Bicara Padaku.
— warning! this chapter contains : self-doubt, harsh criticism
“Sunghoon, ada apa denganmu? Kemarin kamu bisa lakukan back to back mapes and waltz jumps tanpa ada masalah sama sekali,”
Wajah sang pelatih datar, tetapi setiap kata bagai gasing panas membakar telinga Sunghoon. Tidak enak, sama sekali tidak— ditambah lagi fakta pelatihnya berkata fakta. Sunghoon tau hari ini ia benar-benar terburuk.
“Jadi kenapa sekarang kamu tidak bisa melakukannya? Bahkan sampai terjatuh terus menerus dalam 10 kali percobaan. Spinning-mu juga lumayan berantakan. Saya ingin tau apabila ada sesuatu yang mengganggu, karena lomba sudah di penghujung mata.”
Nafas memburu serta rasa nyeri secara fisik dan mental yang menjalar tiada henti buat Sunghoon sedikit susah menjawab. Ada sekitar semenit dihabiskan untuk atur emosi, lalu sesudahnya— pertanyaan sang pelatih berhasil bertemu jawaban dinanti.
“Maaf, coach. Besok saya akan latihan sendiri, dan hari ini memang ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya. Tetapi itu semua bukan salah siapapun, melainkan salah saya sendiri, karena tidak bisa mengembalikan fokus. Sekali lagi saya minta maaf.”
Perkataan diakhiri dengan Sunghoon paksa tubuh penuh memar biru yang baru saja memekar untuk membungkuk 90 derajat, sekaligus coba sekuat tenaga agar tidak menangis.
Aneh. Tentu sepanjang perjalanan 6 tahun sebagai seorang artistic roller skater, Sunghoon terbisa terima kritikan sepedas apapun. Bagai makanan sehari-hari terkonsumsi guna memperbaiki diri sendiri nanti.
Lantas mengapa? Mengapa ia rasa begitu sakit, begitu tidak berguna— semua disebabkan kesalahan satu hari saja? Sial, Sunghoon pusing bukan main. Kaki jangkung langsung melangkah lunglai keluar dari gymnasium. Kepala tidak mau dinaikkan, peduli setan mau tabrak orang atau tiang sekalipun.
Saat dekati gerbang utama, Sunghoon berhenti— menekan pikiran agar tidak ribut dalam menjatuhkan dirinya sendiri. Detik itu juga ia tanamkan pikiran baru. Besok, pasti besok ia akan kembali ke diri yang biasanya. Diri yang tidak khawatir tentang pandangan orang lain.
Toh, Sunghoon tidak tau persis seperti apa pandangan mereka. Sekedar satu hal yang ia tau adalah mereka jelas iri. Begitu iri pada fakta bahwa mereka sama sekali tidak bisa membuat Lee Heeseung jatuh tidak berdaya dibayang cinta layak lelaki itu padanya.
Pemikiran tersebut buat Sunghoon tertawa sendiri sebab terkesan terlampau berani—
“Dek, kamu kenapa? Serem loh mendadak ketawa gitu.”
Sayangnya tidak sadar sedari tadi Heeseung sudah berada di samping. Serius, Heeseung harus berhenti mendadak muncul seperti ini karena Sunghoon tidak suka mendadak terlonjak kaget ditemani malu melingkupi.
“Kak?! D-dari kapan jalan disampingku?” Pertanyaan Sunghoon mengakibatkan Heeseung mendengus, menggeleng-geleng kepala tidak percaya. “Dari 4 menit yang lalu. Kamu lagi banyak pikiran, ya?”
Pertanyaan retorikal. Berdua tau tanpa Sunghoon menjawab, pasti ketahui jawabannya adalah 'iya.' Maka dari itu Heeseung tidak masalah pertanyaannya termakan udara begitu saja. Ia malah tarik lembut tangan kanan Sunghoon,
“Ayo kita pergi.”
Sesampainya di mobil, “Kak, ini kita mau kemana?” Sunghoon langsung bertanya. Pikiran tidak lagi berkabut, maka dari itu sanggup ingat Heeseung bilang mau lanjut mengobrol di ruang chat mereka beberapa jam lalu. Kemungkinan mereka tidak langsung pulang ada di persentase 85%— setidaknya segitu, menurut Sunghoon.
“Ah, iya. Aku berencana untuk membawamu ke tempat kesukaanku— sekalian kenalan formal dulu sambil bincang nanti,” Heeseung tertawa sedikit, “Tapi kayaknya bakal sampai malam. Nah masalahnya, Hoonie dibolehin gak baru pulang ke rumah mungkin sekitar jam 8 atau 9?”
Tunggu. Hoonie? Apa Heeseung baru saja— astaga, Sunghoon mau meledak. Memang benar dua hari ini Heeseung selalu gunakan panggilan manis padanya, tetapi panggilan ini, Hoonie, Sunghoon terus terang sangat suka.
“Dek?”
Bodoh. Lupa menjawab. Sunghoon kebablakan, “Hah— boleh kok.. boleh, kayaknya kak.”
“Kok ada kayaknya sih? Yang bener gimana?” Heeseung tertawa. Salah satu tangan tinggalkan stir mobil, usak perlahan rambut Sunghoon akibat gemas.
Heeseung tidak kasih waktu bernafas barang sedetik. Yang lebih tua terus menerus lakukan hal penuh romansa bak sepasang kekasih kasmaran. Bahaya, Sunghoon rasa hangat mulai rasuki kedua pipinya.
Kalau begini, Sunghoon berubah hilang peduli entah orang tua-nya marah atau tidak saat nanti ia pulang larut karena dibawa pergi oleh Heeseung.