fantasia

“hey, darling.” heeseung menyapa tepat ketika sunghoon masuk ke dalam mobil. “maaf ya, semalam aku hilang begitu aja.”

yang lebih muda tersenyum, “aku kan udah bilang gak apa-apa, alpha.” jemari sunghoon dimainkan perlahan oleh heeseung, alpha itu ikut tersenyum sebelum akhirnya mengambil sesuatu disamping kursi pengemudi-nya.

setangkai bunga mawar merah.

sunghoon mengambil waktu untuk mengagumi bunga itu. diputar-putar kecil oleh jemari, setelah diberi oleh heeseung. kepala menggeleng, “heeseung, kamu tidak perlu memberiku hadiah setiap hari.”

“tentu saja perlu.” sang alpha tidak setuju, “aku sedang courting kamu. itu hakmu untuk mendapat hadiah, dan kewajibanku untuk kasih kamu hadiah.”

secara kikuk, sunghoon hanya bisa mengangguk setuju. takut apabila menolak, malah membuat heeseung marah. entah dari pertama masuk mobil sampai sekarang lelaki itu sedang berakting, atau menyembunyikan sesuatu— sunghoon bukan orang bodoh. jelas sekali scent heeseung terasa suram di indera penciuman.

tetapi ada suatu hal yang lain melekat di scent lelaki itu, sesuatu yang membuat sunghoon merasa aneh seakan tubuh jadi terbakar dan telak berada dibawah kontrol heeseung. hanya saja, sunghoon memilih untuk tidak memikirkannya.

apa yang sebenarnya terjadi tadi malam?

pikiran sunghoon bertanya, mendamba jawaban dari alpha-nya. namun belah bibir tidak pernah terbuka mengeluarkan suara. memendamnya sendiri, mencoba mengetahui sendiri— menebak-nebak bahwa penyebabnya kemungkinan pesan yang membuat ekspresi wajah heeseung berubah saat mereka akan pulang dari festival.

pertanyaan tambah menggerogoti pikiran setelah heeseung tidak melakukan scenting padanya ketika sampai sekolah— hanya ada usakan di rambut, ditambah ucapan “see you, darling” yang sunghoon sendiri tidak tau mengapa namun terasa begitu hampa.

bingung, sunghoon sekarang total bingung dengan kelakuan aneh heeseung.

sunghoon mengerjap pelan. mata berbinar penuh kesenangan, kepala menoleh kesana-kemari mencoba meraup pemandangan penuh keindahan. heeseung membawanya ke sebuah taman bermain yang sedang menyelenggarakan festival kecil.

entah bagaimana lelaki yang sekarang menggenggam tangan mengetahui tentang festival ini.

“kamu suka, darling?” heeseung bertanya, berjalan pelan mengikuti sunghoon yang masih terperangkap akan indahnya festival berlukis senja.

sang omega menoleh, tersenyum begitu lebar. “suka! makasih udah bawa aku kesini, alpha.”

lucu, sunghoon terlihat begitu lucu. heeseung tidak tahan untuk tidak melepas genggaman, hanya agar bisa mengusak rambut, lalu beralih merangkul pinggang.

“gak perlu bilang makasih. it's my job as your alpha, afterall.

kalimat heeseung dibalas oleh anggukan dari sunghoon yang memerah malu, membuang muka sembari pura-pura memperhatikan ramainya orang yang menikmati festival seperti mereka.

mata sunghoon kemudian menangkap adanya bianglala. ia tidak sadar telah melihatinya lama, namun heeseung sadar. alpha itu bertanya— “mau naik itu, hoonie?”

sunghoon tatap heeseung sedikit ragu, “boleh?”

heeseung tertawa kecil, omega-nya harus tau bahwa tidak ada yang tidak boleh untuknya. pun langsung membawa sunghoon kearah bianglala tanpa menjawab pertanyaan. untung saja antrian tidak panjang, tidak butuh waktu lebih dari 5 menit mereka sudah duduk dengan tenang didalam salah satu kabin.

pemandangan disana begitu indah hingga keduanya tidak berbicara. sunghoon bahkan sepenuhnya melihati langit dari jendela, sama sekali tidak melihat heeseung yang perlahan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

“sunghoon.” sang alpha memanggil, kalau didengarkan seksama ada gugup lingkupi suara. yang dipanggil hanya berdeham, masih tidak lepaskan atensi dari semburat ungu milik senja.

“hoonie, darling,

kedua kali heeseung sebut nama. sunghoon sontak menoleh, yang mana ia terkesiap kaget melihat heeseung menatapnya begitu halus dengan tangan menjulur memberi sebuah kotak berlapis beludru warna biru.

belum sempat bertanya, heeseung sudah menjawab terlebih dahulu. “untukmu. hadiah courting.

bibir sunghoon terbuka sedikit. terlalu kaget untuk memproses. walaupun ia tau heeseung sudah berkata ingin courting dirinya, tetapi tidak menyangka akan secepat ini.

tangan sunghoon perlahan ambil pemberian heeseung, tambah terkejut ketika membukanya. sebuah kalung, terlihat begitu sederhana nan mewah dengan satu liontin yang dikelilingi berlian kecil.

