidak salah ruangan. Lalu mengapa tidak ada ora—

“Hai, adek kelas ya?”

Badan sontak terlonjak, pertanyaan di pikiran terputus begitu saja. Sunghoon kaget bukan main. Ternyata ada satu orang, posisinya dekat pojokan hingga sedikit masuk akal tidak terlihat.

Sebentar dulu. Sunghoon fokuskan atensi barang beberapa detik— astaga, gila. Diantara seluruh kakak kelas pemegang jabatan ketua klub, kenapa harus Lee Heeseung yang sekarang berada dengannya?

Diri tau jelas siapa lelaki rambut hitam belah tengah itu. Toh, lagian, siapa tidak kenal. Popularitas bersandang bebas disamping namanya. Berakhir kembali tarik nafas, Sunghoon coba untuk tidak bertindak memalukan.

“H-hai, iya.. kak.” Suara gemetar akibat takut menyerang. Bahkan Sunghoon hampir terjatuh ketika mengambil kursi depan Heeseung. Awal niatan mau duduk agak jauh, hanya saja langsung rasa tidak enak. Maka berakhir tidak jadi dilakukan.

Heeseung menatapnya bak sesuatu yang begitu menarik. Intens, begitu intens. Nafas Sunghoon sampai tercekat di tenggorokan. Kalau begini, Sunghoon mau kabur saja karena sungguhan tidak tau mau bagaimana.

2 menit terlewat dihiasi denting jam saja, sebelum akhirnya Heeseung terkekeh lembut. Buat Sunghoon berkedip cepat— kebablakan. Sang kakak kelas buka belah bibirnya, “Santai aja kali.. Sunghoon, kan? Yang kemarin menang kompetisi sepatu roda nasional?”

Sunghoon mengangguk. Hilang kepercayaan pada suara sendiri, tau jelas bakal berakhir gemetar atau gagap. Relung mendadak terasa sesak akibat jantung degup cepat entah kenapa. Jangan bilang hanya karena Heeseung mengenalinya— tapi itu hal wajar. Mau gimana juga, nama masih kerap dikumandangkan kepala sekolah.

Mata dapat lihat Heeseung ingin berkata lagi, namun tidak jadi. Semua ketua klub memasuki ruangan, termasuk sang ketua osis— Chan. Dengan begitu, rapat secara resmi dimulai.

Kalau bisa jujur, Sunghoon gagal fokus. Suara disekitar seakan di konversi ke gumaman tertelan udara, menggelitik indera pendengaran. Bahkan hampir masuk ke dunia lamunan jika saja Chan tidak memanggil nama dibubuhi pertanyaan perihal klubnya.

“Hmm, Sunghoon? Untuk klub sepatu roda, we'd like to know if there's any significant progress.

“A-ah.. no— no, there's no significant progress, belakangan ini kami hanya lakukan rutinitas serta berlatih seperti biasa, kak.”

Chan angguk-angguk paham, “Oh yeah, if I recall correctly, beberapa minggu lagi kamu ada lomba tingkat daerah, kan?”

“Hah?” Otak Sunghoon bagai berhenti bekerja, kendati sepersekian detik kemudian langsung pura-pura berbatuk untuk kembalikan atensi, “Uh iya— iya benar, kak.”

Untung saja setelah itu Chan langsung berpindah ke Mina, ketua klub ballet. Sungguh memalukan. Sunghoon rasa keinginan menggali tanah lalu mengubur diri sendiri begitu kuat menghantui. Apalagi, mata sempat lirik Heeseung tersenyum— mungkin hampir dekati sebuah kekehan— saat diri jawab pertanyaan dari ketua osis kelahiran Australia itu.

Entah berapa waktu terlewat. Sunghoon langsung berdiri penuh semangat kala rapat sudah sampai pada akhirnya. Malah bisa dibilang terlampau semangat, sampai tidak sadar bahwa Heeseung berjalan ke arah Chan sambil mengeluarkan handphone-nya, lalu bertanya dengan suara tipis,

Chan, can you please give me Sunghoon's number? It's quite important.

tw // mentions of guns, implied violence (only described in dialogues.)


“tooru, kamu kenapa lama banget?”

“kamu gak apa-apa?”

