fantasia

Bising 3 mobil melaju cepat membelah jalanan Stayville saat pertengahan fajar, sepi akan ketidakhadiran para penghuni.

Sunghoon menatap pemandangan yang membentang dari jendela, sedikit susah akibat rifle yang berada di pangkuan. Sebenarnya tidak ada yang terlalu bagus, toh masih berada di bagian undertown Los City, tentu tidak ada yang mewah.

Tetapi beberapa tahun tidak melihat cukup membuat Sunghoon merasa asing. Pegangan pada rifle menguat, rasa tidak aman memasuki relung.

Sebentar lagi sampai ke tujuan. Terlihat dari bagaimana mobil Jay dan Riki sedikit membuka jalan— memberi Sunghoon kemudahan untuk membidik.

Ready, little prince?” Heeseung tersenyum miring, terlihat penuh antusias seakan mereka tidak pergi dengan keadaan perasaan terhambur dimana-mana.

Tetapi Sunghoon juga begitu. Sekarang adrenalin menyita seluruh perasaan, bibir membentuk senyum yang sama seperti lelakinya. “I’m always ready.”

Tepat setelah berucap, satu mata langsung ditaruh di scope, membidik tempat tangki gas kecil milik mobil yang terparkir rapi didepan markas Astray.

Satu, dua, tiga— Hanya tiga detik, Sunghoon menarik pelatuk, dan mobil itu seketika meledak, sebagai sebuah tanda mereka ada disini. Ah, rasanya seperti menang jackpot. Kemampuan menembaknya masih sama, atau mungkin lebih bagus dari sebelumnya.

Ada suara penuh kagum dari kursi pengemudi— Sunghoon menoleh, mendapati Heeseung tercegang penuh kagum. Lelaki itu mengalihkan pandangan kepadanya, hanya sebentar karena atensi harus terfokus pada jalan.

“Bidikan lo akurat, terlalu akurat sampai buat gue agak takut.” Heeseung terkekeh, satu tangan ditaruh di paha Sunghoon yang memerah malu.

Baru saja bibir terbuka untuk membalas perkataan Heeseung, suara Jake dan Jay menggema dari walkie-talkie. Tidak terlalu dengar apa yang mereka bicarakan, namun Sunghoon bisa mendengar seperti “Fuck, that was awesome! Ajarin gue dong kapan-kapan!” Entah siapa spesifiknya yang ucap.

Tak lama kemudian suara Riki juga terdengar, bedanya yang paling muda itu tidak berkata tentang Sunghoon. “Sesuai rencana, kan? Kalau iya, sampai jumpa nanti. Good luck, guys.”

Benar. Mereka ada rencana. Mata Sunghoon seketika beralih ke kaca spion, tertawa kecil melihat banyaknya mobil anggota Astray mengejar mereka.

Secara sigap, Sunghoon arahkan rifle-nya kebelakang, membidik ke arah ban— hanya sekedar melumpuhkan dibanding membunuh. Tidak butuh sedetik untuk Sunghoon membawa bencana bagi beberapa mobil yang telah ditembakinya, menabrak kesana-kemari tidak karuan.

Heeseung tertawa, lelaki itu melihat dari cermin tengah apa yang telah Sunghoon lakukan. Tak hanya akibat Sunghoon saja, tapi Jay juga— ia ikut menembak dari samping, walau tidak setepat Sunghoon.

‘Seharusnya ini sudah cukup,’ Pikiran Sunghoon berucap, badan kembali ke depan, persis seperti posisi saat pertama masuk mobil. Melihat itu, Heeseung langsung membanting stir. Berbalik arah kembali ke markas Astray, melewati mobil-mobil yang sedari tadi ditembaki.

Masih ada beberapa yang mengejar mereka, tetapi itu bukan tugas Sunghoon lagi untuk menghentikan, melainkan menjadi tugas Jake dan Jay.

Tugasnya dengan Heeseung sekarang adalah memancing ketua dari Astray keluar, yang mana saat Alpine A110 berwarna hitam mengejar mereka, keduanya langsung tertawa.

Rencananya berhasil.

Tanpa diketahui Ketua Astray, Heeseung mengarahkannya ke sebuah pertigaan, menimalisir jalan keluar menjadi tiga saja. Satu akan ditutup oleh mobil Riki, satunya lagi oleh mobil Jay dan Jake karena jalan tersebut adalah jalan yang sama dengan aksi kejar-kejaran tadi, lalu jalan satunya diblokir oleh mobil mereka sendiri.

Dan begitu mobil hitam itu terjebak diantara ketiganya, Heeseung keluar dari mobil dengan tangan kosong. Tak perlu takut, karena Sunghoon melindungi dari dalam mobil, begitu pula Riki, Jay, dan Jake. Mereka yang punya kendali.

Ketua Astray pun ikut keluar dari mobil, muka datar namun mata penuh emosi menatap Heeseung.

Long time no see, Chris.” Memang benar, Heeseung lama tidak melihat lelaki kelahiran Australia itu, walau sesekali bertemu sebagai pemimpin dari gang masing-masing.

Chris mendengus, “Yeah, long time no see. Is that why you greet us with a fucking bomb, Ethan?” Tangan hampir mengarahkan pistol ke Heeseung, jika saja dot merah tidak muncul tepat di jantungnya— Sunghoon telah membidiknya.

“Ooh, itu pangeran kecil lo, ya? Gue denger banyak tentang dia,” Kekehan menjeda kalimat, “I wonder how would you feel if I took him as a replacement of my dead crew members.”

Geraman langsung keluar dari belah bibir, diselimuti amarah. “Ini bukan tentang Sunghoon, jangan bawa-bawa dia. Kita disini buat bicara tentang siapa yang ngehasut kita.”

“Ngehasut? Bukannya lo sendiri yang buat masalah ini, dengan ngebom salah satu markas gue, Ethan? Lo gak bisa ngelak, gue lihat sendiri kejadiannya kayak apa.”

“Gue gak ada ngebom markas lo, Chris. At that time, all of my members were having a party. And if it were my doing, I wouldn't come here just to talk with you.”

Penjelasan Heeseung masuk akal, Chris terdiam. Terlihat sedang memikirkan apa perkataan Heeseung benar apa tidak.

Chris berakhir menggumam akibat masih ada keraguan, “Make sense. Seingat gue, orang-orang yang bom markas tadi ada pakai sebuah simbol bintang dan kapal bajak laut, walau ditutupin sama kain. Gue kira itu lo, tapi setelah dipikir-pikir, itu bahkan bukan simbol gang lo.”

Sebentar— Heeseung membulatkan mata. Bintang dan bajak laut? Oh, tidak. Tidak mungkin. Ia lebih dari tau gang-gang yang menggunakan simbol itu, lagian bagaimana bisa ia tidak tau, kalau bertahun-tahun dihabiskan mengawasi segala gerak-gerik mereka akan mencari kebenaran dibalik kematian orang tua-nya?

“Kalau begitu, yang menghasut kita adalah dua gang dari Chesterpolis, Starseeker dan Pirateer. Itu simbol mereka.”

Tepat ketika Heeseung selesai berkata, speaker jalanan berdenging sebentar, sebelum mengeluarkan suara seorang laki-laki,

As expected of The Ace of the Streets, you know us well. Gue Daniel Choi, ketua dari Starseeker dan perwakilan dari Pirateer.”

Apa-apaan?

Sunghoon mendecak kagum, menggelengkan kepala tidak percaya akan apa yang ada pada basement mansiun— darimana Heeseung dapatkan persenjataan selengkap ini? Bahkan ada beberapa yang tidak dikenali mata akibat terlalu canggih.

Feel free to take anything you like.”

Tentu, tanpa Heeseung bilang, semua pasti akan mengambil. Sunghoon mengitari terlebih dahulu, melihat-lihat koleksi senjata berbagai macam di dinding, beberapa diletakkan didalam sebuah kaca bak pameran.

