fantasia

cw // slight nsfw, implied cockwarming.


Hangat. Rasanya sangat hangat.

Sunghoon memejamkan mata, mengusal pelan di leher Heeseung. Alunan musik dari mobil dan suara mesin yang melaju cepat seakan jadi nyanyian pengantar tidur.

Siapa sangka duduk di pangkuan Heeseung dengan lelaki itu berada didalamnya sambil menyetir terasa (lumayan) nyaman?

Walaupun jadinya Sunghoon sama sekali tidak berani menggerakkan pinggul— ia sudah keluar dari embun subspace, sehingga rasanya malu.

Maka dari itu kedua tangan melingkar di leher Heeseung, menarik lelaki itu mendekat guna tutupi wajah yang sedari tadi memang sudah tenggelam diantara leher dan bahu.

Tentu aksi Sunghoon membuat Heeseung kesusahan menyetir. “Little prince, we’re almost there. Sabar, ya? Jangan peluk terlalu erat, gue gak bisa fokus nyetir.”

Sunghoon hanya terkekeh sebagai jawaban, kembali mengusal seenak hati di leher Heeseung yang sekuat tenaga menahan geli.

Ketika sampai pada tujuan, Heeseung perlahan angkat Sunghoon, menaruhnya di kursi samping pengemudi.

Jas yang disampirkan dibetulkan sedikit dan ada sebuah ciuman dibubuhkan di dahi, “I’ll be back soon.” Pun Heeseung keluar dari mobil.


What a pleasure meeting The Ace of the Streets in person,” Lelaki berambut ungu yang merupakan anggota dari Hakanai itu menunduk, penuh akan hormat pada Heeseung. “Nama saya Kokonoi, dan saya adalah utusan dari Hakanai, seperti yang anda ketahui.”

Sejujurnya, Heeseung malas berbasa-basi. Terutama sebentar lagi memasuki petang. Ia harus segera selesaikan urusannya disini.

“Kokonoi, bisa kita langsung ke apa yang telah dibicarakan tadi?” Suara Heeseung dingin, memancarkan autoritas sebagai seorang pemimpin.

“O-oh ya, tentu, tuan. Untuk hadiah karena memenangkan taruhan yang tuan lakukan dengan ketua dari Hakanai, yaitu memenangkan balapan dengan ketua dari Casa Segura, akan dikirimkan besok secara langsung ke markas anda.”

Heeseung menggangguk, “Bisa beri tau lagi hadiahnya apa saja? Just to make clear.

Sontak Kokonoi mengangguk, mengambil sebuah kertas kecil yang Heeseung tebak sebagai pengingat. “Spare parts terbaik dari Jepang, satu mobil Koegnigsegg Jesko, dan total cash sebanyak 10,000 LC.” (10,000 LC = $100,000 = 1,4M)

Mendengar hadiah-hadiah bernilai fantastis itu membuat Heeseung tersenyum. Ah, memang menang taruhan selalu berasa seperti meminum seteguk bir setelah hari yang melelahkan.

Then I’ll be waiting for the prizes to come, Kokonoi.” Heeseung menjabat tangan dengan Kokonoi, yang mengangguk antusias. Mata lelaki itu sempat melirik kearah mobil Heeseung, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan.

“Tuan, maaf, apa boleh saya tau siapa yang berada di mobil tuan? Agar saya tau konfidensialitas percakapan ini.”

Sudah menebak sedari tadi. Heeseung tau Kokonoi cepat atau lambat pasti menanyakan tentang Sunghoon.

He’s my little prince. No need to worry about him.” Heeseung menjawab santai, tetapi apabila mata bisa membunuh, maka Kokonoi sudah dipastikan tewas sekarang.

Kokonoi mengangguk, tersenyum palsu terhadap Heeseung. Melihat ini, Heeseung langsung berbalik badan— merasa urusan sudah selesai.

Coba saja kalau ia lihat, bagaimana seramnya perubahan senyum Kokonoi, mungkin hatinya akan terbakar dalam amarah.

Namun sekarang hatinya meleleh, tepat ketika diri membuka pintu mobil. Melihat Sunghoon pulas tertidur di kursi penumpang. Perlahan ia menutup pintu, duduk di kursi pengemudi tanpa melepas tatapannya terhadap yang lebih muda.

Since when did I started to fall for you, Sunghoon?’ Heeseung bertanya dalam diam, jemari mengelus perlahan rambut Sunghoon yang menutupi dahinya.

Ia tau, bukanlah seorang yang bodoh, afeksi yang diberi dan bagaimana diri bertindak disekitar yang lebih muda jauh dari sekedar one night stand.

Itu membuatnya sedikit takut. Belum ada sehari, masa sudah segampang ini jatuh cinta?

Sepertinya Heeseung terlalu ribut dalam pikiran, hingga membangunkan Sunghoon— “H-heeseung..? Sudah selesai?”

Heeseung kedip beberapa kali, sebelum akhirnya mengangguk, “Ya, sudah.”

Sunghoon ikut menangguk. Setelahnya mereka diam, tidak ada yang berbicara. Namun sebelum Heeseung menjalankan mobil, Sunghoon membuka belah bibirnya,

“Bisa tolong antarkan ke Casa Segura?”

cw // slight nsfw, kissing, making out.


Deritan suara ban mobil berhenti terdengar jelas, membelah kesunyian jalanan pada jam 3 pagi. Sunghoon menggigil tepat setelah keluar dari mobil, secara tidak sadar merapatkan kedua tangan mencari kehangatan dari dalam jaket denim yang digunakan.

Benar-benar gila, memang ada orang waras yang ingin bertemu di sebuah skatepark terbengkalai di penghujung distrik? Tentu saja tidak ada. Beberapa kata kasar diumpatkan Sunghoon dibawah nafas untuk Heeseung, yang tidak terlihat sama sekali.

Seluruh tubuh Sunghoon sekarang mulai bergidik, bukan hanya karena dingin, namun juga karena sekitarnya gelap dan seram. Pula waktu sudah memasuki jam-jam rawan akan hal mistis yang sebenarnya Sunghoon tidak percaya tetapi tetap takuti.