“gak ada yang ganggu kamu kan?”

pertanyaan bertubi-tubi dilempar iwaizumi tepat ketika sang pemilik rambut coklat buka pintu apartment. pun sudah terlalu banyak pertanyaan— oikawa langsung tangkup pipi lelaki itu, menyuruh secara tidak verbal untuk diam dulu sebentar. oikawa tersenyum, dekatkan wajah yang ada di kedua tangan mendekat lalu dicium tipis hidungnya.

it doesn't really matter, yang penting aku udah ada disini. di rumah, sama iwa-chan. as you can see, i'm okay.” untungnya, perkataan oikawa buat iwaizumi jadi lebih tenang, benar berhenti bertanya.

mereka menyatukan dahi— entah secara sadar atau tidak. yang sangat pasti, ada cinta menguar dari keduanya. nyaman, begitu nyaman. walau berdiri di koridor depan pintu layak orang bodoh, mereka tidak bergeming. tidak pula berbicara. saling tenggelam pada satu sama lain.

you'll live with me here, right? ini.. jadi rumahmu, kan?” pertanyaan retorikal. iwaizumi tidak usah bertanya, tidak usah meminta konfirmasi— oikawa sudah pasti akan bersama dirinya.

dengan itu oikawa ketawa, “ya iya lah? rumahku ikut sama kamu—although, before continuing this, can i ask you something?

iwaizumi naikkan satu alis, “kamu bisa tanya apa aja ke aku, tooru.”

“kamu bisa ceritain aku kejadian itu? tolong, ya? hajime?”

ah, oikawa merasakannya. walau sangat samar. badan iwaizumi sedikit tegang. aura nyaman disekitar mereka juga perlahan menghilang. wajar, sih. topik yang oikawa angkat begitu sensitif, begitu berat, dibawa mendadak tanpa peringatan tentu berefek seperti itu.

“kita jalan berdua malam itu, tooru. sama kayak apa yang biasanya kita lakuin. terus ada beberapa begal lagi keluyuran cari mangsa— sebelum aku bisa lindungin kamu, mereka pukul kepalamu pake bawahnya pistol. sehabis itu, ya kamu udah hilang ingatan, dan ibumu salahin aku.”

that means.. it's not your fault. it's no one's fault. if we're looking for someone to blame, then it's the burglars. maaf, iwa-chan, maaf.”

“kok jadi kamu yang minta maaf?” iwaizumi cium perlahan kedua kelopak mata oikawa, “seharusnya aku yang minta maaf. sorry for not being able to protect you, shittykawa.

dengar panggilan semasa sma buat oikawa tertawa lepas, mata masih berair tadi sempat ingin menangis jadi hilang. “aku kangen denger kamu manggil aku gitu, iwa-chan.”

“nanti aku panggil kamu itu lagi, sebanyak apapun yang kamu mau. kapanpun, tooru, because we have all the time we need.

benar. iwaizumi benar. mereka punya waktu banyak, memang tidak selamanya tapi seumur hidup sudah cukup. selama oikawa bisa tetap bersama iwaizumi, maka tidak apa-apa. pasti akan tetap cukup.

“aku cinta kamu, hajime.”

“aku juga, cinta kamu— lebih dari segalanya.”

mereka saling bertatap, tersenyum satu sama lain. oikawa tidak lagi pikirkan apapun— hanya kebahagiaan, cinta, dan hidupnya bersama lelaki depan mata. tetapi tidak dengan iwaizumi,

maaf, tooru. untuk memilikimu, aku harus membuatmu hidup dalam kebohongan.

oikawa mengerjap, tubuh langsung terlonjak. dimana.. dimana ini? mata berkedip berulang kali dalam upaya menyesuaikan terang sekaligus kebingungan. terbangun di tempat asing cukup buat diri sedikit panik, sampai akhirnya ingat—

tadi malam. iwa-chan. kemana lelaki itu, oikawa menoleh kesana kemari mencoba mendeteksi adanya iwaizumi tetapi nihil. mulai berpikir, bisa saja tadi malam sekedar mimpi— namun tidak mungkin karena sekarang tidak berada di rumah. ditambah lagi, oikawa bisa lihat bekas kemerahan di leher kala saat menoleh ia terpaku pada cermin samping kasur besar sprei abu.

pipinya memerah, malu. sungguhan malu. apalagi kalau diingat-ingat. aduh sudahlah, oikawa pilih untuk cari iwaizumi dibanding tenggelam dalam sipu. baru saja tangan buka pintu, iwaizumi sudah terlebih dahulu membuka. keduanya kaget, walau oikawa lebih terlihat jelas.

“ha-hajime! bikin kaget aja sih,” oikawa mengaduh, iwaizumi terkekeh. malah tarik pinggang oikawa agar semakin dekat lalu diucapkannya, “selamat pagi, love.

ini masih pagi, demi apapun yang ada di semesta ini. oikawa tidak bisa menjawab—terlalu malu—sehingga hanya dibalas dengan pipi kembali bermekar merah ditambah mata cari atensi lain.

lihat itu, iwaizumi tertawa sambil lepas oikawa lalu sedikit miringkan kepala tanda agar oikawa ikuti ke ruang makan yang mana sudah tersedia 2 mangkok miso sup berserta salmon panggang.