Masuk akal dipajang sebegitunya, Sunghoon tidak bodoh untuk tidak mengetahui revolver yang sekarang dipegang memiliki harga 100 juta LC— setara dengan 1 milliar dollar Amerika. Sayang sekali Sunghoon tidak begitu menyukai revolver, sehingga langsung diberi kepada Riki disampingnya yang seperti ingin memegang pistol berisi maksimal 7 peluru itu.

Kembali melihat kesana-kemari, lalu atensi tersita pada bagian kiri ujung dimana beberapa rifles terpampang indah di dinding. Tanpa menunggu, Sunghoon langsung mengambil salah satu rifle familiar di ingatan— buatan Jerman, HK416. Memang telah jadi kesayangan sedari dulu.

“Masih aja setia pakai rifle itu setelah sekian lamanya.” Sebuah suara terdengar dari belakang, Sunghoon melirik sedikit— oh, Jay ternyata. Pantas saja berbicara seakan telah mengetahui sejak kecil.

Sunghoon hela nafas, “Lo lihat kaca, gih. You still choose that pistol-caliber carbine, and if I remember correctly it's Kalashnikov's?” Ada tawa menyambut kalimat tepat setelah terucap, bahu ditepuk pelan oleh sang sepupu.

“Bener. Punya Kalashnikov. KP-9, kebanggaan gue.” Raut wajah Jay tunjukkan kebanggaan, layak tak ada hal dapat hentikan lelaki itu apabila telah bersama senapan kesayangan. Tangan masih di bahu Sunghoon, dan mungkin akan bertahan lama, jika saja tidak ada peringatan terdengar;

“Jay, jauhin tangan lo.” Itu Heeseung, datang entah darimana. Tangan sudah menarik Sunghoon mendekat— terlalu dekat sampai hidung hampir tenggelam dalam surai.

Lucu. Sunghoon diam saja, tetapi tidak dapat dipungkiri hati tertawa senang, melihat Heeseung cemburu pada Jay yang notabenenya merupakan keluarga. Bibir berkedut sedikit, menahan senyum akibat tindakan Heeseung, dan juga menahan tawa lihati wajah Jay yang pucat.

“Weits, tenang, bos,” Kedua tangan Jay naik secara defensif, “Lo kan tau gue sepupunya, elah.”

Heeseung hanya mendengus, sedikit mendongakkan kepala ke kiri sebagai tanda menyuruh Jay pergi, yang mana langsung dilakukan tanpa keraguan. Pun mereka menjadi berdua saja— memang masih ada yang lain disekitar, namun terasa kosong seperti tak ada siapapun kecuali mereka.

Kecupan halus dibubuhkan pada pelipis Sunghoon, “Udah selesai pilihnya, cantik?” Heeseung bertanya, hampir tidak terdengar.

Sunghoon mengangguk. Badan mendekat pada kehangatan yang ditawarkan Heeseung, entah sadar atau tidak sadar mencari kesunyian pada lelaki itu agar dapat meredam ributnya pikiran.

Mungkin Heeseung-lah yang sadar. Lelaki itu tak ada berbicara, menjaga sunyi dengan mengeratkan rangkulan guna menambah hangat. Namun semua itu kandas kala Jake membuka pintu, kepala menyundul dari atas— “Semua mobil udah selesai dimodifikasi, we're ready to go.”

Helaan nafas keluar dari belah bibir Sunghoon. Pikirannya sedari tadi kacau, namun sekarang hatinya ikut berdentum tidak nyaman saat menaiki tangga basement dengan dua rifle berselimpang pada kedua bahu.

Ah, mungkin saja sebatas rasa takut, benar-benar mencoba sekuat tenaga mengusir jauh-jauh perasaan yang bisa kacaukan fokus nantinya. Mau bagaimanapun mereka akan lakukan drive-by shooting, ditambah lagi Sunghoon posisinya sebagai sniper— tidak ada ruang bagi fokus untuk menghilang.

Sunghoon juga merasa tidak enak apabila gagal melakukan yang terbaik, karena mobil kesayangan Heeseung sampai harus kehilangan kaca depannya akibat diri yang butuhkan pandangan garis tembakan sejelas mungkin.

Mereka memutuskan untuk pergi sepasang satu mobil— Heeseung dengan Sunghoon, lalu Jay dengan Jake. Hanya Riki yang sendiri, karena Jake bersikeras harus ada yang menemani Jungwon, dan orang itu pada akhirnya adalah Sunoo.

Little prince,” Heeseung panggil setelah keduanya masuk dalam mobil, “If you're not feeling good, you know it's okay for you to stay, right?”

Sunghoon menunduk, tidak ingin menangkap mata Heeseung yang menatapi dirinya. Tangan secara tidak teratur mencoba-coba mencari letak tepat untuk rifle-nya sebagai usaha mengalihkan.

Pada akhirnya Sunghoon menjawab, suara kecil hampir terbilang sebuah gumaman, “Gue gak apa-apa, Heeseung. Gue tetap ikut.”

Kebohongan tergantung berat di udara antara keduanya. Heeseung tatap Sunghoon tidak percaya, sebelum akhirnya menghela nafas kasar. Lelaki itu menutup mulut, tidak bertanya lebih lanjut.

Mereka tetap berdiam, walau tangan perlahan saling menggenggam— gak apa-apa, Sunghoon tau mereka tidak akan kenapa-napa. Begitu pula dengan dirinya sendiri, ia berusaha mempercayai tidak akan ada yang salah walau hati tidak enak.

Benar, kan? Semua pasti baik-baik saja.

Hal pertama yang dilihat ketika keluar dari kamar adalah Heeseung dan Jake— berbincang serius dengan sebuah map terpapar di meja, dari kejauhan terdengar sedang membahas strategi.

Saat mata beralih ke arah korridor kiri, terdapat Riki yang baru saja bergabung— mungkin sudah selesai mengurusi Sunoo. Ada pula Jay yang tertidur di sofa, walau setelahnya terbangun karena Riki mengganggunya.

Ah, sial. Kalau begini, Sunghoon tau pasti melangkah keluar sedikitpun akan ketahuan. Belum ada sedetik berkata dalam benak, Heeseung menoleh— menangkap mata dalam sebuah tatapan lembut.

My pretty prince,” Heeseung tersenyum, tangan naik sebagai gestur menyuruh mendekati, “Come here, we got something to discuss.”

Dan siapa Sunghoon untuk menolak suruhan dari Heeseung? Kaki melangkah, mendatangi Heeseung yang langsung merangkul pinggang kala ia berdiri disampingnya.

Sunghoon hanya tersenyum, lalu mengarahkan atensi ke meja, mencoba memfokuskan pikiran terhadap tanda-tanda yang dibuat Heeseung dan Jake di map. Tetapi Heeseung mengenalnya— lebih dari siapapun untuk saat ini— sehingga lelaki itu menunduk, menggumam di telinga;

“Lo gak apa-apa, cantik? Wajah lo pucat.”

Ah. Sunghoon tidak tau mau menjawab apa, lidah kelu akan kemungkinan Heeseung mengetahui apa yang sedari tadi merusak pikiran. Menarik nafas gemetar, Sunghoon pasang topeng yang ia gunakan bertahun-tahun lamanya, “Gak apa-apa, cuma capek aja.”

Tau, Sunghoon lebih dari tau bahwa Heeseung menyadari kebohongan yang diucap, namun lelaki itu tidak memaksa lebih lanjut— bisa saja karena sekarang ada yang lebih penting untuk diurus, terutama sudah ada Riki dan Jay menunggu diberi tau rencana yang telah dibuat.

“Oke, karena semua orang sudah disini, gue mau jelasin rencana yang tadi gue buat bareng Jake. Tapi sebelum itu, gue mau kasih tau siapa yang bom kita,” Tangan Heeseung tunjuk bagian atas dari undertown, yang mana Riki langsung menaikkan alis bingung.

So you're saying Astray is the one who attacked us?” Suara Riki penuh ragu, yang paling muda jelas tau tentang perjanjian tidak tertulis diantara ketiga gang dua tahun lalu.

Heeseung mengangguk, “Yes. Mereka nyerang kita, karena ada yang nyerang mereka— orang-orang itu menyamar jadi salah satu anggota kita. We still don't know the real culprit behind all of this, so we need more information.”