Saat ada jemari dingin mengelus tengkuk, Sunghoon langsung berteriak. Suara melengking terdengar hingga kejauhan. Hampir saja menangis, serta tubuh berbalik kebelakang siap melempar pukulan, kalau saja telinga tidak dengar kekehan— suara yang entah kapan mulai terasa familiar.

“Sudah menunggu lama, cantik?” Wajah Heeseung terkesan arogan, terbingkai dengan senyuman miring andalannya. Lelaki itu menggunakan turtleneck putih dilapis jas hitam panjang disampirkan di bahu, dan Sunghoon tidak bisa berhenti menatap.

Auranya. Auranya jauh berbeda dengan beberapa jam yang lalu saat mereka balapan. Saat mereka balapan tadi, Heeseung menggunakan jaket kulit hitam dengan kaos bertuliskan ACDC dihiasi beberapa rantai menggantung bak penguasa jalan pada umumnya.

Sedangkan sekarang, lelaki itu benar-benar terlihat seperti pemimpin suatu organisasi tinggi. Mungkin pikirannya tidak mau mengakui, hanya saja hati berulang kali berkata— Heeseung begitu tampan.

Tawa Heeseung kemudian terdengar, membuat Sunghoon tersadar. “Am I too handsome for you to not reply to my question?”

Ah, sial. Tertangkap basah. Malu, sangat malu. Walau begitu Sunghoon jawab dengan dengusan, seakan merah bermekaran di pipi tidak berkata lain.

You talk too much, Heeseung,” Sunghoon membawa satu telunjuk ke dada Heeseung yang berada didepannya, “Lo gak bisa apa langsung ngomong to the point?”

Jari telunjuk tersebut dipegang, lalu perlahan jemari-jemari Heeseung mengisi sela-sela jemari yang lebih muda— kedua tangan mereka terikat, yang mana Heeseung gunakan untuk menarik Sunghoon mendekat dengan tangan lainnya merangkul pinggang.

Nafas keduanya berhembus dekat, dahi entah keberapa kali menyatu. Namun kali ini, Sunghoon tidak memberontak. Ia diam, mata tanpa sadar melihat kebawah— ke arah bibir Heeseung.

Bodoh, dengan jarak mereka sedekat itu, tentu Heeseung sadar kemana Sunghoon menatap. Kekehan lolos dari bibir yang lebih tua, “Kayak gini tuh, lo sebenarnya mau gue cium atau mau dengar gue bicara sih?”

“Ah, tapi lo gak sabaran. Jadi gue ngomong aja, ya? To the point, just like you wished for, my little prince.”

Belum ada jawaban dari Sunghoon, tapi Heeseung sudah putuskan sendiri. Membuat Sunghoon jadi paham, bahwa situasi mereka sekarang ibarat bermain sebuah game.

Tarik ulur. Siapapun yang dapat tahan kewarasan, ialah pemenangnya. Terlihat jelas dari kilat mata— Heeseung maupun Sunghoon— penuh akan nafsu ingin meraup satu sama lain, namun keduanya begitu kompetitif. Ingin lihat siapa dulu yang hilang kendali.

Tarik, “Lo tau Hakanai, kan? Yang di Ikurugi District?”

Ulur, “Huum, ya. Kenapa emang?”

Tarik, “Gue lindungin Casa Segura dari mereka. Karena gang lo satu distrik sama gang gue, I thought it'd be safer for my crew and your crew if I took it upon myself.”

Ulur, “Jadi gue harus ngomong makasih gitu?”

Tarik, “Hmm, terser—”

Dan Sunghoon jadi orang pertama yang hilang kendali.

Bibir dihantam bibir, langsung rakus melahap. Tangan Heeseung yang tadinya merangkul berubah mencengkram pinggang, bersamaan dengan gigitan di bibir bawah Sunghoon yang langsung merengek.

Kedua tangan mereka yang sebelumnya terjalin sekarang terlepas. Sunghoon biarkan jemari-jemari menari ria di tubuh Heeseung, tanpa sengaja membuat jas hitam panjang milik lelaki itu jatuh saat lidah saling beradu.

Lagi, lagi, lagi. Pikiran Sunghoon sudah tertutupi kabut, hanya bisa pikirkan Heeseung, dan mau lagi— mau lebih dari ciuman penuh terburu yang sedang dilakukan. Pun ia melepas ciuman, “H-Heeseung—”

Tidak, Heeseung tidak memberikannya kesempatan untuk berbicara. Bibir kembali bertemu bibir, geligi kembali bertemu geligi. Pasrah, toh Sunghoon bisa apa? Tubuh sudah melemas, condong ke tubuh Heeseung yang merengkuh.

Hanya ketika Sunghoon memukul punggung Heeseung berulang kali barulah ciuman terlepas. Keduanya mengais nafas berantakan, menatap satu sama lain dengan nafsu yang sama —atau bahkan lebih besar— seperti tadi.

Heeseung mendekatkan wajah lagi, namun bukan ke bibir, melainkan ke ujung bibir Sunghoon yang diberi ciuman basah hingga ke dagu, kemudian turun ke leher.

“Mmmh,” Jemari Sunghoon remat bahu Heeseung saat merasa leher dibubuhi gigitan kecil yang lama-kelamaan berubah menjadi gigitan kuat membekas, “Heeseung.. puh-please, ta-take me to y-your place, take me,”

Rintihannya tidak didengar. Heeseung masih saja memainkan bibir di leher, membuat tanda dimana-mana. Lelaki itu seakan tuli, padahal Sunghoon tidak berhenti memohon.

Hingga akhirnya Sunghoon mencoba menarik Heeseung menjauh dari lehernya, lalu menangkup pipi lelaki itu perlahan— “Ca-captain, please.

Dan Heeseung akhirnya hilang kendali.

Tepat ketika mereka memasuki mobil Sunghoon— Jay membiarkan mobilnya terparkir begitu saja— sepupunya itu langsung berulang kali meminta maaf, suaranya terdengar tercekik bagai ingin menangis.