“ini.. iwa-chan masak sendiri?” bertanya tepat setelah menyantap. oikawa tidak percaya iwaizumi memasak seenak ini—dirinya bikin telur saja sudah hampir membakar dapur, jadi ada sedikit rasa iri.

iwaizumi menggangguk, “iya. dulu aku sering liat ibu masak, jadinya aku lumayan paham cara memasak. kamu juga dulu sering liatin ibuku masak, tooru.”

gerakan tangan terhenti. dulu, ya? oikawa sangat sesali mengapa dirinya terkena amnesia, jadi melupa tentang segitu banyaknya memori, terlebih lagi— iwaizumi. astaga, iwaizumi hajime. seseorang yang begitu dicinta dari awal hidup.

“kamu sudah ingat sampai mana, sayang? jangan dipaksa ya? take it easy, one step at a time. gak ada kewajiban buat kamu ingat semuanya dalam semalam.”

“tapi aku mau ingat semuanya,” oikawa hela nafas, “aku baru ingat sampai hari kelulusan sma, sebelum itu aku masih tidak tau.”

rambut dielus perlahan, “itu aja kamu ingatnya sudah lumayan, tooru. oh iya, mending kamu habisin dulu makanannya.” iwaizumi tunjuk piring oikawa yang masih bersisa— dibalas dengan ketawa kecil serta anggukan.

setelahnya, hanya cuitan burung yang bersuara. oikawa asik makan, sedangkan iwaizumi asik lihati. saat oikawa tawarkan diri untuk cuci piring pun, iwaizumi tetap lihati— benar-benar dimabuk cinta.

oikawa jadi pertama bersuara sehabis 5 menit sunyi, “iwa-chan, persediaanmu sudah hampir kosong?” pertanyaan muncul akibat rasa penasaran ketika mencuci piring, mengintip kecil ke kulkas yang buat diri kaget sebab lebih dari setengah bahan penting sudah tidak ada.

“iya, karena tadi kan kupakai untuk masak.”

ada rasa bersalah merangkak. mau gimana-gimana, oikawa tetap tamu. sudah tertidur terlalu pulas, dibuatkan sarapan pula hingga kulkas hampir habis. serius, oikawa tidak enak.

maka dari itu sekarang berada di supermarket.

tangan aktif ambil bahan-bahan, dari sayur sampai daging wagyu, semuanya oikawa ambil. ia berbelanja sendirian— iwaizumi awalnya menentang, “tidak, tooru. gimana kalau kamu kenapa-napa?”; butuh oikawa bujuk puluhan kali sebelum akhirnya diizinkan.

semua berjalan dengan tenang. tetapi sayang sekali, dihancurkan begitu saja kala telinga mendengar nama dipanggil. suara itu— tidak salah lagi. oikawa pasti ingat sampai akhir hayatnya. ibu.

“tooru, nak, ayo pulang.” baru kali ini sang ibu memohon kepada oikawa. asing, rasanya asing. sudah berapa lama oikawa tidak lihat akting ibunda yang begitu bagus?

pun mendengus, “pulang? ya, aku akan pulang. ke iwa-chan, rumahku dari kecil.” oikawa balik badan tuju pintu keluar. tidak ingin mengobrol lebih lama dengan ibu, sekarang ia persetan sudah lewati batas sebagai anak atau tidak— terserah nanti mau bagaimana jadinya.

“dengarkan ibu,” tangan dicegat sebelum sepenuhnya keluar dari supermarket, “ibu tau seumur hidup ibu perlakukan kamu tidak sepantasnya. bahkan tidak memberi tau bahwa kamu amnesia. maafkan ibu, tooru. tapi kamu harus paham, iwaizumi hajime bukanlah lelaki yang baik untukmu,”

“jika kamu tidak percaya, coba ingat kembali malam saat kejadian itu terjadi. kejadian yang membuatmu kehilangan memori.”

before you read, this contains slight manga spoiler.


aku ingat, birai pernah berucap.

aku tidak pernah mencinta. aku tidak tau bagaimana cara ciptakan cinta begitu dalam layak bulan mencumbu matahari diujung bumi, aku tidak tau bagaimana menjaga agar cinta tetap membakar atma.

tetapi saat itu aku belum terbelenggu olehmu. aku belum bertemu lelaki dengan mata setajam silet selaksa, belum menggulirkan namamu dari belah bibir pecahku, belum merasa romansa sendu akan menyampaikan kasih dari kejauhan.

aku ingat, kedua aksa pertama menjumpa sosokmu di hari senin.

saat itu, pertandingan entah keberapa bersama kerajaan tosca dibangun atas kepercayaanmu bersama tim. sorak sorai meneriakkan jenamamu kala seonggok bola berlukis biru-kuning kau hantam penuh kemenangan ke teritorial lawan, disitu aku pelajari namamu.

iwaizumi hajime.

nama yang aku tidak sangka akan melengket di pikiran dalam jangka begitu lama, walau hati belum menumbuhkan perasaan dan hanya penuh kagum kala aku berdiri bertepuk tangan— berkata selamat dalam diam karena aoba johsai berhasil jadi pemenang.

