we’ll talk later, as if later will ever come.
a.n. : ethan and skylar refer to each other as mas / esa — sayang / sena, but the narration will still refer to them as ethan and skylar, as it is how they’re usually called by others.
Tiada sedetik pintu terbuka, kedua tangan Ethan spontan mendekap Skylar yang terisak— “Sayang,” Ucapnya parau, “I’m sorry.”
Mau seberapapun Ethan ucap kalimat permintaan maaf, berasa sudah tidak berguna. Apa yang telah diputuskan bersifat mutlak, Skylar tahu, tidak mungkin akan dibatalkan. Terutama karena telah dibawa ke publik dan langsung dikonfirmasi, bahkan tanpa adanya rumor sama sekali.
Maka tangisnya meracau, tangan memukul dada yang lebih tua untuk menyalurkan apapun yang dilalui hati— sedih, amarah, segala-galanya.
Ethan mematung saja dengan nafas getir menahan tangis melihat cintanya tenggelam dalam lara, hanya tangan yang tidak diam— sekarang bergerak memberhentikan pasangannya yang memukul, lalu mengaitkan jemari keduanya.
“Sena, sayang,” Yang lebih tua masih mencoba memanggil agar dapat berbicara, “Tenang dulu, boleh? Mas mau cerita, mas janji mas gak tau sama sekali tentang ini, mas minta maaf.”
Bagaimana caranya tenang jika disuguhkan realita yang pahit— Skylar tertawa miris dalam benak.
Walau pada akhirnya tetap berikan anggukan lemah, lantas mengubah tangisnya menjadi isakan kecil yang sesekali masih membuncah lebih. Pun dahi disandarkan di bahu, Skylar beri izin pada Ethan untuk berbicara.
Mengetahuinya, Ethan perlahan tuntun tubuh mereka ke arah sofa di ruang tengah— percakapan yang akan mereka lalui pasti berlangsung lama, tidak mungkin kaki tidak pegal apabila tetap berdiri layak orang bodoh depan pintu masuk.
Ethan tarik nafas dalam sesaat setelah duduk, “Listen to me first, okay, baby? You can say anything you want, you can curse me or my father or even Jeandra, tapi biarin mas selesai bicara, ya?”
“Iya...”
Miris, jawaban Skylar sungguh miris. Bagai seseorang yang tidak memiliki jiwa, hampa dan datar. Begitu pula dengan tatapannya, merah dan kosong menatap lelakinya, dan suaranya, serak bercampur dengan tangis tidak henti.
“Okay, remember when I was called by my father?” Ethan bertanya, Skylar lagi-lagi hanya mengangguk, “Ya alasannya karena itu. Pas mas sampai di kantor, udah ada ayah, bareng sama ayahnya Jeandra— anehnya, ada Om Ino juga.”
Dengarnya, Skylar terkejut. “Ada ayahku? Ngapain?”
Benar kata Ethan, aneh ayahnya berada disana, yang mana ia rasa sebenarnya tidak penting— ia tahu para Abraham hanya meminta bantuan kepada para Janggaresa karena bisnisnya tidak selancar yang dikira, sehingga masalahnya pasti hanya berkutat antara perusahaan Janggaresa dan Abraham, bukan dengan perusahaan keluarganya.
Lantas, mengapa Zacharino Anantasena— ayah kesayangannya dan masih pemilik dari perusahaannya— hadir?
“To be honest, I really don’t know, karena ayahmu tadi agak diam. Kayaknya, sih, rencana awalnya bukan.. pernikahan bisnis, atau apapun itu. Mungkin, perusahaanku sama perusahaanmu niatnya mau bantu bareng, karena kita emang kerja sama dari dulu, kan—”
Ethan jeda kalimatnya, menatap nanar kepada Skylar, ibu jari tidak berhenti mengelus punggung tangan yang masih saling menggenggam.
“—but, yeah, it was Jeandra’s father who wanted it, and I didn’t even have a say, because my goddamn father already said yes.”
Akal menolak untuk memproses, Skylar tetap tidak paham. Ia gelengkan kepalanya, “Enggak, gak masuk akal. Ayahku disana cuma diem aja? Gak.. mungkin. Mas tau ayahku tau tentang kita— everything.. everything just doesn’t make sense. Not to mention how your father easily agreed.”