“Maaf, Sunghoon, maaf, maaf,”

Kepala Sunghoon pening mendengarnya. Jay jarang sekali meminta maaf, terlebih hingga diujung tangis seperti ini, kecuali hal yang ia lakukan benar-benar fatal.

“Jay, berhenti. Berhenti minta maaf— tolong kasih tau gue langsung, lo lakuin apa? Perjanjian apa yang tadi lo bilang?”

Jay menghela nafas pelan, “Gue.. gue tadi wakilin Casa Segura, tanpa sepengetahuan lo, Wonyoung, ataupun anggota yang lain. Kejadiannya tepat habis ibu lo dimakamin. Karena Casa Segura udah gak punya ketua lagi, Wonyoung gak mau naik jadi ketua dan gue juga gak mau, mereka... mereka jadi punya hak atas kita, Sunghoon.”

“Mereka siapa, Jay?” Sunghoon sebenarnya sudah bisa menebak siapa yang dimaksud Jay, namun ia butuh konfirmasi dari sepupunya itu.

“De Cartas. Gue minta maaf, Sunghoon. Gue beneran minta maaf. Gue gak tau lo bakal pulang dan jadi ketua, kalau gue tau gak bakal serumit ini.”

Tebakannya benar. Sunghoon menghela nafas, tangan mengusak rambut kesal. “Kalau gitu kenapa lo biarin gue balapan sama Heeseung? Jadi tambah rumit lagi sekarang karena gue mau gimanapun jadi punyanya dia.”

“Uh.. itu..” Jay membuang muka, “Karena gue tadi percaya lo bakal menang.”

Deg. Ada rasa senang sekaligus malu masuk dalam relung. Jay mempercayakan dirinya, dan sekarang hancur hanya karena ia tidak menang melawan Heeseung.

Mereka diam, tidak ada yang berani berbicara. Namun pada akhirnya, Jay membuka bibir— “Mending lo pulang. Istirahat, dan ketemu sama adek lo. Masalah ini bisa kita urus besok.”

Ya, benar. Sunghoon benar-benar butuh tidur, kepalanya seakan ingin meledak.

Ready,

Sunghoon menggigit bibir. Jantung berdebar tidak karuan, adrenalin mengalir dalam tubuh. Ini, ini yang Sunghoon rindukan. Tangan tanpa sadar mencengkram stir mobil kesayangannya, Acura NSX.

Set,

Mata melirik kearah kiri, mencoba melihat Heeseung yang ternyata juga melirik kearahnya. Mereka bertatapan, lalu sedetik kemudian sama-sama memfokuskan pandangan ke depan.

Go!

Tanpa ragu, Sunghoon langsung menginjak pedal gas, membuat tubuh sedikit terdorong kebelakang akibat kecepatan yang berakselerasi mendadak. Gila, Sunghoon tertawa. Kebahagiaan seakan meledak. Apalagi setelah berhasil mengungguli Heeseung, walau tidak berlangsung lama sebelum lelaki itu kembali berada didepannya.

Sunghoon mengutuk dibawah nafasnya, tangan secepat kilat berada di persneling untuk mengganti gigi agar melaju lebih cepat. Namun sayang sekali, mobil Heeseung juga ikut bertambah cepat sehingga jarak yang hampir tidak terlihat itu muncul lagi diantara kedua mobil.

Mata Sunghoon sedikit melirik keluar, memperhatikan jalanan yang berlalu bak kertas ditiup angin kencang dari spionnya. Sial, sebentar lagi garis finish. Sunghoon mau tidak mau mengarahkan tangannya yang sebelumnya berada di persneling menjadi kebelakang, meraba-raba tangki gas nitro sebelum akhirnya memutarnya—

Mobil Sunghoon terhentak sedikit di udara, lalu melaju secepat mata bisa memandang, melewati mobil Heeseung begitu saja. Sunghoon tersenyum miring, melihati mobil yang lebih tua dari kaca tengah dengan pandangan mengejek.

Tetapi senyumnya jatuh saat Heeseung juga mengaktifkan gas nitro didekat garis finish, dan tepat ketika gas nitro miliknya habis. Dan dengan segampang itu, Heeseung memenangkan pertandingan.

Tangan Sunghoon memukul stir akan frustrasi setelah memberhentikan mobilnya asal, mata pandangi Heeseung yang sudah keluar dari mobil— tersenyum penuh kemenangan kepada kerumunan yang menonton balapan mereka.

Pada akhirnya Sunghoon ikut keluar dari mobil, walaupun secara terpaksa. Heeseung tidak membuang waktu untuk berjalan kearahnya, masih memasang senyuman yang sama.

I win, little prince.” Heeseung menarik Sunghoon mendekat dengan satu tangan mencengkram di pinggang, “So, where do you want to ride me, hmm? My place or yours?

Sunghoon terkesiap, mata memandang kearah manapun asal tidak melihat Heeseung. Jujur saja, diri hampir lupa akan taruhan mereka, dan Sunghoon lebih memilih untuk lupa saja sekalian.

Ia bukan orang yang mau mundur begitu saja dari taruhan, tetapi masalahnya, ia juga bukan orang yang mau sembarangan melakukan hal seintim itu dengan orang yang baru saja dikenal.

Dan mungkin Tuhan sedang berbaik hati, karena dari kejauhan, Sunghoon bisa melihat Jay. Helaan nafas keluar dari belah bibir, membuat Heeseung menaikkan satu alis bingung. “Hey, lo belum jawab perta—”

“—Heeseung! Lepasin Sunghoon!”

Kalimat Heeseung dipotong oleh teriakan dari Jay, yang mana membuat pemimpin De Cartas itu menoleh kebelakang dan melepaskan sedikit cengkraman tangan yang berada di pinggang tetapi tidak cukup untuk Sunghoon bisa terlepas.

Heeseung menggeram, “Jay, lo berani perintah gue? Lagian, Sunghoon kalah. Jadi gue punya hak penuh atas dia.”

“Enggak, gue gak berani perintah lo,” Jay menghela nafas, menatap sekilas Sunghoon yang terlihat bingung. “Tapi Sunghoon gak tau apa-apa tentang perjanjian diantara Casa Segura sama De Cartas, makanya dia berani nantang lo. Please, let him go.