aku tau kok, sehabis melihati. kau pasti akan selamanya jadi pemenang dalam hidup. bahkan kalahmu itu, pasti diselimuti penghargaan atau penghormatan orang banyak, sebab itulah hal-hal yang memang cocok disematkan bersamamu.

aku ingat, kembali menjumpa dirimu saat kau berhasil lawan sekumpulan gagak.

seperti biasa. kau indah. tangkap segala atensiku tepat kakiku injak lantai kasar dari lapak duduk gymnasium, kendati sesal lingkupi hati karena aku tidak dapat lihat bagaimana caramu menjaga kerajaan milikmu serta teman-temanmu.

tenang saja. itu bukan berarti aku tidak bisa tebak, bukan berarti aku tidak tau seberapa keras kau berjuang. kaki lunglai, wajah berbasuh keringat letih, kepalan tangan bermekar mawar— iwaizumi hajime, kau telah lakukan yang terbaik.

aku bangga padamu.

aku berani bilang, berulang kali, sampai kapanpun yang kau mau. aku bangga padamu. aku sangat bangga pada lelaki berpunggung 4, the knight in shining armor; dirimu dan hanya dirimu.

lalu, setelah itu, apa?— wah tunggu, ternyata semesta cukup berbaik hati kala mata bertemu mata secara tidak sengaja saat kau beri hormat ke arah penonton, ke arahku, jadi buatku cukup yakin. kau pasti tau kata-kata tidak terucapku untukmu.

aku ingat, di hari hatiku jatuh adalah hari keruntuhan kerajaanmu oleh gagak-gagak haus akan kemenangan.

mungkin, tidak akan pernah kulupakan. rasa sesak mengikat relung tanpa aksama, tenggorokan kering layak dihambur anala, semua diakibatkan tangisan membingkai wajah tidak kenal takutmu.

betapa kuatnya keinginanku untuk berteriak, “iwaizumi, oikawa, dan seluruh member aoba johsai, kemenangan akan selalu mengagungkan kalian. janganlah takut. ini hanya langkah pertama.”

tetapi aku tidak pernah miliki kesempatan untuk meneriakkan rangkaian kalimat itu. karena, anehnya, hatiku berdegup terlalu kencang. yang aku rasakan padamu, beberapa bulan lalu, hanya rasa kagum.

sekarang? bagai tanaman tumbuh, kagumku berubah jadi cinta. suatu hal paling aku hindari. mengetahui betapa besar resiko diambil, mengetahui tidak ada alasan untukmu mengembalikan perasaanku.

hanya saja aku manusia. tidak lepas dari yang berkedok sebagai harapan. toh, apabila itu engkau, sepertinya tidak ada masalah. aku putuskan memberi cintaku untukmu.

aku ingat, bagaimana takdir permainkan benang merah kita berdua.

layak fantasi keluar berjalan mengitari, untuk keempat kalinya. aku dapat lihat dirimu. sama seperti dahulu, tetap dari kejauhan. kali ini aku bahkan tidak kira keberadaanmu hadir diantara lautan asing para manusia jangkung berambut pirang.

amerika— siapa sangka kau disini juga? setahun aku tidak pandang, pahatan jiwamu secercah berubah. jikalau aku tidak mengenal sepenuh raga dan atma, mungkin bibirku dapat berucap kau adalah lelaki yang sama, namun tidak.

aku mengenalmu dalam sunyi, iwaizumi.

ada perasaan berbeda ketika aku lihatimu sekarang. setipis apapun itu, kau tetap berubah. bukan dari wajah saja, wibawamu juga. kau jauh lebih dewasa. jauh lebih determinan untuk gapai mimpi-mimpi kau abadikan diatas kanvas putih.

maka dari itu aku putuskan berbalik badan, tepat sebelum kau melihat ke arahku. segala maaf aku ucap, aku akui aku pengecut. aku tidak mau bertaruh akan semua hal apabila aku menetap. kesuksesanmu sudah tertulis, yang mana tidak perlu cintaku ini.

aku ingat, harumnya ambu kejayaan kelilingi tubuhmu tempo kaki kau tancapkan di geladak.

berlimpah. begitu berlimpah. lagi-lagi aku tuturkan— iwaizumi hajime, banggaku padamu pada saat ini berlimpah, tumpah-tumpah lalui relung terjerat kasih. aku sangat bangga padamu, mau kapanpun dan dimanapun. aku akan selamanya bangga.

tidak ada yang bisa kalahkan tampangmu gunakan baju hitam berlogo japan, berdiri tegap dibelakang tim yang kamu rangka sendiri.

kau berhasil. kau torehkan janji bersama oikawa, dan kau berhasil tuntaskan. kalian berdua ada di atas dunia sekarang. terharu— aku secara tidak langsung saksikan perjuangan penuh terjal dilalui.

