Senja, Sang Saksi Bisu.
“Terimakasih atas hari ini, kalian bisa pergi.”
Suara pelatih menggema, Sunghoon tersenyum penuh kemenangan— bagaimana tidak? Ia berhasil menyempurnakan gerakan-gerakan untuk lomba nanti.
Hari ini lumayan menyenangkan, pikirannya menyimpulkan kala kaki jalan keluar, tapi itu jika kejadian tadi pagi tidak dihitung sih. Ah, ia jadi ingat. Heeseung menyuruhnya untuk ke atap sekolah saat mereka berpapasan di waktu istirahat kedua, dikata lebih baik apabila mereka berbicara disitu dibanding di mobil.
Itu sedikit membuat Sunghoon senang. Setidaknya, Heeseung tau apa yang ia ingin bicarakan memang penting. Tidak bisa disepelekan begitu saja.
Maka dari itu, Sunghoon cepatkan langkah kaki. Apalagi langit sudah berlukis oranye bercampur ungu pudar saat diri sampai di atap. Namun, ini aneh. Sunghoon mengernyit, sama sekali tidak ada siapapun disana. Heeseung belum datang.
Kepikiran, Sunghoon jadi kepikiran. Sepercayanya diri pada yang lebih tua, tetap tidak cukup untuk hentikan awan tebal berisi pikiran buruk tutupi akal. Bagaimana jika Heeseung lupa, atau apabila Heeseung sudah pulang duluan? Bisa juga Heeseung tidak mau berbica—
“Hey, Hoonie. Sorry agak telat, kamu pasti udah nunggu lama ya?”
Sunghoon rasanya mau berterimakasih pada siapapun yang buat Heeseung selalu datang di saat yang tepat. Kepala ditolehkan, gelengan ia beri sebagai jawaban.
Ada senyuman lembut merangkai bibir Heeseung, dengan tangan yang acak sedikit rambut Sunghoon. “Ayo, kita bicara.”
Jujur. Jantung Sunghoon mau meledak. Seakan berada di dunia film romansa, ini semua terlalu indah untuk dirasakan olehnya— Heeseung duduk disamping, jemari terkait jemari, disaksi-bisukan oleh senja.
Tidak, tidak bisa begini— Sunghoon tarik nafas perlahan guna tenangkan pikiran. Bibir terasa susah bergerak, walau pada akhirnya berhasil,
“Kak hee, d—don’t you think.. we’re both bad influences to each other..?” Salah satu alis Heeseung naik keatas, seperti mempertanyakan namun tidak bersua, menunggu sampai Sunghoon jelaskan alasan.
“Maksudku, bukan berarti kakak buruk buat aku atau gimana— lebih kayak.. whatever we have right now, aku ngerasa itu yang berdampak.. ke- itu.. uh… ”
Perkataan Sunghoon terhenti. Masih mencari kata tepat, otak tiba-tiba hilang kosakata. Mata berkedip berulang kali— astaga, Sunghoon benar lupa. Padahal sudah diujung lidah siap diucapkan.
“Prestasi kita?” Akhirnya Heeseung bersuara, Sunghoon angguk pelan. Mulai rasa takut karena bisa saja yang lebih tua akan lihat dirinya dengan perspeksi buruk.
Sunyi. Baru beberapa menit setelahnya yang lebih tua ambil kesempatannya untuk jawab, “I think so too, honestly. Tapi aku rasa karena emang waktunya gak tepat. Kita lagi pdkt-an gini pas deket sama lomba-lomba yang seharusnya kita fokus ke situ, dan kamu lomba tanggal 27 kan?”
Sunghoon berpikir sebentar mengingat dengan pasti, “Iya, kak. Hari sabtu.”
“Aku juga olimpiade di hari yang sama, Hoon. Jadinya gimana kalau.. we take a break from what we are right now, dan kembali lagi habis semuanya selesai? Untuk seminggu lebih beberapa hari aja.”
Take a break. Bagai pasangan sedang dilanda masalah saja, Sunghoon tawa miris dalam diam. Tetapi ia tau, itu jalan terbaik. Sunghoon juga tau kalau mereka paksa semua, pasti berakhir jadi penghancur apa yang telah mereka kuasai dan bangun selama bertahun-tahun lamanya. Berdua mana mau hancur semudah itu karena cinta.
Pun Sunghoon setuju. “Iya, lebih baik gitu.” Hanya saja diri bukan seorang aktor handal dalam sembunyikan perasaan dibalik topeng, dan Heeseung bukan seorang buta akan keadaan.
“Jangan sedih dek,” Ada ketawa kecil terselip, “Kita masih pulang-pergi sekolah bareng kok. So we just.. won’t be able to chat often, but not completely acting like strangers.”
Helaan nafas lega tidak bisa ditahan tidak keluar, “Aku kira kakak bakal bener-bener buat kita lost contact gitu aja.”
“Gak mungkin, yang ada aku bakal kangen banget sama kamu dan tambah hilang fokus.”
Bisakah Heeseung tidak menggombal lalu menatapnya seakan ia adalah satu-satunya orang di dunia ini pada saat yang sama? Jantung Sunghoon serius bisa keluar sangking kencang degupan.
Alih-alih menjawab, Sunghoon lepas atensi dari Heeseung. Sembunyikan rona merah mulai memekar di pipi. Telinga tangkap Heeseung tertawa lepas, “Gemes. Kamu gemes, Sunghoon.”
Diam! Pikiran Sunghoon mengamuk. Ayolah, mereka sebentar lagi akan jarang bertemu— Heeseung seharusnya tidak membuat Sunghoon semakin jatuh seperti itu.
“Oh iya,” Heeseung berkata seakan ingat sesuatu, Sunghoon langsung kembalikan atensi. “Kamu mulai lomba nanti jam berapa?”
“Jam 3 sore, emangnya kenapa kak?”
Muka Heeseung berubah begitu cerah. Layak bertemu harta karun. “Aku bisa nonton kamu, no, I’ll definitely watch you, karena olimpiadenya selesai jam 2.”
“Eh?! Serius?”
“Serius, cantik— eh udah yuk, pulang. Udah sore banget, nanti kamu dicariin orang tuamu.”
Heeseung berdiri, salah satu tangan membantu tarik Sunghoon dari posisi duduk. Tetapi sebelum mereka berjalan keluar dari atap, Heeseung secara lembut tarik Sunghoon dan memeluknya, sambil berbisik di telinga—
“Sebentar saja ya, Sunghoon? Setidaknya biarin kita gini dulu. Jadi nanti besok dan selanjutnya sampai seminggu, aku bisa coba untuk gak terlalu kangen sama kamu.”