“jadi? apa aku diperbolehkan courting kamu?”

pertanyaan retoris. sunghoon langsung menghambur ke pelukan heeseung yang tertawa, kebahagiaan menyelimuti scent keduanya.

“bisa tolong pakaikan?” sang omega berucap, serahkan kembali kalung ke heeseung. yang lebih tua mengangguk, memasangkan kalung di leher sunghoon hati-hati. “sudah, hoonie.”

sunghoon menunduk, melihati kalung yang sekarang hiasi lehernya begitu cantik. bibir tanpa sadar tersenyum. ia mendongak, mengusal sedikit di dagu heeseung.

“terima kasih, alpha.”

tepat ketika sunghoon berucap, kabin yang mereka tumpangi terbuka— menandakan atraksi sudah selesai. sontak sunghoon melepaskan diri dari pelukan heeseung, menunduk malu diperhatikan banyak orang. namun akhirnya mendekat pada alpha-nya lagi, kedua tangan saling bertaut dengan bibir tidak henti ketawa.

ah. sunghoon tidak mau pulang. mau selamanya begini, merasakan bagaimana scent mereka tercium begitu tercampur dalam kesenangan. namun sayang, hari sudah malam, maka dari itu heeseung langsung membawa mereka kembali ke mobil.

saat di mobil, jemari sunghoon mainkan sedikit kalung pemberian heeseung— ia jadi paham mengapa heeseung bertindak sangat manis hari ini. mereka menatap satu sama lain, kembali tertawa akan merasa konyol atas cinta yang meluap.

baru saja heeseung ingin berkata sesuatu, denting notifikasi handphone-nya menganggu. heeseung mengecek, seketika ekspresinya berubah sekilas.

sunghoon sadar itu. siapa yang chat heeseung, dan apa seburuk itu, sehingga alpha-nya berubah diam sepanjang jalan?

jantung seakan mau keluar dari relung. sunghoon gigit bibir, tangan bermain dengan satu sama lain— mencoba untuk meredam rasa takut yang mulai menggelora.

mata menatap kesamping, jadi sadar bahwa heeseung merasa hal yang sama. alpha-nya memang terlihat fokus mengendarai mobil namun bisa terlihat bibir digigit berulang kali dalam hitungan detik— mereka sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sunghoon, sekolah sudah berakhir 20 menit yang lalu.

“heeseung,” sunghoon panggil kala mobil berhenti, kepala menoleh tanpa ada kata lagi terucap dari bibir. terlihat dari kedua mata— ia meminta validasi, meminta apapun yang bisa menjauhkan keraguan akan apa yang dapat terjadi apabila kedua orang tua menolak.

tentu saja, heeseung berikan— lelaki itu tatap balik sang omega penuh sayang, jemari bertaut satu sama lain, “iya, sunghoon. apapun yang terjadi, aku gak akan kemana-mana.”

berdua berakhir duduk tegang disamping satu sama lain dengan tangan masih menyatu, depan mereka hanya ada ibunda sunghoon, seorang beta, yang menyeruput tehnya dengan tenang meski heeseung telah selesai bercerita tentang apa yang terjadi.

“ibu, apa ibu.. tidak masalah?” sunghoon beranikan diri untuk memastikan, beberapa detik kemudian sang ibu tertawa pelan sambil mengangguk.

“tentu saja, sayang. ibu malah senang kamu dapat seorang true mate, setidaknya ibu tau sampai akhir nanti kamu tidak akan menderita.”

menghela nafas lega, sunghoon tidak sadar sedari tadi telah menahan nafas atas ketakutan. senyum langsung membingkai wajah, ia menoleh kesamping dan mendapati heeseung berekspresi yang sama.

hanya saja, omega itu lupa. ada satu lagi, satu lagi orang yang belum mendengar serta mensetujui— ayahnya. seorang alpha. ketua dari pack kecil mereka. persetujuan sang ibu tidak ada apa-apanya dibanding sang ayah.

sayang sekali sunghoon sudah terlalu tenang, sehingga saat sang ayah baru memasuki ruang tamu, tubuh sontak berdiri— menjauh dari heeseung yang secara refleks juga ikut berdiri, namun tidak mendekati sunghoon.

“a-ayah,” suara sunghoon bergetar ketakutan. marah, ayahnya marah. terlihat jelas dari tampang, tercium begitu menusuk dari scent yang biasanya membuat sunghoon tenang.