Sunghoon semakin bingung. 'Perjanjian apa? Kenapa Jay takut, bukankah ia berada dibawah pimpinannya, bukan Heeseung? Kenapa Jay tadi memanggil lelaki itu dengan nama aslinya?' Banyak sekali pertanyaan yang berada di benak.

Tambah bingung ketika Heeseung melepaskannya. Mata berkedip cepat, tidak sangka akan segampang itu taruhan mereka melayang hampa di udara. Pun Sunghoon perlahan berjalan ke sisi Jay yang menundukkan wajah— seakan tidak mau menatap Sunghoon.

Namun sebelum Sunghoon benar-benar bisa pergi, Heeseung menahan tangannya, kemudian berbisik tepat di telinga,

“Gue emang lepasin lo sekarang, tapi ingat— You're my trophy, Sunghoon. You belong to me.

Dan bisikan itu membuatnya bergidik. Sunghoon secepat kilat berjalan pergi, tangan menarik Jay agar segera mengikuti. “You owe me an explanation, Jay.

Terlepas dari apapun yang terjadi, Sunghoon tetap harus tau jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya tadi.

cw // slight nsfw, sexual tension.


“Sudah kuduga.” Sunghoon menggumam, melihat kearah handphone yang menunjukkan lokasi balapan. Lokasinya berada di sebuah parkiran terbuka didekat jalan tol antara Hypen District dan Ikurugi District, yang mana jalan tersebut jarang digunakan karena terlalu melintang jauh sehingga memakan banyak biaya perjalanan.

Dan lokasi itu dibawah kekuasan De Cartas.

Sunghoon sudah punya perasaan bahwa Heeseung adalah pemimpinnya, terutama karena nama belakangnya Lee— sama seperti pemimpin sebelumnya.

Tetapi bukan itu yang menganggu pikiran Sunghoon, melainkan fakta bahwa Jay tidak memberi tahu jikalau Heeseung adalah ketua De Cartas. Bukankah itu info yang umum, serta Sunghoon perlu tau sebagai sesama pemimpin gang di kawasan Hypen District?

Ah, sudahlah. Sunghoon kosongkan pikiran, walau hati digerogoti akan rasa ingin tau apabila Jay menyembunyikan sesuatu atau tidak. Sekarang biarkan diri larut dalam bisingnya lagu yang dimainkan oleh sang DJ, kaki melangkah dengan badan tegap ditengah kerumunan wanita dan para anggota De Cartas beserta mobil masing-masing dibelakang mereka.

Tidak butuh waktu lama bagi Sunghoon untuk menemukan Heeseung. Lelaki itu menonjol, aura menyeramkan bersama pahatan wajah terlampau sempurna bak para Dewa bergantian membuatnya. Ditambah lagi, Heeseung duduk di sebuah sofa ditengah-tengah yang Sunghoon tebak sebagai anggota inti dan ada seorang wanita duduk menyamping di pangkuan lelaki itu.

“Gue nantang lo balapan.”

Sunghoon sama sekali tidak basa-basi. Langsung berkata keinginan saat berada didepan Heeseung yang menaikkan satu alis, penuh ejekan. Pemimpin De Cartas itu masih setia duduk, dengan mata melihati Sunghoon dari atas hingga bawah sedikit terkesan.

“Apa yang buat lo yakin gue mau balapan sama lo?”

Pertanyaan Heeseung membuat Sunghoon menggeram, jelas tidak suka. “This used to be my playground, and I'm very damn good at driving. Jadi mending lo terima tawaran gue, atau lo sendiri yang bakal sengsara.”

I don't think you're in the position to threaten me, Mister Park Sunghoon,” Heeseung tertawa, tangan bergerak untuk menyingkirkan wanita yang ada dipangkuannya, “Tapi gue yakin lo pasti bakal bagus ngendarain gue.”

Kaget, Sunghoon total kaget. Tidak menyangka Heeseung akan mengenali dirinya. Terlebih lagi, sudah tidak ada jarak diantara mereka— Heeseung berdiri, menyatukan dahi keduanya, dan tersenyum miring saat wajah Sunghoon berubah merah.

Satu tangan Heeseung mengelus pipi Sunghoon, kemudian jemari-jemarinya perlahan mengelus ke lehernya dengan ibu jarinya mengusap pelan bibir bawah Sunghoon yang menggeliat kecil. Usapan pelan itu berubah menjadi dorongan, yang mana membuat Sunghoon membuka belah bibirnya— perlakuan yang berbicara seakan ingin merasakan bagaimana rasa dari bibir yang lebih muda.

So, let's get the show on the road, pretty boy?” Bisikan Heeseung tepat berada didepan bibir Sunghoon yang masih terdapat ibu jarinya, “If you win, do as you please. But if I win, I'll let you ride me.


'Lee Heeseung sialan, Ethan Lee sialan, siapapun dirinya itu— sialan!'

Sunghoon tidak henti-hentinya memaki Heeseung didalam benaknya. Setelah kejadian itu, Sunghoon gelagapan menjauhkan diri dari ketua De Cartas yang asik tertawa melihat kelakuannya. Bahkan membutuhkan waktu 5 menit agar dirinya bisa kembali waras dan mempersiapkan mobilnya di track balapan yang memang sudah disediakan.

“Lo yakin mau balapan dengan keadaan lo yang kayak gini?” Itu Heeseung, berdiri disampingnya. Mereka berdua belum memasuki mobil masing-masing, namun sudah siap didepan garis start.

Mendengus, “Emang keadaan gue gimana?” Sunghoon tatap Heeseung yang menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Seluruh orang di Los City tau ibu lo baru aja meninggal, dan lo disini malah balapan. Apa lo gak kepengen tau apa alasan beliau meninggal?”

Cukup. Kali ini, Heeseung lewati batas. Kedua tangan Sunghoon langsung tarik kerah baju yang digunakan yang lebih tua, kedua wajah mereka begitu berdekatan. “Watch your fucking mouth, Ethan.