“Bagaimana caranya kita dapetin informasi itu?” Itu Jay, akhirnya bersuara walau terdengar seperti setengah sadar akibat baru bangun.

Lucunya, Sunghoon juga ingin bertanya hal yang sama, sehingga ia hanya diam— menunggu lelakinya untuk menjabarkan rencana yang telah disusun. Ia melirik sedikit, ke samping, ke arah Heeseung yang tersenyum miring seakan telah menang.

“Kita bakal datangin markas Astray.”

Gila. Sunghoon mengerjap, bingung memikirkan alasan mengapa Heeseung malah ingin datangi markas gang di Stayville itu. Yang lain memiliki reaksi sama, bahkan Riki sampai mendengus tidak percaya.

As we all know, markas Astray ada tiga,” Bukan Heeseung, melainkan Jake yang membuka suara, “Yang di bom hanya satu, markas paling ujung. If we think logically, they'd be in the base that is close to our territory, making it easy not only for them but also for us to show up unpredicted.”

“Oke, jadi kita datangin mereka, habis itu apa?” Sunghoon bertanya, tangan mengetuk tepat di markas yang dibicarakan. Sebenarnya sudah sedikit mendapat gambaran tentang apa yang ingin dilakukan, namun tidak ada salahnya bertanya dan mengkonfirmasi apa yang Heeseung sebenarnya rencanakan.

Glad you asked, my love,” Heeseung sedikit menggoda Sunghoon, seakan tatapan jijik dari yang lain tidak bermakna—

We're gonna do a drive-by shooting.”

cw // implied minor character deaths


Sunghoon mengerjap kagum. Tidak percaya akan apa yang dilihat. Hampir mustahil, bertanya-tanya darimana Heeseung mengetahui tempat seaman ini? Terletak di bagian distrik yang tertutup, dikelilingi ratusan penjaga serta dilengkapi teknologi canggih.

Sepanjang perjalanan ke pintu utama, Sunghoon terpesona dengan keindahan yang disuguhkan. Bukan hanya Sunghoon, yang lain juga ikut menatap berkelintaran— bahkan Riki dan Sunoo pun mendecak takjub.

“Kak Heeseung!”

Sesaat setelah pintu diketuk, ada seorang lelaki berperawakan lucu membuka pintu lebar yang langsung memeluk Heeseung sambil meneriakkan namanya.

Ada rasa asam di mulut Sunghoon melihat Heeseung membalas pelukan sama eratnya— pikiran langsung bertanya, siapa gerangan lelaki ini. Jay mungkin sadar perubahan hatinya, sehingga sepupunya yang berada di samping itu tertawa kecil.

Dan Sunghoon akan tetap cemburu, jikalau Heeseung tidak mengenalkan siapa lelaki itu setelah melepas pelukan. “Kenalin, ini adek gue, Judy Lee— panggil aja Jungwon.”

Malu, malu, malu. Rasanya Sunghoon mau loncat dari ketinggian, mengetahui ia baru saja cemburu terhadap adek kandung pacarnya sendiri. Tetapi bukan salahnya, toh Heeseung tidak pernah berbicara tentang adeknya.

Sunghoon berani bilang seluruh orang di Los City tidak ada yang mengetahui Heeseung memiliki seorang adek. Simpel saja, apabila mereka tau, maka Jungwon sudah diburu atau diculik sepertinya dari dulu.

“Wonie, kok abangmu gak disuruh masuk?” Seorang lelaki berambut blonde muncul, merangkul Jungwon dari belakang. Matanya berkedip menyadari ada orang lain selain Heeseung. “Oh, sorry. I didn't know there are others.”

Siapa lagi ini? Sunghoon rasakan pening sedikit menjalar di kepala, berdiri terlalu lama depan pintu. Mata melirik sedikit kearah Sunoo dan Riki yang terluka, mereka terlihat kelelahan— ingin secepatnya istirahat, terutama Sunoo karena cidera di bagian kepala.

“Kenalin lagi, ini Jake Sim. He's Jungwon's guardian, or probably boyfriend by now.” Heeseung terkekeh, tangan akhirnya mengisyaratkan untuk masuk, yang mana Riki secepatnya menerobos dengan Sunoo dipelukannya, disusul oleh Jay, dan Sunghoon paling terakhir.

Tangan Sunghoon menggenggam tangan Heeseung saat melewati lelaki itu, “Never thought you have a little brother.” Sunghoon menggumam, mata sibuk lihati Jungwon berbicara pada Riki— mungkin memberi tau dimana letak kamar kosong.

“Gue gak mau orang tau tentang dia. I know you know why, little prince.”

Ya, tentu tau mengapa. Sunghoon menghela nafas, sekilas saja sudah terlihat bahwa Jungwon pasti kelemahan Heeseung. Ada ciuman didaratkan Heeseung di kepala, sebelum akhirnya genggaman tangan dilepas, “Lo naik keatas, gih. Temenin Jungwon sekalian istirahat. Gue mau urusin masalah tadi sama Jake.”

Sunghoon menggangguk, perlahan dekati Jungwon yang berada di tengah ruang tamu. Saat keduanya mulai berbincang dan naik keatas, Heeseung langsung memerintah Jake.

“Jake, gue mau lo retas CCTV dekat area Bracht Lake, yang nyorot kearah jalan masuk parkiran terbuka. Secepatnya.” Nada Heeseung serius, penuh autoritas sebagai pemimpin.

Tidak ada jawaban verbal dari Jake, namun lelaki berambut blonde itu mengambil sebuah laptop kecil dibawah meja— melakukan sesuai perintah Heeseung.

Sekitar 3 menit terlewat, erangan frustrasi keluar dari belah bibir Jake. Heeseung menaikkan satu alis, seperti bertanya 'kenapa?'.

“Lo mau gue kasih tau kabar yang baik dulu atau yang buruk dulu?”

“Buruk. Save the good ones for the last.”

Jake terkekeh, merasa heran Heeseung masih saja berpegang pada prinsipnya yang lumayan aneh itu. “Okay, the bad news is there's some kind of a barrier protecting the CCTV footages, and I can't access it.”

Helaan nafas Heeseung keluarkan setelah mendengar pernyataan Jake. Tentu saja orang-orang itu tidak sebodoh yang dikira. “Terus, kabar baiknya apa?”

“Yang pakai barrier kayak gini tuh cuma satu gang aja di Los City,” Jake tersenyum miring penuh kemenangan, “dan gang itu Astray.”

Heeseung mengusak rambut kesal. Buat apa gang yang berada di Stayville itu menyerang mereka? Tidak masuk akal. Heeseung masih ingat 2 tahun lalu saat pertama jadi pemimpin De Cartas ada perjanjian tidak tertulis bahwa Astray tidak akan menyerang karena wilayah kekuasaan mereka lebih luas daripada gang yang lainnya.

Seakan membaca pertanyaan di pikiran, Jake menjawab. “Gue tadi langsung retas seluruh CCTV di Stayville, just to make sure. Dan gue ngelihat markas mereka di bom, Heeseung. Mungkin ini ada kaitannya dengan lo yang datang kesini nyari perlindungan.”

Pantas, pantas saja. Semua masuk akal sekarang. Astray tidak akan menyerang, kecuali ada yang menyerang mereka duluan dengan menyamar sebagai salah satu anggota dari ketiga gang Los Triumvirate.

Heeseung simpulkan ada yang sedang mencoba mengadu domba mereka, tetapi pertanyaannya, siapa?


“Jadi kakak pacarnya Kak Heeseung?”

Pertanyaan Jungwon membuat Sunghoon malu. Memang benar diri adalah pacar Heeseung, tetapi tetap saja— memalukan untuk mengakuinya didepan adek kandung Heeseung.

Akhirnya menjawab sekedar anggukan kecil. Jungwon berteriak tertahan melihatnya, “Ih lucu banget, Kak Sunghoon malu ya?” Yang lebih muda malah tambah menggoda, merubah wajah Sunghoon semerah mawar memekar.

Sunghoon membisu, terlalu tenggelam dalam rasa sipu— membiarkan Jungwon menjadi satu-satunya yang angkat suara.

