Bicara Padaku (Bagian Kedua)

Kalimat penuh kagum tiada henti keluar dari belah bibir Sunghoon. Pantas, pantas saja. Heeseung sematkan gelar favorit ke tempat ini bukan tanpa alasan. Lihat, cantiknya hamparan penuh hijau tempat ia berdiri.

Belum lagi, malam ini awan seakan bersembunyi— mewujudkan sinar rembulan bercampur kelip bintang kompak menerangi berdua.

“Kayaknya kita lagi beruntung nih,” Heeseung berkata layak bisa baca pikiran Sunghoon, “Ayo sini dek, duduk.”

Jemari bertemu jemari, Sunghoon dituntun lembut agar duduk didepan Heeseung. Tanpa sadar kedua lutut bersentuh dengan tungkai terjerat satu sama lain. Baru begini saja, jantung sudah mulai berdegup terlalu kencang.

Tidak ada yang berbicara. Namun tidak canggung, kok. Masing-masing saling hirup rakus kenyamanan yang menyelimuti. Bahkan Sunghoon berani berkata— walau mereka hanya diam, mereka masih tetap ribut dalam hati yang bergumam meminta pasangannya.

Tetapi sekarang tidak bisa begitu, kan sudah direncanakan mau mengenal satu sama lain lebih dalam lagi. Makanya Heeseung berdeham sedikit, kembali jadi orang pertama pembuka pembicaraan.

“Uh.. kita kenalan formal aja dulu kali ya,” Tangan Sunghoon kembali dipegang secara perlahan, “Namaku Heeseung. Lee Heeseung. Ketua klub astronomi, kelas 4-A. Salam kenal, cantik.”

“A—aku.. aku Park Sunghoon. Kelas 3-B, member klub sepatu roda. Salam kenal, Kak Hee.”

Langsung tertawa lepas. Mereka benar rasa canggung, berkenalan seperti itu. Apalagi bila diingat-ingat, hubungan mereka sudah layak orang berpacaran setahun lebih.

Heeseung kemudian menyeletuk, “This is too awkward,” yang mana langsung disetujui oleh Sunghoon melalui anggukan.

Ada jeda 2 menit penuh keheningan. Mungkin sama-sama berpikir mau berkata apa, mau membawa topik apa.

“Gimana kalau kita main 10 questions?”

Itu Sunghoon yang ajukan. Tentu tidak mungkin Heeseung tolak. Awalnya, bingung akan siapa yang bertanya duluan— Sunghoon bersikeras lebih baik Heeseung saja, namun Heeseung merasa Sunghoon yang lebih cocok jadi penanya pertama.

Mereka berakhir memilih main siut, daripada ribut. Hasilnya dimenangkan oleh Sunghoon, sehingga Heeseung lah yang bertanya duluan.

“Aku tanya yang gampang dulu aja ya, what kind of things do you like?”

“Hm… banyak sih, kak. Yang jelas pasti skating sama latte.”

Heeseung manggut-manggut paham, lalu mempersilahkan Sunghoon untuk berbalik bertanya padanya.

Yang lebih muda pun tenggelam dalam pikiran akibat mencari pertanyaan tepat— “Ah iya! Aku dari kemarin penasaran. Kakak kenapa masuk klub astronomi? Kan bisa masuk klub olimpiade, atau bahasa inggris.”

Kekehan jadi awalan dari jawaban, “Simpel aja sih. Aku suka belajar tentang bintang-bintang. Menurutku lebih seru, daripda hal yang lain.”

“Kalau gitu, tell me about the stars. Aku mau tau, kak.”

Mata Heeseung berbinar tepat setelah Sunghoon berkata. Layak anak kecil diberi mainan kesukaan pada umur 5 tahun. Lucu.

Tanpa sadar, tangan kanan Heeseung merangkul bahu Sunghoon— menariknya lebih dekat hingga helaian rambut mereka bertemu sambil telunjuk tangan kirinya tunjuk ke salah satu bintang diatas.

“Lihat itu, kan?” Tanya Heeseung yang mana Sunghoon langsung mengangguk, “Itu namanya Altair. Salah satu bintang dari The Summer Triangle. Dia bagian dari konstelasi yang biasa disebut Aquila, sekarang kita bisa liat lumayan jelas karena dia bintang paling cerah di konstelasinya sekaligus sekarang lagi summer,

“Seharusnya kita juga bisa lihat Deneb sama Vega— bagian dari The Summer Triangle juga— tapi mungkin bisa dilihatnya harus pakai teleskop. Nah kalau Deneb, itu dari Cygnus, konstelasi yang bentuknya kayak angsa. Kalau Vega, dari Lyra. Aku belum terlalu hafal tentang Lyra sepenuhnya sih, jadi segitu aja yang aku bisa jelasin.”

Tidak ada respon. Sunghoon telak kagum, lihati Heeseung dengan tatapan penuh admirasi. Itu buat Heeseung agak panik, “E-eh, aku jelasin terlalu panjang ya? Sorry.”

Sontak Sunghoon menggeleng, tersenyum lebar— beri tau tanpa suara bahwa ia suka, sangat suka. Mau selama apapun Heeseung berbicara tentang bintang, Sunghoon akan terus dengarkan.

“Kalau— kalau gitu, giliranku bertanya kan? Sama kayak pertanyaanmu tadi. Kenapa kamu bisa suka roller skating?” Entah kenapa Heeseung tergagap sendiri, mulai melepas rangkulannya dan sedikit menjauh ikuti posisi awal.

Sunghoon berpikir sebentar, “Hmm. No particular reasons. Aku emang suka, dan kebetulan orang tuaku dukung dari kecil, tapi jujur.. aku lebih senang ice skating dibanding sepatu roda— sayangnya, hiring an ice rink everyday for practicing is so expensive, dan sekolah-sekolah jarang ada klubnya. Jadinya aku fokus ke roller skating aja.”

Mulut Heeseung terbuka membentuk sebuah “O” sambil mengangguk, sebelum akhirnya mata tangkap waktu di jam yang lekat di pergelangan tangan. Sudah larut.

“Eh, astaga— sekarang udah jam 8. Kamu harus pulang,” Tangan Heeseung bantu Sunghoon berdiri, lalu digandeng sampai masuk ke dalam mobil tanpa dengar apa yang lebih muda itu mau katakan.

Mereka diam selama perjalanan, seperti mengutuk waktu yang berjalan begitu cepat. Tetapi sebelum benar-benar berpisah, Heeseung berucap—

“Sunghoon, Aku gak mau kamu ngerasa kita bakal gini-gini aja terus. Jadi sebelum kamu masuk ke rumah, aku mau janji,”

“Hah? Gimana.. maksudnya? Janji apa kak?”

That I’ll truly make you mine, sooner or later. I promise.