“apa yang telah kamu lakukan, sunghoon?” itu bukan suara ayah yang sunghoon kenal. begitu penuh dengan amarah, tanpa sadar buat sunghoon mundur perlahan mencoba untuk melarikan diri.

tetapi tentu saja sang ayah tidak biarkan. tangan kanan sunghoon dicengkram, “bicara. ayah tidak membesarkanmu untuk diam saja apabila sedang ditanya.”

sunghoon mulai menangis, mencoba memberontak dari cengkraman sang ayah. “le-lepas, ayah, s-sakit—” mata tertutup rapat, secara sayup telinga dapat mendengar suara sang ibunda mencoba menenangkan ayahnya, namun kemudian ada sebuah geraman.

cengkraman pada tangan dilepas paksa membuat sunghoon buka mata— lihat heeseung berada di depannya, mencoba untuk melindunginya secara insting. kedua tangan sunghoon sontak meremat punggung heeseung, kepala sedikit dibenamkan di bahu.

ayah sunghoon tertawa meremehkan. “anak muda, minggir. ini urusan pack kami.”

“tidak,” heeseung menggeram lagi, “urusan sunghoon, urusan saya juga, dan saya hanya melindungi mate saya.”

mate? jangan bercanda. belum ada tanda di leher anakku. kau bukan alpha-nya, sekarang minggir.”

sial. heeseung tidak bisa berkutik melawan perkataan alpha yang lebih tua itu, mau bagaimanapun sunghoon memang belum sepenuhnya menjadi mate-nya. ia berakhir menjawab dengan menggeram lagi— kali ini dengan peringatan tersirat untuk tidak mendekat karena sunghoon masih menangis, bahkan scent manis miliknya berubah sedikit masam layak macarons mulai membasi dan heeseung benci. benci sekali.

“sayang, tenang dulu. mereka true mates. sunghoon tidak melakukan apapun yang menghina pack kita, begitu pula dengan heeseung yang berada didepanmu ini. tenang, ya?”

itu ibu sunghoon, berhasil menenangkan setelah beberapa kali gagal. hawa di ruang tamu berubah— tidak lagi mencegangkan seperti sesaat yang lalu. heeseung menghela nafas, tubuh mulai rileks ketika ayah sunghoon sekarang sibuk meminta penjelasan lebih lanjut pada mate-nya, tidak lagi mengurusi sunghoon.

ah, iya. sunghoon. suara isak tangisnya masih terdengar. heeseung berbalik badan, namun belum sempat berbicara— sunghoon sudah memeluk dengan tangan melingkar di leher sang alpha. hati heeseung berdenyut nyeri, sadar bahwa sunghoon benar-benar tersakiti hingga omega itu meminta kenyamanan pada dirinya, tidak peduli ada orang tua melihat.

heeseung menebak sunghoon tidak pernah dibentak sebegitunya oleh sang ayah, dan memang benar, sunghoon selalu diperlakukan dengan lembut sejak lahir. karena itulah ia tidak bisa berhenti menangis.

“hee-heeseung— hiks— alpha, a-alpha,” sunghoon memeluk lebih erat, seakan takut akan dilepas.

tangan heeseung yang melingkar di pinggang mengelus pelan berusaha memberi ketenangan, “iya, iya hoonie. i'm here, okay? aku udah bilang aku gak akan kemana-mana.”

perkataan heeseung sukses membuat sunghoon berhenti menangis, berubah jadi isakan-isakan kecil. tidak butuh lama agar omega itu sadar sedang memeluk heeseung didepan orang tua-nya, pun langsung melepas pelukan dengan pipi bermekar merah. heeseung terkekeh melihatnya, sedikit menoleh kebelakang untuk melihat kedua orang tua sunghoon yang terlihat tidak masalah.

“sunghoon,” sang ayah memanggil, “maafin ayah, ya? ayah hanya.. kaget mencium scent-mu yang bercampur dengannya, ayah kira ayah gagal melindungimu.”

sunghoon mengangguk, ada senyuman kecil di wajah. paham sang ayah memang protektif terhadapnya, dan tidak bermaksud buruk walau sempat tidak sengaja menyakitinya.

mereka berbincang-bincang hal yang tidak penting setelahnya, terutama ayah sunghoon yang seakan mewawancara heeseung. untung saja lelaki berambut hitam bersemir hijau itu maklum, mau bagaimanapun sunghoon adalah seorang omega.

jam tunjukkan waktu pukul 5 sore saat heeseung akhirnya berdeham— meminta atensi dari ketiga orang lainnya yang berada di ruang tamu. “om, tante, maaf sebelumnya apabila saya tiba-tiba memotong, tapi sekarang sudah sore dan saya ingin membawa sunghoon jalan keluar, apakah boleh?”

sunghoon berkedip cepat. kebingungan. heeseung, ia tidak ada bilang akan membawanya jalan. benar-benar, alpha-nya itu penuh dengan kejutan hari ini.

mereka diam. hanya ada alunan lagu diputar random sesuai radio yang dinyalakan heeseung saat menaiki mobil setelah menyelesaikan sarapan bersama. walau begitu, sunghoon nyaman. mungkin karena scent vinyl tua milik heeseung bercampur dengan harum macarons miliknya.

sebenarnya scent mereka sudah bercampur sedari pertama sunghoon dibawa ke apartment, namun baru kali ini benar-benar melingkupi seluruhnya sehingga rasanya begitu hangat layak dipeluk.

bahkan itu membuat perjalanan ke rumahnya jauh lebih singkat. padahal, apartment heeseung letaknya sedikit jauh dari kota. kalau sunghoon hitung-hitung, seharusnya bisa memakan waktu sekitar 20 menit. ini bahkan belum ada 10 menit.