Namun satu pertanyaan Jungwon membuat Sunghoon langsung membalas secepat kilat, “Kak Sunghoon mau Jungwon ceritain tentang Kak Heeseung gak?”

Seharusnya Jungwon tidak usah bertanya. Sunghoon tambah memerah menyadari betapa cepat ia berkata “Mau!”, terlihat begitu antusias untuk mengenal Heeseung lebih dalam.

“Jadi gini!” Jungwon menyamankan posisi duduknya di kasur, menandakan cerita akan panjang, “Kak Heeseung dulu itu cupu, pake banget. Gak kayak dia sekarang. Bahkan Kak Heeseung gak mau jadi ketua gang, maunya jadi dosen sastra inggris. Tapi karena kejadian dua tahun lalu, Kak Heeseung langsung berubah 180 derajat, dan jadi ketua gang kayak sekarang deh!”

Sebentar, apa? Sunghoon membelalak. Hampir tidak percaya apa yang Jungwon katakan. Memang benar sih, saat dulu Casa Segura masih dibawah pimpinan ibunya, Sunghoon hanya sering melihat Mr. Lee. Sepintas, ia ingat kabar akan anak lelaki pertama keluarga Lee diterima di universitas ternama— apa yang dimaksud adalah Heeseung?

Sebelum Sunghoon bisa menyuarakan pertanyaan di benak, Jungwon sudah melanjutkan ceritanya. “Dua tahun lalu, orang tuaku ditembak, pas mereka lagi ke uppertown. Kakak pasti tau kan di uppertown itu gimana?”

Sunghoon lebih dari tau tentang itu. Los City terbagi menjadi dua bagian dipisahkan oleh laut, uppertown dimana hanya ada satu distrik dan dua gang, serta undertown, yaitu tempat yang mereka tinggali yang terdiri atas 6 gang dan 3 distrik.

“Mereka dibunuh dari kejauhan, kak. That's all me and my brother ever know. Selebihnya, Kak Heeseung masih mencari tau sampai sekarang.”

Deg. Sunghoon membeku. Keringat dingin menyapa kulit, nafas memburu— panik, Sunghoon panik, takut akan tebakan yang masuk ke dalam pikiran ialah kebenaran.

Jungwon sadar, ikut panik mencoba menenangkan Sunghoon. “Kak?! Kak Sunghoon kenapa?”

Tidak, Jungwon tidak boleh tau. Sunghoon sekuat tenaga tersenyum palsu, mengelus rambut yang lebih muda secara lembut.

“Gak apa-apa, Jungwon tidur aja, ya? Kakak mau kebawah dulu.”

Merasa Jungwon percaya dengan kebohongan manis, Sunghoon secepat mungkin keluar dari ruangan— ia butuh udara.

“Lo yakin bisa jalan, cantik?”

Pertanyaan Heeseung membuat Sunghoon menoleh, mengalihkan atensi dari keramaian diluar mobil. Mereka telah sampai di tujuan, pesta yang diadakan mendadak. Dilihat dari banyaknya kerumunan, seluruhnya telah datang— mungkin diantara kerumunan itu Riki telah menunggu sedari tadi.

Sunghoon mengendikkan bahu, “Gak tau. Tapi mau gimana lagi? Gue harus paksa, walau gue tau pasti gue pincang.”

“Tenang, nanti gue bantu kok,” Heeseung terkekeh, melepas seatbelt-nya dan milik Sunghoon, “Lagian kita juga seharusnya ngelakuin itu setelah pesta, bukan sebelum. I guess we should blame it on our desires, eh?”

Ah, benar juga. Sunghoon sedikit mengutuk dalam hati. Bagaimana bisa tak terpikir seperti itu— justru tunduk pada nafsu yang ingin melakukan secepat mungkin. Sekarang, ia sendiri yang kesusahan.

Meringis hampir tiap saat kala kaki berjalan keluar dari mobil, sekalipun dibantu oleh Heeseung yang menahan sebagian besar beban tubuh. Untung saja Sunghoon pintar menyembunyikan, memainkan wajah seakan tidak merasa apapun.

Dari kejauhan, mata tangkap Jay, diujung kerumunan dekat Riki dan Sunoo yang terlihat sedang berbicara sesuatu— Sunghoon simpulkan mereka telah bertemu sekaligus berkenalan satu sama lain.

Baru saja ingin berucap ke Heeseung untuk pergi kearah ketiga orang itu, yang lebih tua sudah langsung membawanya secara perlahan kesana. Terasa hangat mengetahui Heeseung dapat membacanya, namun di saat yang sama juga menyeramkan— tidak pernah ada orang yang mengetahui Sunghoon lebih baik dari Heeseung dalam jangka waktu sesingkat ini.

“Nah, ini dia para pemimpin yang telat,” Jay mengejek, sesaat setelah lihat Heeseung serta Sunghoon, yang mana diikuti oleh gelak tawa dari Riki.

Sunghoon memutar mata malas. Jika saja bagian bawahnya tidak sakit, maka dipastikan Jay sudah tersungkur di lantai. Berbeda dengannya, Heeseung malah ikut tertawa, “Yeah, yeah. You know we have other things to do.”

Helaan nafas keluar dari belah bibir Jay. “Lain kali jangan ribut. Satu mansiun dengar kalian, kalau lo pada mau tau. Makanya anak-anak Casa Segura jadi yang paling pertama kesini.”

Uh, oh. Sunghoon berkedip cepat— pipi bermekar merah menyadari bahwa seluruh anak buahnya mendengarnya, mau ditaruh dimana mukanya setelah ini?

Apalagi Heeseung ikut terdiam, mungkin merasa sama malunya dengan Sunghoon. Tetapi karena itu Riki jadi menaikkan alis, jelas bingung akan konteks dari perkataan Jay yang membuat pasangan itu terdiam membisu.

“Ribut ngapain?” Riki benar-benar tidak sadar pertanyaannya begitu polos, hingga membuat Jay, Heeseung, Sunghoon, dan bahkan Sunoo, tertawa lepas. “Hey, hey! Kok malah ketawa, sih?”

Semakin Riki jengkel, semakin pula mereka tertawa. Yang paling muda menoleh ke samping, “Come on, bub. Not you too.” langsung mengerang melihat Sunoo juga masih ketawa.

Sorry, you're just too cute. Terkadang aku lupa kamu masih terlalu muda, hehe.” Sunoo tersenyum lucu, kedua tangan naik untuk menguyal pipi lelakinya bak adonan kue.

Melihat itu, Jay meraung kesal. “Bisa gak kalian,” ia menunjuk Riki dan Sunoo, lalu Heeseung dan Sunghoon, “Lihat-lihat tempat kalau mau bermesraan?”

Sunghoon mendengus, akhirnya berucap untuk pertama kalinya. “Bilang aja lo iri karena gak ada yang punya, Jay.”

Mereka semua kembali tertawa, kecuali Jay, tentu saja. Heeseung membuka belah bibir, ingin berbicara, namun tidak jadi ketika telinga menangkap suara seperti sesuatu dilempar ke arah mereka dari kejauhan.

Butuh beberapa detik untuknya agar sadar dan secepat mungkin berteriak “Menunduk!”, Heeseung refleks melemparkan tubuh ke arah Sunghoon, melindungi lelaki itu yang menatap bingung, “Apa yang—”

Boom!

Perkataan Sunghoon terpotong, suara ledakan menggema begitu kuat di telinga. Sial, siapa yang berani menyerang mereka? Sunghoon menggeram marah. Pikirannya berlari kesana-kemari, mencoba mencari pelaku dari memori.

Hanya ada satu yang patut dicurigai, seseorang yang memberi mereka ide untuk melakukan sebuah pesta. Riki.

Sunghoon tanpa basa-basi melepaskan diri dari Heeseung, mendatangi Riki yang tersungkur dengan tangan berdarah— sedikit susah payah menahan sakit yang menjalar. Kedua tangan menarik lelaki berambut hitam itu dari kerahnya, “You! What the fuck do you think you're doing?!”