Sungguh, kalau tau akan seperti ini, Skylar akan lebih memilih mengambil resiko dan membiarkan seluruh dunia tau tentang statusnya dengan Ethan sedari umur 17, dan tidak hanya diketahui oleh supir dan pelayan mereka, serta orang tuanya— setidaknya, apabila ayah Ethan mengetahui sedari awal, bisa saja semua ini tidak terjadi.
Tetapi apa gunanya menyesalkan apa yang sudah terlewat, Skylar tahu tidak ada gunanya, begitu pula dengan Ethan yang sekarang menghembuskan nafas, kepala semakin menunduk.
“Mau gak masuk akal gimanapun, ya realitanya begitu,” Ada kepasrahan diantara kata yang diucap dengan suara yang mengecil saat melanjutkan, “But isn’t it obvious that my father is just hungry for money and having another company to the point he sacrificed his son?”
Tawa nyeleneh keluar dari bibir Ethan, merasa muak dengan tingkah laku ayahnya— pada akhirnya semuanya jatuh pada tangannya, dan sejujurnya, kalau bisa memilih, Ethan lebih senang memiliki tangan yang kekurangan daripada kepenuhan.
Dan Skylar paham itu, lebih dari orang lain. Pun ia lepas genggaman tangan untuk menangkup wajah yang lebih tua dan menaikkan wajahnya, “I— I know, I know.. but still—”
Ah. Tidak, tidak, tidak. Skylar tercekat, awal berniat untuk menyemangati kasihnya, malah gagal besar setelah mempertemukan mata dengan mata, karena ia seketika runtuh kembali.
Hilang sudah tenang yang ia jaga, tangisan menggema di ruangan yang dihiasi dentingan jam— Skylar tersadarkan bahwa mau seberapapun ia tolak dan mencoba untuk merasionalkan, mereka sudah berada di penghujung. Tidak ada jalan lain.
Hanya saja, siapa yang bilang ia menginginkan ini? Tidak, Skylar tidak akan mau seumur hidup, tidak akan menerima, jikalau ia harus kehilangan Ethan.
Hal yang sama berlaku pula kepada Ethan, yang lebih tua tidak lagi mencoba untuk menenangkan diri, malah mengikuti Skylar kedalam jurang penuh pilu.
Mereka saling menangkup pipi yang berhias air mata, dahi saling menempel— membagi duka satu sama lain, perlahan Ethan sisipkan perkataan walau terbata, “Sayang, Sena sayang— we’ll talk about this later, we’ll talk—”
Skylar menggeleng, jawabannya jauh dari apa yang Ethan ucap, pikiran keburu mati rasa akibat perih di hati, “Gak.. enggak— I- I don’t wanna lose you, I d-don’t.. I don’t want to,”
“Iya, sayang.. iya. I-I don’t want to lose you too, I can’t lose you— tapi.. udah, ya? Kita bicara nanti kalau.. kalau kita udah tenang, right now we need to take a rest.”
Apa yang diutarakan Ethan tidak ada salahnya, jam sudah menunjukkan waktu dini hari— keduanya memang butuh tidur, terutama dengan emosi yang masih tidak stabil dan tenang untuk dibawa berbicara.
Namun, apabila dipikir secara rasional, berbahaya bagi mereka untuk tidur. Setidaknya, pembicaraan ini harus selesai sekarang— masih banyak yang perlu dipertanyakan, Skylar belum tahu alasan dibalik ketidakhadiran Jeandra, belum tahu apa saja yang disepakati dalam pernikahan bisnis tersebut, belum tahu hampir semuanya.
Sayang sekali sisi rasional keduanya sudah hilang, sekalipun tiada yang menjamin entah akan ada lagi waktu atau tidak untuk berdua.
Skylar pada akhirnya hanya mengangguk lemah sebagai jawaban, membiarkan tubuh diangkat dan dibawa oleh Ethan perlahan ke arah kamar yang sudah sering mereka tempati, tetapi tidak pernah dengan suasana semuram ini.
Keduanya memeluk satu sama lain dalam diam, masih dengan isakan saling mengiringi, dan jauh di dalam lubuk hati Skylar, dirinya berdenyut perih menerima fakta;
Bahwa disaat matahari mulai terbit, disitulah ia akan kehilangan kehangatan yang sekarang melingkupinya—
Disitulah Skylar akan kehilangan Ethan.