“gak usah turun, alpha. aku cuma sebentar aja.” sunghoon berkata kala heeseung akan mematikan mobil saat sudah sampai depan rumah, yang mana yang lebih tua langsung merespon dengan wajah bingung.

“beneran?“

hanya mengangguk sebagai jawaban, sunghoon langsung keluar dari mobil— mengingat waktu mereka terbatas karena sebentar lagi bel masuk sekolah berbunyi.

sunghoon secepat kilat masuk ke dalam rumah, berlari ke kamar di lantai dua. tidak mau membuat heeseung menunggu terlalu lama. bahkan teriakan sang ibunda sedikit tidak dihiraukan, walaupun pada akhirnya sempatkan untuk salim dan bilang akan menjelaskan semua nanti pas pulang sekolah.

ah. sepertinya ia berganti pakaian terlalu cepat. heeseung kaget lihat sunghoon sudah duduk manis disamping menggunakan seragam sekolah lengkap, “cepet banget?”

sang omega tersenyum lucu, “huum! gak mau buat kita telat.”

heeseung ikut tersenyum— secara mendadak ambil tangan sunghoon untuk digenggam, lalu menjalankan mobil dengan satu tangan.

ada apa dengan heeseung hari ini, sunghoon sedikit bingung. sedari pagi lelaki itu melakukan tindakan yang buat jantung degup begitu cepat dan pipi jadi merah bak bunga mawar bermekar.

bukan berarti tidak suka. ia sangat suka, malah. afeksi-afeksi kecil yang heeseung tunjukkan sukses membuatnya tambah jatuh.

lagian, bagaimana sunghoon tidak tambah tenggelam pada perasaan, apabila hal pertama yang heeseung lakukan ketika mereka sampai di sekolah adalah menariknya mendekat—

darling, can i scent you?” heeseung berucap tepat di telinga membuat sunghoon bergidik, “aku kemungkinan tidak bisa bertemu denganmu sampai nanti pulang sekolah. jadi, boleh, ya?”

begitu sang omega mengangguk, scent glands-nya langsung diendus perlahan oleh heeseung yang kemudian berubah menjadi kecupan-kecupan kecil. tidak butuh lama agar scent heeseung melekat kuat, kini lebih bercampur dengan manis scent-nya.

tangan sunghoon gemetar sedikit, memberanikan diri untuk mengelus leher heeseung sebagai upaya agar ada scent miliknya juga di tubuh heeseung.

sunghoon tidak berani berlaku bertindak sejauh heeseung— tetapi bagainana ia menolak kalau heeseung sendiri menjenjangkan lehernya sedikit, menyuruh sunghoon agar berlaku hal yang sama.

pun akhirnya sang omega mengusalkan scent macarons miliknya perlahan di leher alpha-nya, namun tidak ada lebih dari semenit karena heeseung menarik diri. sunghoon baru tersadar nafas mereka berdua mulai masai— ah. pantas heeseung langsung menjauh. kalau dilanjutkan, mereka bisa bolos sekolah.

see you later, hoonie.” heeseung mengacak rambut sunghoon, dengan senyum lukis bibir.

sunghoon mengangguk lucu, “see you, alpha.”

waktu bahkan belum menunjukkan jam 5 di pagi hari, namun suara denting peralatan masak membuat heeseung terbangun— langsung menoleh ke arah dapur sambil mengerjap pelan mencoba memfokuskan pandangan.

yang dilihat adalah sunghoon, masih menggunakan hoodie dan celana training miliknya dari semalam, mondar-mandir kesana kemari memasak sesuatu yang heeseung tebak berupa sarapan untuk mereka berdua.

“sunghoon?” suara heeseung serak, terdengar lemah walau sudah mencoba untuk bersuara seperti normal.

sontak sunghoon menoleh kebelakang, tersenyum manis dengan tatapan sedikit bersalah. “selamat pagi, alpha. maaf, aku terlalu ribut ya?”

heeseung menggeleng. berjalan agak limbung ke arah dapur, lalu duduk di salah satu kursi meja makan. “pagi, darling. gak perlu minta maaf, lagian memang sudah waktunya untuk bangun. kan kita perlu ke rumahmu terlebih dahulu buat ambil seragam sekolah-mu.”

coba saja heeseung sudah terbangun sepenuhnya, maka alpha itu pasti bisa melihat semburat merah di pipi omega-nya yang seketika kembalikan perhatiannya ke masakan yang sedang dibuat. semua itu hanya karena heeseung panggil dengan sebutan ‘darling’, untuk kedua kalinya.