Emosi kentara terdengar dari suara, Sunghoon total serius. Paling tidak suka apabila anak buahnya dibunuh dengan cara licik seperti ini.

N-no, I didn't— I didn't do anything, I swear,” Riki bersusah payah menjawab, hampir tidak bisa bernafas. Hanya saja, Sunghoon sama sekali tidak percaya, tambah mengeratkan cengkraman di kerah.

Tangan kiri Sunghoon dipegang lembut, membuatnya menoleh. Itu Sunoo, sama kacaunya dengan Riki— darah mengalir dari pelipisnya. “Itu benar, ka-kami tidak melakukan apapun.. tolong, lepaskan Riki. Kami tidak mungkin melakukan sesuatu yang akan membahayakan gang kami sendiri.”

Mendecih, Sunghoon akhirnya melepaskan cengkraman. Pun mata beredar ke sekitar, mencoba melihat kondisi pesta yang berakhir layak bencana. Sialnya, ledakan kembali terjadi didepan mata. Sunghoon sontak meringkuk— mencoba melindungi diri.

Pendengarannya berdenging, bersamaan dengan penglihatan yang kabur. Tidak dapat mengetahui apa yang Heeseung ucapkan kala lelaki itu menggendongnya secara bridal style, sayup-sayup menebak setelahnya Heeseung memerintahkan semua orang untuk pergi.

“Pergi kemana?! Siapapun yang ngelakuin ini, pasti bakal ngejar kita sampai penghujung dunia!” Jay. Sunghoon tau itu yang berteriak Jay, sepupunya itu terdengar seperti menahan pedih.

Ada suara lagi yang berbicara, kali ini Sunghoon tebak adalah Riki. “He's right. Gak ada tempat yang aman, karena tujuan utama mereka pasti kita— Los Triumvirate.”

No,” Heeseung berucap, “Ada satu tempat yang aman. We'll go there, I'll share the location through GPS. Kita harus secepatnya pergi dari sini sebelum ada baku tembak.”

“Heeseung, lo yakin ini lokasinya bener?”

Sunghoon bertanya tepat saat ia turun dari mobil, menoleh kearah Heeseung yang melakukan hal yang sama. Mereka berdua membawa mobil masing-masing— Ford Mustang dan Acura NSX yang baru saja diambil tadi— karena yang lebih tua menyuruh begitu. Entah apa yang direncanakan.

Heeseung mengangguk, “Bener kok.” Sunghoon diam saja sehabis itu, tetapi mata tetap memandang sekitarnya skeptis. Terutama sekarang berada di Distrik Ikurugi, yang bukan teritorialnya.

Sepi, terlalu sepi. Sunghoon bahkan bisa mendengar langkah derap kaki sendiri. Rumah tingkat dua yang dikunjungi terlihat mustahil menjadi kediaman ketua Hakanai— tidak ada gerbang, tidak ada penjaga. Kosong.

Bisa jadi jebakan. Tangan was-was berada di kantong, bersiap mengeluarkan pistol kesayangannya, dan ketika telinga menangkap suara pergerakan dari belakang, Sunghoon langsung berbalik— mengarahkan pistolnya ke seorang lelaki tinggi berambut hitam yang juga melakukan hal yang sama.

Lelaki itu tidak sendirian. Ada sesosok lelaki mungil dibelakangnya, memegang pistol gemetaran. Mungkin takut akan Heeseung yang melakukan hal yang sama dengannya— pistolnya tepat berada di kepala.

Empat pistol di udara, tidak ada yang berbicara atau bergerak. Oksigen seakan menipis disebabkan tegangnya situasi diantara mereka.

What the fuck are you doing here, Ethan Lee?” Lelaki jangkung itu berbicara, mengarahkan pandangannya ke Heeseung lalu melirik Sunghoon sekilas, “Oh. Is this your little prince, the one who killed three of my men?”

Heeseung tertawa sarkas, “Lo tau kenapa gue disini, Nishimura Riki.” Ia melirik kearah lelaki mungil disamping Riki, “Oh. Is this your sit-still-and-look-pretty baby, what's his name again?— right, Kim Sunoo. My bad.”

Sengaja, Sunghoon tau Heeseung sengaja meniru apa yang Riki ucapkan dan memanggil mereka berdua dengan nama asli. Sebuah tawa tertahan di tenggorokan melihat wajah Riki berubah, terkonsumsi emosi.

“Siapa yang kasih lo izin buat manggil nama asli gue dan pacar gue?” Riki menggeram, pistol beralih ke arah Heeseung, “I'm gonna blow that head of yours after saying those things about Sunoo right in front of my face.”

“Riki, n-no, don't kill him,” Itu Sunoo, akhirnya berbicara. Tangannya yang semula memegang pistol, beralih menggenggam ujung kimono modern yang digunakan pacarnya.

Sayang sekali permintaan tidak didengar. Riki bersiap menarik pelatuk, yang mana Sunghoon juga langsung berlaku sama— tidak mungkin akan membiarkan Heeseung dibunuh begitu saja.

Tetapi alih-alih merasa takut ditembak, Heeseung terkekeh. “See? Lo sendiri marah walau gue cuma sekedar ngomong tentang pacar lo, dan lo berani-beraninya nyulik kepunyaan gue. If I don't have any patience at all, you're the one whose head would get blown already.”

Sunyi melingkupi mereka berempat. Riki seperti berpikir, karena mau bagaimanapun perkataan Heeseung benar adanya. Pun sang ketua Hakanai itu menghela nafas, “Alright. Mau lo apa?”

Senyum kemenangan langsung bingkai wajah Heeseung. “Balapan. Kita berempat. The winner gets to ask everything from the loser, as usual.”

Astaga. Sunghoon sebisa mungkin tidak membelalak, pantas saja lelaki itu menyuruhnya membawa mobil sendiri— ternyata untuk balapan. Ia merasa darah berdesir cepat, bersemangat mencicipi adrenalin lagi.

“Oke, kita balapan berempat. Tapi karena Sunoo ikut, lo berdua harus di posisi pertama dan kedua berturut-turut, baru kalian menang. Kalau gue ada di posisi pertama, dan Sunoo posisi ketiga atau keempat, Hakanai tetap pemenangnya.”

Mendengar ketentuan dari Riki membuat Sunghoon bertanya-tanya, apakah Sunoo bukan pengendara yang baik? Dilihat-lihat dari bagaimana lelaki itu seperti ketakutan, jawaban dari pertanyaan Sunghoon kemungkinan 'ya, memang bukan.'

Namun Heeseung hanya menanggapinya dengan menaikkan bahu tanda tak peduli, “Terserah. Ayo langsung balapan aja.”


Empat mobil— Ford Mustang, Acura NSX, Mercedes AMG, Porsche Cayman— berjejer rapi didepan lampu merah, menunggu berganti menjadi hijau agar pedal gas dapat diinjak sekuat tenaga.

Karena tidak ada orang yang bisa mengawali balapan, berempat sepakat untuk balapan di jalanan yang ramai akan mobil lain berlalu-lalang— menambah tingkat kesusahan.

Sunghoon menghembuskan nafas, kala lampu berkelip kuning. Ayo, ayo, ayo. Cepatlah berubah menjadi hijau— Sunghoon tidak sabar. Ia benar-benar tidak sabar kalahkan semua orang. Termasuk Heeseung.

Kepala menoleh ke kiri, pun mata bertemu mata. Sunghoon layangkan tatapan mengejek, lalu berbicara tanpa suara, “I'm gonna beat you.”

Heeseung menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum, membalas perkataan Sunghoon dengan “You wish, little prince.”

Seolah-olah tidak ada Riki maupun Sunoo, dan hanya ada mereka berdua yang akan balapan. Sunghoon melupa fakta mereka di sisi yang sama, malah menjadikan Heeseung sebagai target yang akan ia kalahkan.

Begitu atensi Sunghoon kembali ke depan, lampu langsung berubah hijau. Kaki sontak injak pedal gas, mobil melaju diantara ketiga mobil lainnya yang ikut meluncur.