Bukannya takut, Heeseung malah terkekeh. Lagi-lagi menyatukan dahi keduanya, membuat cengkraman Sunghoon di kerah melemah. “Are you this eager to kiss me, Sean?” Kedua tangan Heeseung melingkar di pinggang yang lebih muda, pun Sunghoon langsung berjengit mencoba menjauh.

'Orang gila,' Sunghoon merengek didalam pikirannya. Perkataan Heeseung bahkan sama sekali tidak menyambung dengan ancamannya, tetapi ia tidak bisa menyangkal lelaki yang ibarat musuhnya itu membuat jantung berdegup lebih cepat sehingga tubuh terasa lemas untuk sekedar mundur kebelakang menjauhi Heeseung.

Mereka diam, sebelum akhirnya Heeseung memajukan wajahnya— badan Sunghoon membeku, mata hampir menutup jika saja lelaki itu tidak melepaskan rangkulan di pinggang sambil tertawa. “Lo seharusnya lihat muka lo sekarang, lucu.”

Brengsek. Lee Heeseung brengsek. Sunghoon langsung membelakangi Heeseung, lalu berjalan kearah mobilnya. Langkahnya terhenti saat tangan dicekal dari belakang,

You know, you can call me Heeseung, instead of Ethan.” Dari ujung mata, Sunghoon bisa lihat Heeseung tersenyum, “And let me call you Sunghoon, because I like your real name more.

Yeah, yeah. Up to you. Stop talking, let's race already.

Sunghoon menarik nafas kasar.

Sial, sial, sial.

Kepala berdentum tak henti, bisa rasa tenggorokan bak dililit duri akibat menahan tangis. Keluarganya memang tidak sempurna, bahkan jauh dari kata itu, namun tetap saja— diri hanya seorang anak lelaki dengan hati berada di tangan untuk sang ibu.

Seluruh memori bersama perempuan yang melahirkannya itu terputar, berulang kali hingga isi pikiran Sunghoon kacau. Tidak, bukan hanya isi pikiran. Seluruhnya sekarang kacau.

Setelah beberapa tahun meninggalkan Hypen District— meninggalkan Casa Segura dan keluarganya— Sunghoon telah menemukan hidup baru, dan sepalsu apapun hidup baru itu, Sunghoon tetap merasa terikat. Terlihat dari sorot mata yang menyendu kala kaki melangkah keluar dari gedung apartment miliknya yang ia tau ia tidak akan kembali lagi.

“Selamat pagi, tuan. Hari ini mau kemana?” Ditanya oleh Pak Kim, supir pribadinya, tepat ketika Sunghoon masuk ke dalam mobil sedan berwarna hitam itu.

“Ke bandara.”

Sunghoon tau jawabannya akan membuat Pak Kim curiga. Mau bagaimanapun, lelaki berumur sekitar 50 tahun tersebut mengetahui segala macam aktivitas yang Sunghoon akan lakukan. Entah hari ini, keesokan harinya, atau bulan depan sekalipun.

Dan benar, “Bandara, tuan? Bukankah hari ini seharusnya anda ke mansiun keluarga Pir—” pun kalimat kecurigaan Pak Kim langsung disela oleh Sunghoon.

“—Iya, saya tau, pak. Tapi tolong. Bawa saja saya secepatnya ke bandara.” Tidak bisa dibantah. Perintah Sunghoon sudah mutlak. Maka dari itu, Pak Kim hanya bisa mengangguk patuh. Langsung menjalankan mobil sesuai tujuan yang diminta.

Diam-diam, Sunghoon menghela nafas lega. Rasanya seperti bebas dari cengkraman seekor singa. Ada alasan— yang tidak ingin dibahas— mengapa Sunghoon dihadiahkan seorang supir pribadi, bukan mobil bertenaga kuda yang biasa dibawa dulu.

Ah. Dulu, ya? Sunghoon bahkan sudah tidak ingat berapa lama tidak pulang ke rumah. Tidak ingat kapan terakhir kali balapan dengan siapapun orang yang bisa diajak balapan olehnya. Kehidupan palsu terlalu memenjarakan diri— jauh didalam hati, Sunghoon memang mau pulang. Tetapi tidak seperti ini.

“Tuan, kita sudah sampai.”

Perkataan sang supir hanya dibalas dengan senyuman tipis. Sunghoon tidak tau mau bagaimana bereaksi, tidak pula mempunyai tenaga untuk melakukannya. Seluruh tenaganya terkuras karena menahan emosi yang mengancam untuk membuncah keluar, serta melayani pikirannya yang sedari tadi ribut.

Sunghoon mencoba berjalan secepat mungkin setelah keluar dari mobil— ia sama sekali tidak membawa apapun, hanya dirinya dan handphone-nya. Terlalu terburu-buru, tidak ada waktu membereskan pakaian dan sejenisnya. Untung saja ada flight yang tersedia, sehingga Sunghoon hanya menunggu selama lima menit sebelum akhirnya boarding.

Perjalanan ke tempat kelahirannya tidak memakan waktu lebih dari satu jam— toh kehidupan palsunya dan kehidupan lamanya hanya terpisah akan lautan, masih berdekatan satu sama lain.

“Ke Pemakaman La Muerte, pak.” Adalah hal yang Sunghoon katakan kepada seorang supir taksi tepat setelah ia landing.

Masa bodoh dengan pandangan sopir itu yang seakan bersimpati padanya, Sunghoon memang mau secepatnya ke makam sang ibu. Masalah Casa Segura, bisa belakangan. Sekarang, Sunghoon hanya ingin menyampaikan hal-hal yang tidak sempat disampaikan kepada ibunya.

Tetapi hal-hal tersebut bagai menguap di udara saat Sunghoon berdiri tepat didepan makam sang ibu. Disana, tertulis dengan menyedihkan, ‘Here lies, Mina Park, an outstanding leader and a great mother.'

Benar, itu semua benar. Mina, ibunya, memang seorang pemimpin yang luar biasa. Mina, ibunya, memang sesosok ibu yang lebih dari figur ibu yang Sunghoon inginkan. Pun ia menggigit bibir kuat, sekuat tenaga menahan air mata agar tidak menetes.