“oh iya, kamu bangun jam berapa, hoon? gak ngantuk sepagi ini udah masak?” sebuah pertanyaan dilontarkan guna menghindari kesunyian, walaupun kalau boleh jujur— heeseung suka melihat sunghoon masak dari belakang dalam diam. rasanya seakan sudah punya keluarga sendiri.

sunghoon berpikir sebentar, “uh.. aku tidak terlalu lihat jam.. sepertinya jam 4? aku memang sengaja bangun kepagian kok.”

awalnya heeseung hanya mengangguk, tidak lagi menjawab, sebelum akhirnya ia sadar akan suatu hal— omega-nya bilang bahwa ia sengaja bangun pagi.

“sengaja?” berakhir bertanya dengan satu alis dinaikkan bingung, “kenapa sengaja, sunghoon?”

ah. sepertinya sunghoon kelepasan berkata. omega itu kembali memerah, persis seperti beberapa menit lalu. tangan yang bergerak untuk memasak berubah aneh, salah tingkah.

suara sunghoon bergetar saat menjawab. “…. i-itu— uhm.. karena a-aku emang mau masak,” berubah mengecil di akhir akibat malu, “buat heeseung.”

mau sekecil apapun suaranya, tentu saja heeseung dengar karena apartment begitu sunyi. sang alpha langsung terkekeh, berdiri dan berjalan mendekati sunghoon yang masih berusaha mempertahankan atensi pada masakannya.

“makasih, hoonie.”

sunghoon tambah mematung— heeseung berkata dengan sebegitu lembut, satu tangan berada di pinggang untuk melingkar sebentar sebelum akhirnya dilepas, “kalau begitu aku mandi dulu, ya? habis itu kita sarapan bareng.”

sepertinya aman untuk berkata sunghoon sebentar lagi akan jadi gila.

mata sunghoon mengerjap pelan. kepala masih berdentum, tapi tidak seburuk sebelumnya. tunggu dulu, ini bukan kamarnya, lalu sekarang dima—

“hey, sudah bangun?”

layak kaset rusak, sunghoon langsung ingat semuanya. mulai dari heeseung yang bilang bahwa dirinya adalah omega-nya, sampai heeseung yang memeluk tubuh dari belakang.

malu. sunghoon malu. tidak berani menatap heeseung disamping, hanya bisa mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan tadi.

terdengar helaan nafas pelan, kemudian tangan kanannya ditarik. sunghoon langsung menoleh, bingung mengapa heeseung menarik tangannya.

“ayo, sunghoon.” sunghoon hampir bertanya ‘kemana? buat apa?’ namun heeseung sudah menjawab terlebih dahulu seakan membaca pikiran, “ke sofa ruang tamu, kita perlu bicara.”


“se-sebentar— so you’ve implanted on me? and we’re t-true mates?

sunghoon bertanya tepat setelah heeseung berbicara, memastikan apa yang didengar memang benar.

“iya, benar.” heeseung ketawa kosong, “gak bisa dipercaya, kan?”

menggeleng, sunghoon tidak merasa itu tidak bisa dipercaya. “enggak. masih bisa dipercaya, kak. semuanya jadi masuk akal. mungkin karena itu juga heat-ku jadi datang lebih cepat.”

yang lebih tua mengangguk, tidak tau mau menjawab apa. mereka diam selama 5 menit, atensi pura-pura dialihkan ke senja yang sedang memanjakan mata.

menarik nafas dalam, sunghoon jadi yang pertama bicara. “jadi.. kita sekarang apa, kak?”

heeseung mengerjap bingung. “kita ya kita, sunghoon, maksudmu gimana?”

ah. heeseung ini ternyata tidak cepat tangkap. sang omega hela nafas sedikit kesal, namun ia tau pertanyaannya memang penuh abu.

“maksudku, setelah ini kita gimana, kak? bonding?“ heeseung langsung menggeleng, tepat setelah sunghoon selesai bertanya.

membuat hatinya seakan ditusuk ribuan jarum. alpha-nya tidak mau dirinya. hampir menangis, kalau saja heeseung tidak membuka mulut.

“aku mau kenal kamu dulu, mau buat kita berdua beneran cinta satu sama lain sebelum bonding. aku juga belum courting kamu, jadi aku mau lakuin itu.”

pipi sunghoon memerah. terutama sekarang tangan heeseung bermain-main dengan jemarinya, sebelum akhirnya tangannya dibawa naik dan dicium perlahan oleh sang alpha tepat di pergelangan tangan.

gila, ini gila. heeseung gila. sunghoon sampai tidak tau mau bagaimana, tangan berakhir ditautkan satu sama lain.

“sunghoon,” heeseung memanggil, sunghoon berdeham. “karena ini udah mau malam, gak apa-apa kamu nginap disini? nanti aku bakal tidur di sofa kok.”

yang lebih muda mengangguk, “gak apa-apa, kak. tapi aku perlu kabarin orang tua-ku.” sunghoon mengambil handphone-nya yang masih berada di kantong, sedikit terkejut melihat banyaknya notifikasi dari teman-temannya. terutama jake.