Baru saja dimulai, namun rasanya sudah menyenangkan. Sunghoon banting stir kesana-kemari, menghindari mobil yang memenuhi jalanan. Posisi sekarang berada di tempat ketiga, dibelakang Riki dan didepan Sunoo. Heeseung? Oh, tentu saja, lelaki itu berada di paling depan.

Sial, Sunghoon merutuk dibawah nafasnya. Riki sedari tadi menghalanginya, seakan lelaki jangkung itu tau segala gerak-gerik yang akan dilakukan. Tetapi itu tidak berlangsung lama, Sunghoon langsung tertawa— ah, anak itu masih perlu belajar banyak.

Riki melakukan kesalahan yang sama seperti yang ia lakukan kemarin, saat mencoba mengalahkan Heeseung. Terlalu cepat mengaktifkan gas nitro hanya karena sebentar lagi garis finish.

Berbeda dengan Sunoo, Sunghoon perhatikan dari kaca tengah— lelaki itu sama sekali tidak mengaktifkan nitro, tidak juga berkendara lambat. Setidaknya, ia cukup baik dalam menipiskan jarak diantara mereka.

Tangan Sunghoon mulai meraba tangki gas nitro dibelakang persneling. Belum, sebentar lagi— hati menahan diri, dan ketika garis finish hanya sisa beberapa meter serta gas nitro milik Riki habis, Sunghoon langsung memutar tutupnya yang membuat mobil langsung melaju cepat.

Entah bagaimana, Heeseung mengaktifkan gas nitro bersamaan dengannya, sehingga sekarang mobil mereka melesat dengan kecepatan yang sama sampai lewati garis finish.

Menang. Sunghoon dan Heeseung sama-sama menempati posisi pertama, disusul oleh Riki, lalu Sunoo. Keempat mobil berhenti secara acak, dan semuanya langsung keluar dari mobil.

“Kita menang, Riki.” Heeseung merangkul Sunghoon, menatap Riki yang juga ikut merangkul Sunoo.

Lelaki pemimpin Hakanai itu hanya menghela nafas pasrah, “What do you want me to do?”

I want you to unite with my gang, under my lead.”

cw // slight nsfw, kissing, making out


Ceklek.

Pintu kamar terbuka, Sunghoon tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa itu. Tetapi tetap saja, kaki berdiri— berjalan mendekati lelaki yang tersenyum lebar dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang.

“Hey,” Heeseung menyatukan dahi keduanya, “How's your sleep, love?” Suara yang lebih tua lembut, sarat akan afeksi.

Love. Sunghoon melemah, tulang rusuk nyeri menahan jantung agar tidak keluar akan kencangnya degupan. Kedua tangan dengan gemetar naik, tangkup kedua pipi Heeseung, lalu menyatukan bibir dengan bibir begitu saja.

Sama sekali tidak peduli pertanyaan Heeseung menggantung di udara, merasa tidak perlu ada jawaban verbal. Sunghoon melumat pelan bibir lelaki itu, langsung dibalas dengan lumatan yang lebih terburu. Pun tangan Heeseung perlahan turun dari pinggang, mengarah ke kedua paha Sunghoon untuk mengangkat yang lebih muda.

Pekikan kaget saat diangkat teredam, kala lidah Heeseung menyusup masuk— melilit lidah yang lebih muda, kemudian menjilati seluruh isi mulutnya tanpa jeda.

Pening, Sunghoon benar-benar pening. Akal sehat mulai tertutupi kabut, sama sekali tidak sadar sudah direbahkan di tengah kasur dengan Heeseung memenjarakan tubuh. Hanya bisa pasrah membiarkan bibir dicumbu hebat sambil meremat helaian rambut di tengkuk yang lebih tua.

Ciuman terlepas beberapa detik kemudian. Berdua tersengal meraup nafas sebanyak-banyaknya. Sunghoon membuka belah bibir, bermaksud ingin berkata, namun Heeseung mendahuluinya— kembali menyatukan bibir keduanya.

Lidah kembali beradu, kali ini Sunghoon mencoba mengimbangi. Melilit balik lidah Heeseung sambil menghisapinya kuat. Namun saat geligi ikut bermain, Sunghoon mendesah kecil, berakhir memberi kendali pada Heeseung sekali lagi.

Ciuman yang diberi berubah lebih intens, jauh lebih intens dari yang pertama. Sunghoon kewalahan, nafas sudah menipis— tangan gemetar mencoba menarik Heeseung menjauh.

Untung saja lelaki itu patuh, membiarkan diri ditarik menjauh. Sunghoon menatapnya sayu, bibir membengkak terbuka menarik nafas dengan saliva terhambur di dagu. Tanpa sengaja mengundang Heeseung untuk berlaku lebih.

“Sial,” Heeseung menggumam dibawah nafasnya, mulai menenggelamkan wajah ke perpotongan leher Sunghoon yang langsung mendongak— memberikan akses sepenuhnya.

Hidung Heeseung menggesek pelan garis leher Sunghoon, membuat Sunghoon merengek. Bukan ini yang diinginkan, ia mau lebih. Mau ditandai, mau ditutupi dengan ruam merah hingga semua orang tau ia milik Heeseung.

Tangan mendorong kepala Heeseung lebih dalam, memaksa lelaki itu untuk melalukan lebih. Heeseung terkekeh, sebelum akhirnya menggigit tepat di titik paling sensitif yang mana memicu rintihan dari belah bibir Sunghoon.

Saat Sunghoon sudah mulai masuki kondisi subspace akibat stimulasi di leher, Heeseung malah menjauh seakan mengingat hal penting. Pun yang lebih tua secepatnya membubuhi ciuman halus di wajah Sunghoon, sebuah aksi berlaku sebagai penenang agar Sunghoon tidak merasa seperti tidak diinginkan.

“Kita perlu bicara, shit,” Heeseung memotong perkataan sendiri akibat Sunghoon yang menciumi rahangnya, bersamaan dengan bagian bawah yang bergesek, “Berhenti, cantik— come on, we need to talk.”

Perkataan Heeseung sama sekali tidak digubris. Sunghoon masih asik menciumi, bahkan berani menghentakkan pinggul keatas— mencoba menggoda Heeseung.

Tangan Heeseung sontak berubah mencengkram kuat pinggang Sunghoon, geraman penuh amarah terdengar. “Obey, pretty doll.”

Satu perkataan saja cukup membuat Sunghoon membeku. Ada rengekan tertahan di tenggorokan, ini gila— Heeseung terdengar berbeda, layak ada sebuah keharusan baginya untuk menunduk patuh.

Anggukan jadi jawaban, Sunghoon tidak berani membuka mulut. Melihatnya, Heeseung menghembuskan nafas pelan, lalu mencium kening yang lebih muda. “Sorry, gue gak bermaksud takutin lo.”

Sunghoon menggeleng, “Gak apa-apa. Ayo bicara, tadi katanya mau bicara, kan?” Tangan Sunghoon mengalung di leher Heeseung, perlahan menariknya kedalam pelukan— persis seperti tadi siang.

“Iya. Gue cuma mau bilang malam ini gue mau ke tempat ketua Hakanai. You know, to teach them a lesson for doing that to you.”

You don't have to—”

—I'm not done talking, pretty,” Heeseung tertawa setelah memotong perkataan Sunghoon, “Lo mau ikut gak?”

'“Hah?” Sunghoon mengerjap bingung, tidak mengerti Heeseung mengajaknya ikut kemana.

Do you want to teach them a lesson together with me?”

Bodoh. Tanpa bertanya, Sunghoon pasti mau.

Sunghoon mengerjap berulang kali melihat mansiun yang akan dimasuki mobil yang ia tumpangi. Butuh beberapa detik untuknya sadar bahwa mansiun itu markas utama De Cartas, cukup menjelaskan mengapa banyak penjaga berhamburan dimana-mana.

Sunghoon menoleh ke arah Heeseung, lelaki itu masih menaruh fokus pada stir. “Kenapa lo bawa gue kesini? I thought you were going to take home.”

Isn't this home?”

Jawaban— lebih tepatnya pertanyaan— Heeseung membuat Sunghoon bingung. Rumahnya adalah Casa Segura, bukan De Cartas. Lagian, Sunghoon lumayan yakin anak buah Heeseung tidak akan senang melihat ketua dari gang yang bisa dibilang musuh memasuki markas mereka.