Ia meringkuk, bersimpuh jatuh di kedua lutut. “Ibu, ibu, ibu— Sunghoon minta maaf. Maaf tidak ada saat detik terakhir ibu hidup.”

Sakit, sakit, sakit. Rasanya sakit.

Sunghoon tidak ada merasa sakit beberapa tahun ini, dan setelah sekian lama baru merasakannya, ia lupa cara menyikapinya dengan baik.

Tapi Sunghoon harus bisa. Seluruh tanggung jawab berada di pundaknya sekarang. Ia tarik nafas, mencoba mengontrol emosi— sebelum akhirnya berdiri lalu berbalik meninggalkan makam sang ibu.

Dahulu sudah pernah meninggalkan seluruh emosi, maka dari itu— tidak ada masalah baginya untuk meninggalkan emosinya lagi.

Namun dengan peningnya kepala serta relung berteriak meminta kenyamanan, Sunghoon rasa ia perlu balapan, dan satu-satunya yang pasti bisa membantu ialah sepupunya— Jay.

cw // slight mature content (only implied at the end)


sunghoon menggigit bibir gugup.

baru saja selesai melalui acara kelulusan, berdiri di aula menunggu heeseung— ah, omong-omong tentang alpha-nya, tidak disangka sudah 2 tahun terlewat semenjak sunghoon mengetahui mereka adalah true mates.

banyak sekali masalah yang telah dilalui, pada akhirnya tetap bisa bertahan. walaupun sunghoon sampai sekarang masih muak apabila ada yang bertanya kapan heeseung mau mengikatnya.

ya, benar. hubungan berjalan 2 tahun lebih, tetapi belum bonding. itu tidak membuat sunghoon resah, sama sekali tidak. toh heeseung sudah bersumpah, pada hari dimana lelaki itu lulus setahun lalu, bahkan kalimat masih terngiang jelas di kepala.

“saat kamu lulus, hoonie. i'll bond you, and you'll bond me. we'll bond each other.

mungkin karena itu sunghoon menjadi resah. tidak henti menengok kesana-kemari, mencari sosok heeseung di tengah kerumunan. ia tau alpha-nya pasti datang— tadi telah berkabar akan datang telat karena jarak antara kampus dan sekolah agak jauh.

deg, deg, deg. jantung berdegup tambah cepat seiring waktu berjalan. kalau begini caranya, saat heeseung muncul, sunghoon bisa-bisa pingsan.

ia tertawa kecil membayangkannya.

“kenapa tertawa sendiri, darling?”

sunghoon berjengit kaget, langsung berbalik kebelakang dimana heeseung berdiri menggunakan kemeja putih— mata sunghoon kemudian membelalak melihat buket bunga mawar merah di tangan heeseung.

padahal heeseung terlampau sering membelikannya bunga, atau hadiah yang lain, namun sunghoon masih merasa emosional. bahkan pertanyaan heeseung dibiarkan menggantung di udara begitu saja.

akhirnya buket bunga diberi, “happy graduation, my love.” heeseung maju sedikit, mencium pelan dahi sunghoon. sang omega mengulum senyum, kedua mata terpejam.

sang alpha tangkup pipi omega-nya, hampir mencium bibir tetapi keburu sadar sedang berada di tempat umum sehingga hanya menggesekkan hidung satu sama lain.

tangan sunghoon yang tidak memegang buket naik, elus pelan salah satu tangan heeseung yang berada di pipi. “heeseung, makasih banyak. sayang kamu, aku sayang kamu,” perkataan ditutup dengan kekehan lucu.

“aku juga sayang kamu, hoonie.” tangan mengelus pipi sunghoon, “kita pulang, ayo?” heeseung tersenyum manis, namun kilat matanya berbicara lain.

yang lebih tua itu mendekatkan bibir di telinga sunghoon yang bergidik—

i can't wait to claim you as my omega.

cw // angst (more to hurt-comfort though), harsh words, mentions of cheating, kissing, slight making out.


handphone heeseung menyala, terbuka tanpa kunci menunjukkan chattingan lelaki itu dengan beomgyu— omega yang tadi bersamanya.

sunghoon menatap benda itu kosong, walaupun berada digenggaman tangan. bibir tertutup rapat tidak berkata apapun, padahal heeseung sudah menjelaskan hingga memberi bukti.

mereka sekarang berada di apartment heeseung, di ruang tamu, dengan sunghoon duduk diatas sofa dan heeseung duduk dibawah lantai.

“hoon, please, aku benar-benar gak ada hubungan lagi sama beomgyu. aku minta maaf, aku tidak tau rut-ku akan terjadi hari ini, dan aku tidak bisa batal bertemu dengannya karena aku tidak mau diganggu lagi.”

kekehan serak keluar dari belah bibir sang omega, “kenapa kamu tidak memaksaku lagi saja?”

“hah?” heeseung mengerjap bingung, menatap keatas— kearah sunghoon yang menatap balik tanpa emosi.

“kenapa kamu tidak memaksaku untuk memaafkanmu? bukankah itu akan lebih gampang untukmu?”

sial. hati heeseung nyeri, menyadari fakta ia telah menyakiti sunghoon berulang kali sebegitu dalamnya. omega itu tidak lagi memiliki binar di mata, tidak lagi tersenyum. bahkan scent manis yang selalu membuat heeseung candu berubah layak macarons gosong.