“oke.” adalah jawaban heeseung, yang sekarang berdiri dan berjalan ke arah dapur, tidak ingin mengganggu privasi sunghoon sekaligus ingin memasak sesuatu untuk makan malam.

tetapi sebelum sampai ke dapur, heeseung berhenti dan berbalik. “sunghoon,” ia memanggil dengan nada yang halus.

“iya?” sang omega menoleh, tanpa sadar menatap menggunakan mata penuh afeksi.

“setelah ini jangan panggil aku ‘kak’ lagi, because we’re..” heeseung menutup bibir sejenak, bagai ragu untuk berkata yang mana membuat sunghoon mengerjap bingung,

we’re true mates after all.

cw // slight mature content.


hilang kendali. heeseung total hilang kendali. tidak tau apa yang merasuki diri, sekarang sibuk mengusap scent-nya secara kasar di leher sunghoon tepat di scent glands-nya— seakan-akan tidak boleh ada scent lain selain miliknya di tubuh omega itu.

tubuh sunghoon masih di dekapan, terjebak antar dinding dekat pintu apartment dan tangan heeseung. mereka berdua sudah tidak sadar, feromon bergantung di udara, dengan bibir berkelahi satu sama lain.

heeseung geram, layak hewan buas— sunghoon mengecupi dagunya, sambil melirih berulang kali tepat di telinga, “alpha, sakit— al-alpha, please.”

tali kewarasan terputus begitu saja. sang alpha angkat omega-nya, berjalan tergesa ke kamar. tanpa sengaja, heeseung lihat wajahnya di cermin bulat yang dipajang di ruang tamu dekat kamar—

sebentar. matanya, warna matanya berubah merah.

sontak heeseung berhenti. pikiran kembali waras, tersadar akan apa yang hampir ia lakukan. gila, seharusnya sedari tadi beri sunghoon suppressant yang telah ada di kantong celananya, bukan malah tergoda lalu membawa omega itu pulang.

dan masalah warna matanya, heeseung masih tidak bisa percaya, namun memilih untuk memikirkan hal itu nanti. terutama sekarang sunghoon merengek. bingung mengapa sang alpha berhenti.

lantas heeseung secepat kilat ambil satu pil suppressant dengan satu tangan, “minum, sunghoon.” langsung disodorkan depan bibir yang lebih muda. tetapi sunghoon menggeleng, bibir tertutup rapat tidak mau menurut.

melihatnya, heeseung hela nafas kasar. benar-benar tidak mau memerintah sang omega, tapi mau bagaimana lagi? apabila tidak diminum sekarang, heeseung tidak yakin kesadarannya akan tetap ada.

minum.

sunghoon buka mulut layak perintah heeseung bagai mantra pada diri. langsung menelan pil kecil warna putih itu, sesaat setelah heeseung berikan air putih di meja samping mereka.

beberapa menit kemudian, seakan tersadar, sunghoon memberontak. menangis-nangis sambil memukul dada heeseung— meminta dilepaskan dari gendongan. heeseung paham, sunghoon seperti itu karena efek dari suppressant belum muncul, sehingga langsung dilepas.

heeseung sudah siap kena amuk atas aksinya, tetapi ia kaget ketika sunghoon tidak mengamuk, melainkan berkata—

“hee— a-alpha, kenapa.. kenapa menyuruhku meminum pil itu? a-am i.. not a good— not a good omega for you..?” tubuh omega itu bergetar, tangisannya berubah pelan. tidak sekencang tadi.

hati heeseung seperti jatuh ke dasar bumi paling dalam mendengarnya, lalu seperti diremas kuat karena sesaat setelah heeseung mendekat dengan bibir terbuka untuk berkata, sunghoon berbalik badan. tidak mau melihat sang alpha.

itu adalah sebuah gestur jika seorang omega merasa ditolak oleh alpha-nya— mengetahui itu, heeseung spontan memeluk sunghoon dari belakang karena insting.

bisikan-bisikan penuh kasih sayang dilontarkan di telinga, “hoon, enggak, you’re a good omega. gue— a-aku cuma gak mau nyakitin kamu.”