Tetapi Sunghoon tidak bisa memberontak, terlebih saat Heeseung menggendong tubuhnya secara bridal style tepat setelah keluar dari mobil— mengundang hampir seluruh pasang mata melihat mereka dengan tatapan ingin mengetahui.

“Heeseung, ngapain segala gendong sih?” Sunghoon menggumam, tangan melingkar di leher yang lebih tua. Malu mulai rasuki raga, Sunghoon mau tidak mau menenggelamkan wajah di perpotongan leher Heeseung. Menyembunyikan diri.

Suara kekehan Heeseung mengalun bebas, “Lo baru aja diculik, and this is the only way I could think of to make it up to you.”

Jawaban Sunghoon hanya berupa dengusan, namun tak bisa dipungkiri hati bermekar hangat hingga tanpa sadar mengeratkan pelukan di leher Heeseung. Kepala masih tersembunyi— nyaman, rasanya nyaman.

Hampir saja tertidur, jikalau langkah Heeseung tidak terhenti. Perlahan, Sunghoon menaikkan kepala penasaran— ingin melihat isi markas dari De Cartas. Mata langsung disuguhkan dengan design minimalis, berdominan warna hitam serta sedikit merah.

Dilihat dari sedikitnya furnitur dan banyaknya hiasan berupa lampu berbentuk bak kartu-kartu yang digantung dari atas plafon, Sunghoon menebak mereka berada di aula.

Listen up!” Heeseung berteriak, begitu kuat sampai menggema ke lorong-lorong yang tersambung dengan aula. Satu teriakan saja, namun seluruh anggota De Cartas sudah berkumpul— siap mendengarkan apapun yang akan dikata sang ketua.

Kagum. Sunghoon tidak bisa tidak mendongak, menatap Heeseung penuh admirasi. Aura lelaki yang menggendongnya itu sama seperti kemarin malam, saat mereka bertemu jam 3 malam. Aura penuh autoritas dan dominansi.

“Mulai sekarang, De Cartas dan Casa Segura menyatu jadi satu gang, dibawah pimpinan gue dan Sean Park. I hope to see both sides to work together right after this, you all can go now.” Sorot mata Heeseung tajam, seakan menyuruh siapapun yang mendengar perintahnya harus patuh.

Namun Sunghoon masih tidak percaya apa yang baru saja didengar. Memang benar, Heeseung punya hak atas Casa Segura, tapi setidaknya lelaki itu bisa membicarakannya dulu dengannya. Ia mendadak mengingat perkataan Heeseung tadi, yang menyangkut tentang 'rumah'— apakah ini penyebabnya yang lebih tua berucap seperti itu?

Hanya saja, Sunghoon tidak berani berucap sepatah kata pun. Setidaknya, tidak sampai mereka hanya berdua— masih ada beberapa anak buah Heeseung di aula, berbisik-bisik satu sama lain antara tidak percaya atau hanya ingin bergosip ria.

Heeseung menunduk sedikit, berbisik di telinga Sunghoon, “Lo gak marah, kan?” Dibilang marah, tidak. Dibilang tidak marah, juga tidak. Sunghoon hela nafas. Akhirnya hanya menggeleng, tidak tau mau menjawab apa.

“Gue bakal jelasin nanti, let me take you to my room first, yeah? Lo butuh istirahat.”

Dan Sunghoon membiarkan dirinya dibawa oleh Heeseung, kembali menenggelamkan wajah di leher lelaki itu. Kali ini, mata sempat terpejam— sudah berada didepan pintu dunia mimpi, sayangnya harus dibuat terbangun kala Heeseung merebahkan tubuhnya perlahan di tengah kasur.

Saat Heeseung menjauh, Sunghoon tarik lelaki itu ke dalam pelukannya. “Don't go. Lo tadi bilang mau jelasin.” Ada helaan nafas terdengar, lalu sepasang tangan merengkuh balik.

You need to sleep, little prince.” Heeseung mencoba menjauh, tetapi gagal. Pelukan Sunghoon begitu erat. Tidak membiarkan lelaki itu kemana-mana.

Sunghoon menggeleng, “Enggak. Jelasin.”

Tidak ada ruang untuk menolak. Perkataan Sunghoon mutlak, maka Heeseung patuhi.

“Gue satuin De Cartas dan Casa Segura, karena gue rasa itu jalan terbaiknya, daripada lo pusing pikirin tentang hak lo dan hak Casa Segura yang ada di tangan gue.” Tangan Heeseung bermain-main di pinggang Sunghoon, terkadang meremas pelan atau sekedar mengelus.

“Huum, kenapa gak omongin dulu ke gue?”

“Karena gak ada waktu. Gue udah bawa lo kesini, setidaknya harus ada satu alasan biar lo gak dikeroyok anak buah gue, dan itu dengan cara buat lo ketua juga.”

Benar, sih. Apa yang dikatakan Heeseung benar. Sunghoon mengangguk pelan, hidung terbenam di helaian rambut sehingga dapat mencium harum shampoo lelaki di pelukan.

And I also want to spend more time with you, as your boyfriend.”

Ah. Mata Sunghoon membulat. Merah menjalar di kedua pipi, menyadari Heeseung mendengar apa yang dikatakan beberapa jam yang lalu saat masih diculik.

Sunghoon tergagap, “Ma-maaf, gue gak bermaksud—” Kalimatnya dipotong.

“— Gak perlu minta maaf. Gue malah suka lo anggap gue gitu, cantik.” Heeseung menaikkan wajah, membubuhi ciuman halus diujung bibir yang lebih muda, “So, do you want to make it official, or not?”

Sunyi. Sunghoon terdiam. Tidak menyangka akan ditanya seperti itu. Ia menghela nafas gemetar, lalu mengangguk perlahan. Walau setelahnya langsung mendorong Heeseung pergi, lalu menutupi diri menggunakan selimut.

Melihatnya, Heeseung tertawa. Mencium kepala Sunghoon yang menyembul sedikit, “Sleep well, my pretty boy.” adalah yang diucap sebelum meninggalkan kamar.

Begitu pintu tertutup, Heeseung langsung bergegas kebawah— mencari salah satu anak buahnya, “Hyunsuk!” Langsung memanggil ketika melihat.

“Cari tau dimana alamat rumah Richie Nishimura dan Seira Kim, ketua dari Hakanai.”

cw // minor character deaths, gun shooting, blood and violence.


Sial. Heeseung menggeram, hampir membanting handphone kala membaca pesan dari Hyunsuk lewat lockscreen-nya— ‘Sean Park diculik, tuan. Ia terakhir terlihat dibawa ke sebuah gudang dekat perbatasan antara distrik kita dan Ikurugi.’

Tentu saja. Gang mana lagi selain Hakanai, terutama setelah Kokonoi melihat Sunghoon tadi malam. Lelaki itu pasti berpikir bahwa Sunghoon adalah kesempatan untuk melemahkan Heeseung, lalu memberi tau bos-nya yang sangat pengecut itu— fakta, Heeseung bahkan jarang melihat pemimpin Hakanai diluar markas, semua pekerjaan ditanggung oleh anak buahnya.

Jika boleh berkata jujur, sebenarnya Heeseung sedikit memikirkan tentang ini, sesaat setelah ia memberi tau Kokonoi.

Mau bagaimanapun, Heeseung terkenal sepenjuru Los City, bukan hanya karena kemampuan berkendara, tetapi juga karena ia tidak punya kelemahan.

Melihat Sunghoon— lelaki berpahatan tegas nan anggun itu berada disampingnya, tentu akan disangka sebagai kelemahannya. Karena bagi hampir semua orang, cinta adalah kelemahan.

Namun mereka melupakan satu fakta penting. Sunghoon adalah pemimpin dari Casa Segura, jauh dari kata lemah.

Maka dari itu, Heeseung putuskan untuk tidak membawa satupun anak buahnya, maupun anak buah dari Sunghoon— ia pergi sendiri menggunakan Mustang kesayangannya, dilengkapi sepasang pistol Beretta APX di saku dalam jaketnya.