dengan mataku bertuai tangisan, aku berterimakasih dari lubuk terdalam. aku selalu bilang aku tidak pernah mencinta, aku tidak tau cara mencinta, tetapi kau tunjukkan sebegitu mudah.

cinta hanya cinta, sesuatu yang dirasa tanpa diundang, sesuatu yang pada akhirnya direngkuh penuh hati-hati akibat kerapuhan dan di saat yang sama, menyentap penuh ragu akibat resiko yang dibawa.

aku tersenyum. kali ini aku tidak akan lari, akan kuhadapi dirimu. aku tersenyum lebih lebar, mengetahui kasih hidupku menatap dengan mata penuh pengakuan.

kau pasti tau, ya? bahwa aku akan coba mengambil tangan lain yang sedari awal terjulur padaku,

tetapi tenang saja—

aku akan selalu mengingat semuanya tentangmu, iwaizumi hajime.

again, this is slight nsfw. but only kissing, though.


lagi-lagi.

oikawa rasa sakit hantam kepala brutal. berteriak kesakitan, meraung-raung nama iwaizumi meminta tolong karena kali ini seperti ditusuk. oikawa tidak kuat.

“tooru— hey, stay with me,” iwaizumi goncang perlahan tubuh oikawa kala sang pemilik coklat terlihat hampir hilang kesadaran.

perkataan iwaizumi saja terdengar sayup di telinga oikawa, kesadarannya mungkin akan hilang kalau saja tidak ada memori yang muncul lagi didalam kepala.

kali ini, tunjukkan dirinya dan seseorang yang kemarin juga muncul, berlarian menangkap kunang di tempat yang sama. layak kemarin, sakitnya pudar dan kesadaran mulai kembali setelah memori itu selesai.

“iwa—iwa-chan..” entah mengapa, oikawa gapai iwaizumi. tarik kembali lelaki itu untuk ia peluk sekuat-kuatnya, bagai telah kehilangan iwaizumi dalam jangka waktu lama.

tentu saja itu buat iwaizumi kaget. lagian, siapa yang tidak kaget jikalau cintamu mendadak menangis penuh pilu lalu berakhir memeluk tanpa peringatan? secara logika, tidak ada. tetapi iwaizumi biarkan. tangan memeluk balik, sama kuatnya, menguarkan kembali kehangatan yang dibutuhkan oikawa.

tidak ada yang menyuruh bercerita, namun bibir oikawa tetap bergerak, “da-dari kemarin, semenjak kita jalan malam, aku selalu mendapat kilasan memori di tempat yang sama kita kunjungin. aku— aku gak tau kenapa, aku ngerasa gak ingat pernah ngelakuin itu semua tapi memorinya kerasa nyata banget,”

“aku jadi bingung itu nyata apa enggak.. iwa-chan, help me.

terdengar helaan nafas diambil iwaizumi, “tooru, boleh kasih tau aku memorimu seperti apa?” suaranya ibarat meminta validasi dan memastikan ulang entah apa yang dipikirkan.

“yang pertama, waktu kita di pantai. aku berlari dengan seseorang yang gak aku kenal, bermain bersama air. yang kedua, tadi barusan. aku mengejar sekaligus mencoba menangkap kunang-kunang, bareng sama orang itu lagi.”

hening. iwaizumi sebenarnya telah buka belah bibir, namun dikatup lagi. ragu— iwaizumi ragu untuk berkata. tetapi apa daya? sekarang sudah waktunya ia ungkap apapun yang disembunyikan dari oikawa.

“tooru, if i said that person was me, will you believe me?

oikawa tarik diri secara kasar, tatap wajah iwaizumi penuh tidak percaya. mata beradu dengan mata. coba cari setitik kebohongan, yang mana oikawa tidak temu satupun.

iwaizumi, lelaki itu berkata sejujurnya. nafas oikawa tersenggal, matanya kembali kabur akan tangisan. ada rasa rindu membuncah di relung, bersamaan dengan munculnya memori akan dirinya bersama seseorang itu— bedanya kali ini wajah seseorang itu tidak lagi tertutup, berganti akan wajah iwaizumi.

i—i believe you, ha-hajime, kamu kemana aja— why.. why did you disappear— w-why did i forget about you?