“beneran?” suara sunghoon kecil. penuh keraguan. jemari-jemarinya naik, tanpa sadar terikat begitu mudah dengan jemari-jemari heeseung yang memeluk tubuh.

heeseung hanya mengangguk. ia kemudian bisa merasa tubuh sunghoon mulai melemas, pun langsung secara sigap ditahan sebelum jatuh ke lantai.

suppressant-nya telah bekerja, sehingga sunghoon akan tidur mati untuk beberapa jam.

sang alpha menghela nafas. mengangkat tubuh sunghoon secara bridal style, kemudian menaruhnya perlahan di kasur kamarnya, dengan diri yang kemudian duduk di kursi samping kasur.

melihati sunghoon, pikirannya kembali lagi. tentang matanya. ah, tentu saja. semua jadi masuk akal— alasan dibalik sifat heeseung yang berubah sekejap disekitar sang omega, sunghoon yang melepaskan feromonnya ke heeseung saat pre-heat, kemudian kejadian tadi juga. sunghoon yang tidak memarahinya, dan malah merasa tertolak oleh heeseung.

sial, pantas saja sisi alpha-nya telah anggap sunghoon sebagai omega-nya. ia benar-benar melakukannya,

heeseung implanted on sunghoon, accidentally.

cw // heat, slight mature content. (not that much, though.)


entah bagaimana bisa ini terjadi.

sedetik lalu, sunghoon bisa bersumpah seluruh gejala yang dirasa sebelum pergi ke sekolah sudah hilang. sedetik kemudian, ada rasa panas membakar seluruh tubuh, bumi seakan berputar, dan sunghoon tanpa sadar jatuh dari kursi— lutut menghantam lantai kelas.

nafas berubah masai, pikiran kacau tidak bisa berpikir apapun. sial, sial, sial. heat. sunghoon gigit bibir, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara akibat terpengaruh scent para teman sekelasnya. ia bahkan tidak sadar telah mengadah, sedikit memperlihatkan leher sebagai tanda menyerahkan diri sepenuhnya.

sekarang jam istirahat, dan yang berada di kelas hanya para alpha serta beta, ditambah lagi jake tidak ada. tak ada siapapun yang bisa melindunginya.

rasa takut pun merasuki akal sehat yang mulai hilang kala telinga bisa dengar geraman seorang alpha—pasti teman sekelasnya yang terangsang akan harum feromonnya— berjalan mendekati dirinya.

sunghoon kira riwayatnya benar-benar tamat saat itu juga— hingga tiba-tiba tangan ditarik untuk berdiri, sebuah tangan asing dilingkarkan di pinggang guna mendekatkan tubuh ke tubuh sang penarik. ia hampir memberontak lemah, namun scent familiar yang memasuki hidung ketika kepala dibenamkan di leher membuatnya terdiam.

heeseung, alpha, alpha-nya.

“al-alpha,” tanpa sadar sunghoon memanggil, badan berubah lemas dalam rengkuhan heeseung yang tidak menjawab— lelaki rambut hitam bercampur hijau itu sibuk menatap tajam seluruh orang yang melihati sunghoon bak makanan lezat.

scent heeseung mendadak menyelimuti begitu kuat, penuh amarah bercampur dominansi.

awalnya masih ada yang ingin merebut sunghoon, namun perkataan heeseung—

back the fuck off. sunghoon is mine, my omega.

—membuat teman sekelas sunghoon turuti begitu saja dengan kepala menunduk.

ah, sunghoon ingat. ini seperti insiden gerbang kemarin, hanya saja kali ini ia benar-benar lepaskan diri— bagaimana tidak? heeseung memanggilnya sebagai omega-nya. ia sepenuhnya memperlihatkan leher untuk heeseung, dengan bibir tidak berhenti berucap ‘alpha,’ ‘tolong,’ ‘jadikan aku omegamu.’

sang alpha menggeram. melemparkan jaket miliknya terburu-buru, mencoba menutupi leher dan keseluruhan tubuh atas sunghoon.

dan dengan begitu saja, kaki sunghoon tidak lagi menapak di lantai. badan diangkat secara bridal style oleh heeseung.

mereka sudah tidak peduli, tertutup akan insting masing-masing. persetan dengan sekolah, persetan dengan teriakan teman-teman mereka yang melarang mereka pergi—

keputusan heeseung sudah bulat, ia akan bawa sunghoon, ke apartment miliknya.

sialan.

sunghoon mengutuk dibawah nafas, kepala terlalu pusing hingga rasanya seperti ingin meledak. apalagi pinggangnya— saat kaki sentuh lantai sebagai usaha untuk berdiri dari kasur, rasa sakit menyambar layak dipukuli ratusan orang.

apa perlu ia izin tidak masuk sekolah?

tetapi tidak bisa, jake sudah minta tolong file penting itu. lagian, sunghoon yakin sebentar lagi hilang. toh, bukan gejala pre-heat, masih ada waktu sekitar seminggu lagi.

dan dugaan sunghoon benar— sesampainya di sekolah, rasa sakitnya hilang. ia menghela nafas lega sambil berpikir bahwa hari ini tidak seburuk yang ia kira, sampai akhirnya tersadar akan suatu hal.

file yang diminta jake, lelaki itu menyuruhnya untuk di print terlebih dahulu. sedangkan sunghoon, sudah dekat dengan ruang osis, hanya membawa flashdisk miliknya itu.

sebenarnya tidak susah, hanya perlu ke ruang administrasi. masalahnya disini, ruang osis dan ruang administrasi jaraknya jauh. sunghoon menggeram, antara emosi serta malas yang mulai menggerayangi tubuh.

pun akhirnya secepat kilat berbalik badan. kaki sedikit berlari, setelah menyadari sebentar lagi pelajaran pertama mulai. sunghoon juga bisa merasa handphone-nya berdering terus menerus— ia menebak itu ulah jake yang membutuhkan file-nya secepat mungkin.

hanya saja pikiran sunghoon terlalu kalut. tidak sadar akan adanya orang berjalan dari arah berlawanan, sehingga tidak sengaja tubuh menabrak tubuh.