“sunghoon,” sang alpha perlahan pegang tangan sunghoon yang tidak berkutik, “maafkan aku. emosiku tidak stabil pasca rut, aku sama sekali tidak ingin memaksamu,” kalimat dijeda sebentar guna menarik nafas gemetar, “i.. i can't even tell how much i regret hurting you.

tidak ada jawaban dari sunghoon. heeseung menghela nafas, tetapi tidak menyerah. ia tidak mau kehilangan sunghoon hanya karena masalah ini saja.

jemari perlahan mencoba bermain dengan jemari, “aku minta maaf, tidak masalah jika aku harus berulang kali meminta maaf karena aku memang brengsek. aku tidak ada mengabarimu, dan menghilang begitu saja tepat setelah courting. bahkan aku sampai melewati batas dengan memerintahmu. tidak ada alasan yang cukup untuk membuatmu memaafkanku, tetapi—”

heeseung tautkan jemari mereka secara hati-hati, mengetahui sunghoon begitu rapuh, “setidaknya aku ingin kamu mengetahui tentang beomgyu. dia mantan omegaku, aku bertemu dengannya setahun lalu. aku dahulu berpikir dialah yang tepat, sampai akhirnya dia selingkuh. dia menghilang setelah itu, yang aku tau hanyalah dia berhenti sekolah karena mengikuti alpha-nya. aku sehabis itu menutup diri sendiri, tidak mau dekat dengan omega atau beta sekalipun,”

“lalu hari itu aku melihatmu didepan gerbang sekolah.”

sunghoon yang sedari tadi diam, akhirnya menunjukkan balasan melalui scent-nya yang mulai kembali manis seperti biasanya, dan heeseung ambil itu sebagai tanda untuk berlanjut berkata.

“awalnya aku mau berperilaku acuh padamu, tetapi aku tidak bisa. seakan ada yang menyuruhku buat percaya kamu tidak akan kemana-mana, bahwa kamu memang mate-ku, dan ternyata memang benar.”

yang sedari tadi berbicara tersenyum halus, membawa tautan jemari mereka ke bibir— dicium sekilas. “maka dari itu, aku minta maaf, sunghoon. aku.. aku tidak mau kehilanganmu, aku tidak bisa, aku mencintaimu. aku benar-benar mencintaimu.”

perkataan cinta lepas begitu saja, heeseung tanpa sadar mengucap. terlalu mengikuti apa yang hati suruh untuk katakan.

“beneran..?” suara sunghoon kecil, penuh keraguan. namun itu cukup membuat heeseung berdiri sedikit, bertumpu pada kedua lutut sambil mengangguk berulang kali dengan tangan menggenggam lebih erat.

pertahanan sunghoon runtuh. omega itu menangis lagi, memeluk heeseung erat. tangan gemetar mencengkram bahan baju di punggung alpha-nya.

heeseung memeluk balik, sama eratnya. nafas berubah lega mengetahui omega-nya kembali, walau sedetik kemudian berubah masai karena lelaki itu tidak kuat tahan tangisan.

mereka berdua menghabiskan beberapa menit saling memeluk, menangisi satu sama lain, menyalurkan rasa sakit serta bersalah yang dialami keduanya.

sunghoon menenggelamkan kepala di leher heeseung, mengusal sedikit, “alpha, am i yours? and are you mine?” sebuah pertanyaan mendadak— validasi, ia meminta validasi.

darling, you're mine,” heeseung kecupi pelipis sunghoon, “you're mine as much as i'm yours.

yang lebih muda mengangkat kepalanya, tertawa kecil mendengar kalimat heeseung yang membuat jantung degup cepat. pun ia merebahkan tubuh di sofa, tangan yang memeluk menarik heeseung perlahan agar jatuh diatasnya.

“aku mencintaimu.” sunghoon berucap, ciumi wajah heeseung yang tersenyum lebar menikmati afeksi dari omega-nya.

“aku mencintaimu.” kali ini heeseung berucap, kedua tangan tangkup pipi sunghoon, sebelum akhirnya bibir bertemu bibir. singkat, tetapi menyimpan begitu banyak rasa.

diam, tidak ada yang berbicara. asik pandangi satu sama lain, walau setelahnya heeseung melesakkan wajah ke leher sunghoon, menciumi scent glands hingga telinga. yang lebih muda menggeliat pelan, merasa geli namun tetap mengadahkan kepala— memberi akses pada sang alpha.

heeseung hampir melanjutkan, jika saja ia tidak teringat suatu hal yang sebenarnya tidak penting. “oh iya, besok kan minggu. kita jadi study date, gak?”

“bisa-bisanya kamu mengingat itu sekarang, alpha.”

mereka tertawa setelahnya— scent mereka kembali bersatu dengan kebahagiaan, persis sama seperti saat di festival. berdua mengetahui mau bagaimanapun, akan seterusnya seperti ini,

karena mereka miliki satu sama lain.

cw // angst, forced submission


“makasih mba, ambil aja kembaliannya.”

sunghoon berkata sambil tersenyum, mengambil kantung belanja penuh jajanan yang telah dibayar. kondisinya sudah tidak seburuk tadi, setidaknya sekarang scent sunghoon kembali manis seperti macarons pada umumnya.

ia benar-benar harus berterimakasih pada jake karena mengingatkannya bahwa heeseung tidak mungkin melakukan sesuatu yang menyakiti hati tanpa alasan.

ada senandung keluar dari bibir, sunghoon berjalan pelan— menikmati kecantikan langit malam, berpadu bising mobil serta motor melewati jalan.

semua baik-baik saja, sampai akhirnya langkah kaki sunghoon berhenti. kantung belanja jatuh begitu saja. mendadak tidak bisa bernafas, jantung berdegup terlalu nyeri hingga rasanya relung sebentar lagi hancur.

berkedip cepat— sunghoon berharap apa yang dilihat hanyalah ilusi. sayangnya, kenyataannya terpampang jelas.

disitu, heeseung, berjalan berdua dengan seseorang berambut hitam mullet bercampur blonde. seseorang itu omega, sunghoon bisa menciumnya walau dari kejauhan.

bukankah.. bukankah heeseung baru mengalami rut? lantas, mengapa sekarang berjalan dengan omega lain, bahkan tanpa mengabari dirinya?

setiap pertanyaan bak pukulan tepat di kepala. sakit, terlalu sakit. sunghoon menangis, tambah tidak karuan kala wajah omega itu terkesan familiar di ingatan. langsung menyimpulkan bahwa itu pasti mantan omega heeseung.

sunghoon mulai tertawa dalam sela tangisan tepat setelah menyimpulkan. kedua tangan mencengkram kalung pemberian heeseung, merasa jijik akan benda itu melingkar pada leher.

ah, pantas saja. kisah mereka berdua terlalu bagus untuk menjadi nyata. apa selama ini heeseung hanya mempermainkannya? apakah—

“sunghoon!”

pikiran terputus akibat teriakan heeseung. sedikit demi sedikit kendalikan emosi, sunghoon baru sadar heeseung didepannya— memegang kedua tangan yang tadi hampir merusak kalung.

nafas sunghoon berubah masai. panik, ia memberontak mencoba melepaskan pegangan heeseung di kedua tangan. tangisan tambah keras kala mencium scent sang alpha bercampur dengan omega yang ditinggal sendirian begitu saja oleh heeseung diseberang jalan.