“waktu akhir sma, ada kejadian yang buat kamu amnesia. i took the blame, and your mother didn’t want me to be with you anymore. i had to disappear. bahkan aku bisa sama kamu sekarang, karena aku minta bantuan kenma.”

kenma— oh. pantas. pantas saja adik tingkatnya itu berlagak aneh kala oikawa bertanya tentang iwaizumi dulu. untuk kejadian yang menimpa dirinya, bisa nanti, bisa dibicarakan kapanpun.

sekarang, fokusnya hanya ke iwaizumi hajime.

runaway, ayo, iwa-chan— take me away and let’s run together so that no one could separate us again.” oikawa terdengar begitu putus asa, kembali tarik iwaizumi mendekat. entah sejak kapan jadi duduk di pangkuan lelaki rambut hitam, kedua dahi menyatu ditambah mata saling tenggelam satu sama lain.

iwaizumi tidak menjawab. malah memajukan wajah. oikawa serasa ingin meletup, perlahan tutup mata, dan—

bibir mereka menyatu, berkecup halus di dinginnya malam.

awalnya tidak ada apa-apa, hanya ingin menyalurkan cinta dan rindu diujung lidah, namun mau bagaimana? berdua sudah dewasa. apalagi sekarang tidak ada orang lain.

tidak cukup— semua ini tidak cukup. oikawa tarik rambut belakang iwaizumi, meminta lebih, tentu saja iwaizumi berkata ‘iya’ dalam diam. siapa pula dirinya untuk menolak oikawa tooru?

berakhir dengan mereka saling rakus lahap bibir, tangan oikawa gemetar tarik atau terkadang acak frustrasi helaian hitam milik iwaizumi ketika geligi bergelutuk geligi, lidah menuai rasa dimana-mana.

“iwa—mmh—iwa-chan,”

“ssh,” iwaizumi lepas barang sedetik, ibu jari usap penuh atensi bibir bawah oikawa yang membengkak, “call me. call my name.

“ha-hajime— hajime—“

kembali, bibir mereka kembali lagi bersatu. dan untuk semalam suntuk, iwaizumi tidak lepas oikawa dari pangkuan, terlalu mabuk akan sang pemilik aksa warna coklat.

“iws-chab, menyutrumu lagyu inish bagush gak?” (iwa-chan, menurutmu lagu ini bagus gak?)

iwaizumi tertawa. tangan naik untuk usak kasar rambut oikawa yang melotot tidak terima karena tatanan rambutnya hancur begitu saja.

“selesain makannya dulu, tooru.”

iya, sekarang oikawa lagi makan kentang khas mcd sambil mengatur lagu seperti biasa. tadi yang ditanyakan adalah lagu dari foster the people berjudul ‘imagination’— kata oikawa beberapa detik lagu itu diputar, “aku baru ketemu lagu ini di love loop tadi malam!” makanya ia sebegitu antusias ingin tau reaksi iwaizumi.

kekehan kecil keluar dari bibir kala makanan telah berhasil ditelan, “maaf, iwa-chan, hehe. jadi gimana, lagunya?”

“bagus kok. aku suka.” iwaizumi mengangguk beberapa kali, seperti untuk meyakinkan oikawa bahwa diri benar suka lagu itu.

tidak ada jawaban setelahnya. oikawa hanya tersenyum puas, beralih tatap jendela— kagum tidak henti akan indahnya jalan kota dibawah sinar rembulan yang begitu cerah malam ini.

lalu tersadar. ah, kali ini— iwaizumi mau membawanya kemana? oikawa lupa bertanya. terlalu asik terlena dengan harum lezat dari bungkus mcd yang tadi ada di dashboard mobil.

“iwa-chan, kita mau kemana?”

mendengar pertanyaan oikawa buat iwaizumi sedikit menoleh. ada jeda waktu sekitar 20 detik sebelum akhirnya menjawab, seakan iwaizumi perlu untuk memikirkan hal tersebut terlebih dahulu.

“ke suatu tempat. kamu bakal suka kok, ini bentar lagi sampai.”

“ooh, oke!”

suatu tempat. oikawa sebenarnya ingin bertanya lebih lanjut, tapi apa daya hati sekuat badai berteriak meminta agar bibir tetap terkatup— percaya saja sama iwa-chan kira-kira begitu yang disampaikan.

iwaizumi tidak bohong, 2 menit setelah belok-belok melalui hutan, mereka sampai. buat oikawa membelalak. gila, iwaizumi tau darimana tempat ini? cantik. benar-benar cantik.

mereka ada di lapangan luas berlukis bunga diatas bukit, ditemani sedikit kunang-kunang melayang kesana kemari.

“ini.. astaga— iwa-chan, tau tempat ini darimana? secantik ini…” oikawa hampir kehilangan kalimat untuk deskripsikan apa yang mata sedang lihati sekarang. sebagai balasan, iwaizumi hanya tertawa lalu memberi sinyal keluar dari mobil.

namun sayang, udara malam kali ini terlalu dingin. tubuh oikawa langsung menggigil, menolak bertahan lama diluar.

