Cloud 9 for the Strays (1/3)

“Lo yakin bisa jalan, cantik?”

Pertanyaan Heeseung membuat Sunghoon menoleh, mengalihkan atensi dari keramaian diluar mobil. Mereka telah sampai di tujuan, pesta yang diadakan mendadak. Dilihat dari banyaknya kerumunan, seluruhnya telah datang— mungkin diantara kerumunan itu Riki telah menunggu sedari tadi.

Sunghoon mengendikkan bahu, “Gak tau. Tapi mau gimana lagi? Gue harus paksa, walau gue tau pasti gue pincang.”

“Tenang, nanti gue bantu kok,” Heeseung terkekeh, melepas seatbelt-nya dan milik Sunghoon, “Lagian kita juga seharusnya ngelakuin itu setelah pesta, bukan sebelum. I guess we should blame it on our desires, eh?”

Ah, benar juga. Sunghoon sedikit mengutuk dalam hati. Bagaimana bisa tak terpikir seperti itu— justru tunduk pada nafsu yang ingin melakukan secepat mungkin. Sekarang, ia sendiri yang kesusahan.

Meringis hampir tiap saat kala kaki berjalan keluar dari mobil, sekalipun dibantu oleh Heeseung yang menahan sebagian besar beban tubuh. Untung saja Sunghoon pintar menyembunyikan, memainkan wajah seakan tidak merasa apapun.

Dari kejauhan, mata tangkap Jay, diujung kerumunan dekat Riki dan Sunoo yang terlihat sedang berbicara sesuatu— Sunghoon simpulkan mereka telah bertemu sekaligus berkenalan satu sama lain.

Baru saja ingin berucap ke Heeseung untuk pergi kearah ketiga orang itu, yang lebih tua sudah langsung membawanya secara perlahan kesana. Terasa hangat mengetahui Heeseung dapat membacanya, namun di saat yang sama juga menyeramkan— tidak pernah ada orang yang mengetahui Sunghoon lebih baik dari Heeseung dalam jangka waktu sesingkat ini.

“Nah, ini dia para pemimpin yang telat,” Jay mengejek, sesaat setelah lihat Heeseung serta Sunghoon, yang mana diikuti oleh gelak tawa dari Riki.

Sunghoon memutar mata malas. Jika saja bagian bawahnya tidak sakit, maka dipastikan Jay sudah tersungkur di lantai. Berbeda dengannya, Heeseung malah ikut tertawa, “Yeah, yeah. You know we have other things to do.”

Helaan nafas keluar dari belah bibir Jay. “Lain kali jangan ribut. Satu mansiun dengar kalian, kalau lo pada mau tau. Makanya anak-anak Casa Segura jadi yang paling pertama kesini.”

Uh, oh. Sunghoon berkedip cepat— pipi bermekar merah menyadari bahwa seluruh anak buahnya mendengarnya, mau ditaruh dimana mukanya setelah ini?

Apalagi Heeseung ikut terdiam, mungkin merasa sama malunya dengan Sunghoon. Tetapi karena itu Riki jadi menaikkan alis, jelas bingung akan konteks dari perkataan Jay yang membuat pasangan itu terdiam membisu.

“Ribut ngapain?” Riki benar-benar tidak sadar pertanyaannya begitu polos, hingga membuat Jay, Heeseung, Sunghoon, dan bahkan Sunoo, tertawa lepas. “Hey, hey! Kok malah ketawa, sih?”

Semakin Riki jengkel, semakin pula mereka tertawa. Yang paling muda menoleh ke samping, “Come on, bub. Not you too.” langsung mengerang melihat Sunoo juga masih ketawa.

Sorry, you're just too cute. Terkadang aku lupa kamu masih terlalu muda, hehe.” Sunoo tersenyum lucu, kedua tangan naik untuk menguyal pipi lelakinya bak adonan kue.

Melihat itu, Jay meraung kesal. “Bisa gak kalian,” ia menunjuk Riki dan Sunoo, lalu Heeseung dan Sunghoon, “Lihat-lihat tempat kalau mau bermesraan?”

Sunghoon mendengus, akhirnya berucap untuk pertama kalinya. “Bilang aja lo iri karena gak ada yang punya, Jay.”

Mereka semua kembali tertawa, kecuali Jay, tentu saja. Heeseung membuka belah bibir, ingin berbicara, namun tidak jadi ketika telinga menangkap suara seperti sesuatu dilempar ke arah mereka dari kejauhan.

Butuh beberapa detik untuknya agar sadar dan secepat mungkin berteriak “Menunduk!”, Heeseung refleks melemparkan tubuh ke arah Sunghoon, melindungi lelaki itu yang menatap bingung, “Apa yang—”

Boom!

Perkataan Sunghoon terpotong, suara ledakan menggema begitu kuat di telinga. Sial, siapa yang berani menyerang mereka? Sunghoon menggeram marah. Pikirannya berlari kesana-kemari, mencoba mencari pelaku dari memori.

Hanya ada satu yang patut dicurigai, seseorang yang memberi mereka ide untuk melakukan sebuah pesta. Riki.

Sunghoon tanpa basa-basi melepaskan diri dari Heeseung, mendatangi Riki yang tersungkur dengan tangan berdarah— sedikit susah payah menahan sakit yang menjalar. Kedua tangan menarik lelaki berambut hitam itu dari kerahnya, “You! What the fuck do you think you're doing?!”

Emosi kentara terdengar dari suara, Sunghoon total serius. Paling tidak suka apabila anak buahnya dibunuh dengan cara licik seperti ini.

N-no, I didn't— I didn't do anything, I swear,” Riki bersusah payah menjawab, hampir tidak bisa bernafas. Hanya saja, Sunghoon sama sekali tidak percaya, tambah mengeratkan cengkraman di kerah.

Tangan kiri Sunghoon dipegang lembut, membuatnya menoleh. Itu Sunoo, sama kacaunya dengan Riki— darah mengalir dari pelipisnya. “Itu benar, ka-kami tidak melakukan apapun.. tolong, lepaskan Riki. Kami tidak mungkin melakukan sesuatu yang akan membahayakan gang kami sendiri.”

Mendecih, Sunghoon akhirnya melepaskan cengkraman. Pun mata beredar ke sekitar, mencoba melihat kondisi pesta yang berakhir layak bencana. Sialnya, ledakan kembali terjadi didepan mata. Sunghoon sontak meringkuk— mencoba melindungi diri.

Pendengarannya berdenging, bersamaan dengan penglihatan yang kabur. Tidak dapat mengetahui apa yang Heeseung ucapkan kala lelaki itu menggendongnya secara bridal style, sayup-sayup menebak setelahnya Heeseung memerintahkan semua orang untuk pergi.

“Pergi kemana?! Siapapun yang ngelakuin ini, pasti bakal ngejar kita sampai penghujung dunia!” Jay. Sunghoon tau itu yang berteriak Jay, sepupunya itu terdengar seperti menahan pedih.

Ada suara lagi yang berbicara, kali ini Sunghoon tebak adalah Riki. “He's right. Gak ada tempat yang aman, karena tujuan utama mereka pasti kita— Los Triumvirate.”

No,” Heeseung berucap, “Ada satu tempat yang aman. We'll go there, I'll share the location through GPS. Kita harus secepatnya pergi dari sini sebelum ada baku tembak.”