“le—lepas! lepas-lepaskan aku, heeseung!” sunghoon berteriak, masih memberontak. tidak, sama sekali tidak mau menatap heeseung. tidak mau mendengar suara heeseung. tidak mau lagi berurusan dengan heeseung. sudah cukup.

yang lebih tua sama sekali tidak melepas, bahkan mulai mencengkram. “tidak, darling, dengarkan ak—”

“diam!” kalimatnya langsung dipotong sunghoon, “ja-jangan panggil aku gitu— hiks— lepaskan aku! sana pergi saja dengan omegamu itu!”

heeseung menggeram, rendah dan penuh dominansi. sontak, tangisan sunghoon berhenti, namun tubuh tambah gemetar akan takut. sang alpha terlihat mengerikan, seakan terlahap habis oleh amarah.

salah satu tangan ditarik paksa. sunghoon terkesiap, memberontak lebih kuat— “hee-heeseung! tidak- lepas- lepaskan aku!” ia sama sekali tidak mau dibawa pergi entah kemana oleh heeseung. apalagi tangan mulai membiru akan kuatnya cengkraman.

namun sang alpha malah tatap tajam, “sunghoon, berhenti memberontak.

sebuah perintah, yang mana membuat sunghoon sama sekali tidak punya kontrol atas tubuh hingga akhirnya berada didalam mobil heeseung. mata mengerjap pelan, dan kala diri sadar, sunghoon kembali menangis.

“ka-kamu... kamu memaksaku..”

sunghoon bahkan tidak mau melihat wajah heeseung. tangan memeluk kedua lutut dinaikkan, tidak peduli sepatu mengotori kursi mobil, dengan posisi tubuh condong ke jendela.

i hate you, i-i hate you so much, heeseung.” lirihan tidak henti keluar dari bibir sunghoon, yang hanya dibalas oleh helaan nafas serta bisikan 'maafkan aku' dari bibir heeseung.

pun mobil berjalan, dengan sunghoon yang sudah tidak peduli lagi.

cw // mentions of rut.


mata sunghoon tidak berhenti lihati seluruh murid kelas 12, tidak pula berhenti mencari disekitar kelas heeseung.

nihil. tidak ada heeseung. sama sekali tidak ada. layak ditelan bumi. sunghoon menghela nafas frustrasi, sisi omega-nya mulai merasa resah dan hatinya berdegup tak karuan takut apabila ada hal buruk menimpa alpha-nya itu.

hampir menangis, jika saja mata tidak tangkap jay dan ryujin keluar dari ruang klub karate disamping kelas heeseung. pun sunghoon memanggil, “jay! kak ryujin!”

kedua alpha itu menoleh— ryujin tersenyum, melambaikan tangan kecil. sedangkan jay hanya diam saja, menunggu sunghoon mendatangi mereka berdua.

“hi! kenapa kamu masih di sekolah, sunghoon?”

sebentar dulu. pertanyaan ryujin membuat sunghoon terbelalak bingung, apa itu berarti seharusnya sedari tadi ia tidak berada disini? lagian ini masih jam normal pulang sekolah, kelas sunghoon keluar cepat tadi.

melihat ekspresi sunghoon, ryujin dan jay bertukar pandangan seakan berbicara tanpa suara. “kamu.. jangan bilang heeseung gak kasih tau kamu kalau dia lagi rut?”

deg. hati sunghoon seperti dililit rantai berduri. heeseung, alpha-nya, mengapa tidak memberi tau— sisi omega-nya meraung kesakitan, merasa seakan tidak berguna.

sepertinya scent-nya berubah begitu masam, sehingga kedua alpha didepannya sampai berjengit tidak nyaman.

“tenang, sunghoon.” jay akhirnya bersuara, “ryujin tadi cerita ke gue, heeseung mendadak rut pas masuk kelas pertama. jadi dia mungkin tidak ada waktu buat kasih tau lo, secara dia harus pulang secepatnya.”

masuk akal. tapi tetap saja, sunghoon merasa— entahlah, seperti gagal menjadi omega yang baik? tadi pagi ia sudah mencium ada yang aneh pada scent heeseung, seharusnya tau bahwa lelaki itu akan mengalami rut.

kepala menunduk, emosi sunghoon membuncah kesana-kemari layak air laut ditampung dalam wadah sekecil mangkuk. pikirannya penuh dengan heeseung, sampai tidak sadar tidak ada yang akan mengantarnya pulang.

untung saja ryujin bertanya. “gak usah terlalu dipikirin, hoon. oh iya, kamu pulang sama siapa? pasti kamu datang dengan heeseung, kan?”

“gak tau..” sunghoon menjawab dengan gumaman. benar-benar tidak mau berbicara pada siapapun sekarang. mendengarnya, jay membuka bibir— hampir menawarkan tumpangan, namun didahului oleh suara dari belakang.

“pulang sama gue aja.”

tidak perlu berbalik untuk mengetahui siapa pemilik suara itu. sunghoon terlampau familiar.

itu jake, sahabat yang menjauhinya. sunghoon tidak percaya lelaki berambut coklat itu ada, kepala menoleh kebelakang sedikit agar dapat kepastian, dan memang benar. jake ada dibelakangnya, memegang dua buah helm motor yang salah satunya dijulurkan ke sunghoon.

“ini, pegang. gak apa-apa kan pulang sama gue, hoon?”

tentu saja tidak apa-apa. terutama sekarang sunghoon membutuhkan seseorang untuk menenangkan dirinya, dan jake adalah orang yang tepat.