“kita kembali masuk ke mobil aja ya? nanti buka aja atap mobilnya.” pun iwaizumi mengarahkan oikawa ke kursi belakang, kemudian merendahkan kedua kursi depan serta membuka atap mobil seperti apa yang ia bilang.

bolehkah oikawa selamanya disini? rasanya begitu penuh fantasi, tidur berdua dengan sang kasih di mobil sambil tatapi langit. apalagi ada kunang-kunang— sungguhan, oikawa tidak mau sesuatu yang lebih dari ini.

secara tidak sadar, tubuhnya merapat ke iwaizumi yang sempat tegang karena tidak menyangka akan begitu. sekarang bahkan bisa dibilang keduanya seperti berpelukan—iwaizumi melingkarkan tangan di pundak oikawa, guna menghangatkan.

sunyi. tidak ada yang berbicara. takut merusak suasana melengket dengan kenyamanan luar biasa, juga tidak ada yang ingin dibicarakan. toh, hati mereka berdegup kencang untuk satu sama lain, sudah cukup menyuarakan apa yang ingin dikata.

hingga akhirnya kenyamanan itu hancur.

tawa canda jadi teman sejati dari lagu yang lingkupi mobil sedan hitam dikendarai oleh iwaizumi. mungkin sudah ada 10 menit mereka berkendara, yang mana diawali dengan oikawa meloncat dari jendela kamarnya dan saat masuk mobil langsung mengeluarkan pernyataan tentang lagu yang disetel waktu itu,

“ini.. lagunya arctic monkeys yang judulnya 'when the sun goes down', bukan ya?”

“iya benar kok,” iwaizumi menoleh sedikit, “memangnya kamu belum lihat playlistku di love loop?”

aduh, oikawa lupa. jadinya hanya tertawa kecil, lalu menggeleng. awalnya mengira percakapan akan mati disitu, tapi siapa sangka iwaizumi malah menyodorkan handphone-nya, “nih, playlistku. sekalian atur aja lagunya.”

oikawa awalnya tidak mau. handphone itu privasi masing-masing orang, walau berdua memang sudah ucap nyaman satu sama lain dan dipegangkan cuma untuk mengatur lagu, tetap saja. mereka belum ada seminggu bertemu.

tapi, ya sudah lah. tangan terima handphone milik lelaki rambut hitam itu, pun oikawa putar lagu sesuai moodnya. maka dari itu sekarang, lagu yang sedang diputar adalah lagu kesukaannya.

“lagu kesukaanmu?” iwaizumi bertanya tanpa menoleh, oikawa terkejut bukan main. bagaimana tidak, lagunya saja baru mulai 2 detik. belum lagi ditambah fakta oikawa belum ada bilang bahwa 'who do you love' milik 5sos itu favoritnya.

“iwa-chan tau dari mana?!”

terkekeh, “love loop, lah. lagu itu nomor satu di playlistmu.” kali ini iwaizumi miringkan kepala guna tatap oikawa sambil tersenyum tipis.

pertanyaannya adalah, untuk apa iwaizumi tersenyum seperti itu? oikawa bisa rasa pipi memerah. sinting, iwaizumi hajime tampan luar biasa tersenyum dengan hanya satu tangan memegang stir.

akhirnya oikawa buang muka, mengganti atensi ke pemandangan gelap nan indah kota. sebentar, ini bukan di kota lagi. melainkan.. di pantai? oikawa baru sadar, mengerjap beberapa kali karena baru kali ini dibawa ke pantai pada tengah malam.

indah, sangat indah. baru saja oikawa tenggelamkan diri dalam keindahan, ia mengembalikan atensi ke iwaizumi kala mobil yang dikendarai berhenti, “iwa-chan, kenapa berhenti?” oikawa bertanya.

“ayo turun. gak apa-apa kan berjalan sebentar keliling pantai?”

tentu saja tidak masalah. oikawa dengan senang hati keluar dari mobil, kemudian sedikit tersentak ketika iwaizumi sampirkan jaket hitam serta menggengam tangan kanannya.

iwaizumi, astaga. lelaki itu terlalu soft. hati oikawa lelah sedari tadi berdegup terlalu kencang hingga terasa ingin keluar dari relung.

mereka jalan berdua, bersampingan dan bergandengan, tengah malam di pantai. jika ada seseorang yang melihat, pasti disangka pacaran atau bahkan menikah. terlihat jelas senyum lukis kedua wajah, walau oikawa senyum lebih lebar sedangkan iwaizumi hanya senyuman tipis andalannya.

tetapi mendadak oikawa berhenti, terjatuh di kedua lututnya. iwaizumi panik, “tooru?! hey, kamu kenapa?”

mau menjawab namun lidah kelu. rasanya pusing, oikawa tidak kuat. kepala seperti dihantam berulang kali. mata mulai kabur, ia sedikit terisak. kesadaran juga sudah diambang batas, bahkan ia tidak sadar telah digendong oleh iwaizumi dan dibawa balik ke mobil.

ketika oikawa rasa dirinya didudukkan di kursi mobil, ada sebuah kilasan memori muncul di dalam kepala. memori tentang dirinya dan seseorang, di pantai yang sama, berlari sambil bermain air.

siapa..? itu siapa? kenapa aku tidak ingat?

kesadaran oikawa kembali tepat dengan pusing yang mulai tinggalkan kepala. ia menoleh, melihat wajah iwaizumi dipenuhi panik.