“a-ah astaga, maaf,” sunghoon refleks mundur beberapa langkah lalu menunduk sebagai tanda maaf. saat mata ingin tatap siapa yang ia tabrak, seluruh tubuhnya membeku— tidak, tidak perlu melihat. sunghoon tau jelas siapa.

scent aroma vinyl tua dan uap panas teh hitam itu terlampau familiar, sedari kemarin melekat layak diberi lem pada indera penciuman.

heeseung. ya, tentu saja itu heeseung.

bagai orang-orang bodoh— berdua hanya diam, tatap satu sama lain canggung akan kebingungan mau berbicara atau berlaku seperti apa.

sunghoon mengambil inisiatif pertama, berjalan pelan melewati heeseung tanpa berucap. hampir pergi— jika saja heeseung tidak menahan tangannya.

sontak sunghoon menoleh, nafas tertahan. pikiran kesana kemari memikirkan mengapa heeseung tidak memperbolehkannya pergi.

“hey,” suara heeseung seakan sedikit tercekat di tenggorokan, “lo gak apa-apa?”

hah? memangnya ia kenapa?

sunghoon berkedip cepat. total kebingungan tidak mengerti mengapa heeseung bertanya seperti itu. “a-aku.. aku gak apa-apa, kak.” adalah satu-satunya jawaban yang bisa ia beri.

sesaat bibir heeseung terbuka, lalu tertutup sepersekian detik kemudian. alpha itu tidak jadi berkata apapun di pikiran, tangan akhirnya lepas tangan.

“uhm.. aku duluan ya.” sunghoon buru-buru pergi tanpa buang waktu setelah dilepaskan—

tidak menyadari tatapan heeseung yang sama sekali tidak lepas dari dirinya.

sunghoon menoleh kesana kemari.

mata tidak berhenti mencari sesosok alpha berambut hitam dengan sedikit helai hijau tua, ingin memberi satu kaleng nescafe latte yang dipegang erat oleh kedua tangannya.

bel pulang sekolah sudah berbunyi sedari tadi, menandakan bahwa seluruh kelas telah berakhir. lantas, dimanakah alpha itu? tidak mungkin ia sudah pulang, sunghoon tidak sebegitu telat saat sampai ke korridor milik grade 12. bahkan masih ada ryujin terlihat didepan, seorang alpha yang sunghoon tau satu kelas dan dekat dengan heeseung.

astaga, heeseung ini kemana sih sebenarnya? sunghoon sampai terpikir bahwa bisa saja sang alpha tau lalu secara sengaja menghilang karena tidak ingin diganggu—untungnya beberapa menit kemudian heeseung menampakkan diri, lelaki itu baru saja keluar dari ruangan klub voli.

mata bertemu mata. sunghoon terdiam di tempat, heeseung menaikkan alis bingung melihat omega itu berada di tempat yang seharusnya ia tidak berada.

sang alpha menghela nafas, memiringkan kepala sedikit guna menunjuk arah korridor yang lebih sepi. sebuah suruhan agar mereka berbincang disana saja, yang mana sunghoon langsung mengikuti heeseung layak anak anjing lucu penuh antusias.

sesampainya disana, heeseung menyenderkan diri pada loker— atensi penuh pada sunghoon yang berdiri kaku di depan.

“uhm… ini,” sunghoon menyodorkan kaleng kopi dengan satu tangan ke heeseung yang hanya diam, “sebagai ucapan terimakasih karena tadi pagi membantuku.”

yang lebih tua mendengus, “gue gak ada bantu apa-apa,”

sudah terduga, sunghoon sudah menduga heeseung bakal berlaku seperti itu. tetapi tetap saja, rasanya sakit. tangan yang menyodorkan kaleng kopi hampir jatuh kembali ke sisi tubuh, jika saja heeseung tidak mengambilnya.

“tapi kalau lo rasa gitu— ya udah, sama-sama, dan makasih kopi-nya.”

senyuman langsung hiasi wajah sunghoon. setidaknya, pemberiannya diterima. pipi memerah kala heeseung tersenyum balik, walau tipis dan hampir tidak terlihat.

“lo pulang, gih. udah sore.” heeseung berdiri tegak, tangan sedikit sentuh yang lebih muda di bahu, lalu langsung pergi meninggalkan sunghoon yang terpaku.

tadi, barusan, heeseung peduli padanya? bahkan menyentuh bahunya?

ah, ini gila. jantung sunghoon rasanya seperti ingin loncat keluar dari relung.