Toh, Hakanai merupakan gang terlemah di Los City. Kemampuan mereka jauh dibawah Heeseung dan Sunghoon.

Walau begitu, mereka masih saja berani mencoba melukai kepunyaannya.

Heeseung benar-benar akan hancurkan mereka sampai tidak bersisa.


C’mon, wake up, sweetheart.

Suara menjijikan itu terdengar sayup, penglihatannya kabur— rasanya seperti sehabis dihantam begitu kuat di kepala, membuat dunia berputar tak karuan disekitarnya.

Lalu seluruhnya dingin. Tubuh langsung berjengit, mata terbuka sepenuhnya dengan kesadaran terpaksa walau kepala masih terasa begitu pening.

Hal yang pertama Sunghoon sadari adalah basah. Rambutnya— tidak, bukan hanya rambut, seluruh bagian atas tubuh basah.

Ah, ternyata itu penyebabnya. Tiga orang didepan ini— masih kabur, tidak terlihat jelas— menyiramnya dengan air dingin.

Sunghoon mencoba menggerakkan tangan, hasilnya nihil. Tidak bisa digerakkan, diikat sekuat yang dikira.

Pun mencoba menunduk sedikit, menatap ke arah kaki yang tidak terikat— lebih tepatnya, ke arah boots-nya. Melihat masih ada gundukan kecil diujung kaos kaki yang tertutup kain celananya hampir membuat Sunghoon tertawa.

Bodoh. Orang-orang yang menyenderanya total bodoh. Bagaimana bisa mereka tidak mengambil pistol kecil-nya, apa mereka begitu percaya dengan tali yang mengikatnya sekarang?

You look happy for someone who got abducted,” Bisa lihat lelaki berambut ungu berucap, “Gue Kokonoi. Mungkin lo ingat gue semalam, yang bicara sama pacar lo itu.”

‘Huh, pacar?’ Pikiran Sunghoon bertanya bingung, sebelum akhirnya menyadari— oh. Maksudnya Heeseung, ternyata.

Sunghoon menggeram, “Gue gak peduli nama lo siapa dan apapun yang lo omongin, lo lepasin gue. Sekarang.”

Kokonoi dan kedua lelaki dibelakangnya tertawa. Yang berambut ungu menggeleng-gelengkan kepala, berjalan kearah Sunghoon lalu mencengkram dagunya kuat.

“Lo terlalu berani,” Cengkraman di dagu menguat, malah membuat Sunghoon menatap tajam tanpa meringis sakit, “Know your place, fool. You’re nothing more than just Ethan’s Little Prince.

Tepat setelah Kokonoi berkata, Sunghoon meludahinya dan menghantamkan lututnya di selangkangan lelaki itu, memicu Kokonoi untuk langsung berteriak, mengaduh kesakitan sambil meringkuk di lantai.

Melihatnya, Sunghoon tertawa sekencang mungkin. “Gue mungkin cuma sebatas pangeran kecilnya Ethan di mata kalian, tapi itu yang gue mau,” Jemari Sunghoon bermain-main dibelakang, mengambil pisau kecil di pergelangan jasnya, dan sebelum ketiga lelaki didepannya bisa bertindak— Sunghoon sudah berdiri terlebih dahulu.

So that you all can’t see,” Sunghoon mengarahkan Ruger LCR yang sedari tadi berada di kaki, “I’m as dangerous as my boyfriend is.”

Memanggil Heeseung sebagai pacar terasa memalukan, namun apabila itu membuat orang-orang yang menculiknya tambah takut, maka Sunghoon tidak ada masalah untuk mengucap.

Muka ketiganya dihias sempurna oleh ketakutan, terutama Kokonoi yang berada tepat didepan pistolnya.

“K-kami minta maaf, tolong jangan bunuh kami.” Mereka memohon-mohon.

Lucu, lucu sekali. Sunghoon lagi-lagi tertawa. Ia suka melihat orang ketakutan terhadapnya, suka melihat bagaimana ia memutar keadaan dengan begitu mudah.

Lantas, apakah perlu ia ampuni mereka?


Heeseung mencari kesana-kemari, lokasi yang diberi Hyunsuk memiliki banyak gudang hingga membutuhkan waktu 10 menit baginya untuk menemukan dimana Sunghoon berada.

Saat Heeseung masuk, mata disuguhkan dengan pemandangan Sunghoon meludahi serta menendang Kokonoi, yang mana ia langsung tertawa kecil.

Sepertinya para anak buah Hakanai itu terlalu kaget akan tindakan Sunghoon, sampai-sampai mereka tidak menyadari Heeseung berada disana— memperhatikan mereka dengan pistol berada di tangan.

“…. I’m as dangerous as my boyfriend is.

Mendengar itu, Heeseung tersenyum lebar. Astaga, hati berdentum begitu kuat seakan ingin keluar dari relung. Rasa senang bak memeluk seluruh raga.

Tetapi senyumnya jatuh, ketika Sunghoon menarik pelatuk— membunuh ketiga lelaki didepannya dengan keji.

Tidak, itu bukan Sunghoon. Yang lebih muda seperti berubah, seperti menjadi orang lain yang asing di mata Heeseung. Sunghoon dingin, Heeseung membeku.

Heeseung sendiri memang lumayan sering mengotori tangan dengan darah, namun apa yang Sunghoon lakukan bukanlah suatu hal yang diperlukan. Menurutnya, ketiga orang itu tidak perlu sampai dibunuh seperti itu.

‘Apa yang selama ini Sunghoon lakukan saat ia tidak berada disini?’

Pertanyaan tidak diundang masuk ke dalam benak, bersamaan dengan Sunghoon yang menoleh— ekspresi wajah berubah seperti biasanya.

“Heeseung?”

Satu panggilan, cukup buat Heeseung sadar dan sontak tersenyum sambil mendekati Sunghoon.

Tangan pakaikan jaket kulit ke Sunghoon ketika sadar yang lebih muda basah kuyup, lalu merangkul pinggangnya mendekat.

I’m sorry,” Heeseung memajukan wajah, menggesekkan hidung satu sama lain, “Kalau gak gara-gara gue, lo gak bakal kayak gini.”

Sunghoon menggeleng, “Gak apa-apa. Besides, I’m perfectly capable of defending myself.”

Mereka berdua tertawa, sebelum akhirnya Heeseung menuntun Sunghoon untuk keluar—

Let’s go home, pretty boy.

Sunghoon mengusap mata, merasa begitu lelah. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi, dan ia sama sekali belum tidur dari kemarin.

Namun mau bagaimana? Banyak urusan yang harus dikerjakan sebagai seorang ketua, terutama masalah perjanjian dan hak mereka yang sudah menjadi hak De Cartas.

Ah. Bodoh. Sunghoon baru ingat. Kenapa tadi malam tidak membicarakannya langsung dengan Heeseung, malah melakukan—

Sudah. Sunghoon sebisa mungkin tidak mau ingat. Memalukan. Tapi ia juga tidak akan menolak, apabila Heeseung menariknya untuk melakukan itu lagi.

Balik ke urusan awal, Sunghoon sedang mencoba melakukan yang terbaik sebagai seorang pemimpin. Pun kaki melangkah tegap di korridor, tangan memutar kunci mobil keduanya, Nissan GTR— karena mobil pertamanya masih berada di skatepark di daerah kekuasan De Cartas.

Ia mengambil jas hitam Heeseung yang tadi malam diberikan padanya, kemudian menyelimuti badannya dengan itu. Udara diluar sedikit dingin, maka dari itu Sunghoon menggunakannya.

Saat Sunghoon sudah mau melangkah masuk ke dalam mobil yang terparkir diujung jalanan, ada sebuah tangan yang membekap mulutnya.

Sontak, Sunghoon memberontak, sekuat tenaga. Namun sial, tangan tersebut secepat kilat berubah menjadi sebuah kain lap basah, yang membuat Sunghoon lama-kelamaan kehilangan kesadaran.

Hal terakhir yang ia lihat dan dengar adalah seorang lelaki berambut ungu berteriak, “Boss, we got him!”