“ini, minum dulu,” iwaizumi sodorkan satu botol air putih dan oikawa langsung meminumnya, “sudah agak baikan? kamu tadi kenapa, tooru?”

oikawa angguk sedikit, “aku tidak tau kenapa, iwa-chan. rasanya.. pusing.”

helaan nafas dihembuskan oleh iwaizumi, pun mobil dinyalakan. tanda bahwa oikawa akan diantar pulang. lagian, tidak mungkin kan jika mereka melanjutkan berjalan kalau keadaan oikawa saja seperti ini.

secara tidak sadar, oikawa mengambil handphone iwaizumi yang ada di dashboard mobil, seakan-akan sudah kebiasaan jadi seseorang yang atur lagu yang akan disetel. tapi terkunci, oikawa tidak tau passwordnya.

“iwa-chan, passwordnya.” iwaizumi menaikkan alis, namun tetap mengambil handphone-nya dan menekan angka-angka passwordnya.

ah, tunggu dulu. walau oikawa tidak terlalu lihat jelas karena masih pusing ditambah lagi pencahayaan minim, tapi ia tau tata letak angka handphone bermerk apel gigit itu, sehingga bisa ketebak iwaizumi menekan angka 0720.

20 juli. ulang tahun oikawa.

bagaimana.. bagaimana bisa iwaizumi tau?

before you read !!

tw // implied abusive mother, implied manipulation, implied gaslighting


“kenapa, ibu?”

oikawa bertanya tepat setelah kaki injak tangga terakhir yang jadi jembatan antara lantai satu dan lantai dua.

sang ibu hanya menatap melalui mata kecoklatan itu— masih cantik, walau umur sudah 51 tahun. namun dibalik keanggunan ibunda yang duduk di salah satu kursi meja makan, oikawa paham pasti ada sesuatu yang dilakukan hingga ibunda sampai meminta untuk berbicara.

“lelaki tadi, yang mengantarmu. siapa namanya?”

huh?

alis tanpa sadar sedikit berkerut, oikawa bingung. total bingung. ibu.. ibu ingin membahas tentang iwaizumi—berarti yang oikawa rasakan tadi, ketegangan antara ibu dan iwaizumi, memang benar adanya?

“memangnya kenapa, ibu?”

sang ibu menghela nafas. seakan tidak mau menjawab alasan. berakhir menyuruh oikawa, “jawab saja pertanyaannya, nak.”

“iwaizumi.” oikawa hela nafas perlahan, tiba-tiba tercekat entah mengapa, “iwaizumi hajime.”

ada jeda beberapa detik dimana muka ibu berubah horror. akan ketakutan, kecemasan, bercampur jadi satu. tentu, oikawa tidak melewatkannya. ia melihat semua itu dengan jelas.

“kamu.. baru berkenalan dengannya.. kan? iya kan?”

dua pilihan. oikawa bisa berkata sejujurnya, mempercayai sang ibunda yang mana secara tidak langsung jadikan iwaizumi sesosok yang berbahaya, atau oikawa bisa berbohong, memilih untuk melindungi iwaizumi entah dari apa yang sedang ibu pikirkan sekaligus melupakan fakta tadi sempat ada ketakutan terlukis di wajah perempuan yang melahirkannya itu.

dan oikawa memilih untuk berbohong.

“tidak. aku sudah kenal dengannya dari lama, ibu. tapi baru kali ini jalan bersama.”

“jangan bohong, nak. ibu tau kamu hanya punya kenma sebagai temanmu.”

“bukan berarti aku tidak bisa memiliki teman selain kenma. toh juga, dari awal, siapa yang membuatku tidak memiliki teman?”

jujur saja, oikawa sebenarnya tidak mau berkelahi. tetapi lihat, sekarang sang ibunda terdiam— mengetahui bahwa yang salah adalah dirinya. memenjarakan dan mendidik anak dengan keras sedari kecil bukanlah sesuatu yang patut untuk dilakukan hanya karena sang ayah telah pergi.

helaan nafas terdengar, “tetap saja, tooru. ibu mau kamu untuk jauhi iwaizumi. ibu tau dia bukan seseorang yang baik untukmu.”

candaan macam apa ini? oikawa bahkan harus tahan ketawa.

“jangan larang aku, ibu. ibu juga tidak tau iwaizumi orangnya seperti apa dan ini hidupku, biarkan aku mengendalikannya sendiri. maaf, tapi aku sudah lelah mengikuti ibu semenjak aku lahir.”

oikawa berdiri, mengambil tangan kanan sang ibunda untuk dikecup— sebuah kebiasaan apabila ia rasa telah melewati batas— sebelum akhirnya meninggalkan sang ibu sendirian untuk kembali ke kamarnya.