fantasia

a.n. : ethan and skylar refer to each other as mas / esa — sayang / sena, but the narration will still refer to them as ethan and skylar, as it is how they’re usually called by others.


Tiada sedetik pintu terbuka, kedua tangan Ethan spontan mendekap Skylar yang terisak— “Sayang,” Ucapnya parau, “I’m sorry.

Mau seberapapun Ethan ucap kalimat permintaan maaf, berasa sudah tidak berguna. Apa yang telah diputuskan bersifat mutlak, Skylar tahu, tidak mungkin akan dibatalkan. Terutama karena telah dibawa ke publik dan langsung dikonfirmasi, bahkan tanpa adanya rumor sama sekali.

Maka tangisnya meracau, tangan memukul dada yang lebih tua untuk menyalurkan apapun yang dilalui hati— sedih, amarah, segala-galanya.

Ethan mematung saja dengan nafas getir menahan tangis melihat cintanya tenggelam dalam lara, hanya tangan yang tidak diam— sekarang bergerak memberhentikan pasangannya yang memukul, lalu mengaitkan jemari keduanya.

“Sena, sayang,” Yang lebih tua masih mencoba memanggil agar dapat berbicara, “Tenang dulu, boleh? Mas mau cerita, mas janji mas gak tau sama sekali tentang ini, mas minta maaf.”

Bagaimana caranya tenang jika disuguhkan realita yang pahit— Skylar tertawa miris dalam benak.

Walau pada akhirnya tetap berikan anggukan lemah, lantas mengubah tangisnya menjadi isakan kecil yang sesekali masih membuncah lebih. Pun dahi disandarkan di bahu, Skylar beri izin pada Ethan untuk berbicara.

Mengetahuinya, Ethan perlahan tuntun tubuh mereka ke arah sofa di ruang tengah— percakapan yang akan mereka lalui pasti berlangsung lama, tidak mungkin kaki tidak pegal apabila tetap berdiri layak orang bodoh depan pintu masuk.

Ethan tarik nafas dalam sesaat setelah duduk, “Listen to me first, okay, baby? You can say anything you want, you can curse me or my father or even Jeandra, tapi biarin mas selesai bicara, ya?”

“Iya...”

Miris, jawaban Skylar sungguh miris. Bagai seseorang yang tidak memiliki jiwa, hampa dan datar. Begitu pula dengan tatapannya, merah dan kosong menatap lelakinya, dan suaranya, serak bercampur dengan tangis tidak henti.

Okay, remember when I was called by my father?” Ethan bertanya, Skylar lagi-lagi hanya mengangguk, “Ya alasannya karena itu. Pas mas sampai di kantor, udah ada ayah, bareng sama ayahnya Jeandra— anehnya, ada Om Ino juga.”

Dengarnya, Skylar terkejut. “Ada ayahku? Ngapain?”

Benar kata Ethan, aneh ayahnya berada disana, yang mana ia rasa sebenarnya tidak penting— ia tahu para Abraham hanya meminta bantuan kepada para Janggaresa karena bisnisnya tidak selancar yang dikira, sehingga masalahnya pasti hanya berkutat antara perusahaan Janggaresa dan Abraham, bukan dengan perusahaan keluarganya.

Lantas, mengapa Zacharino Anantasena— ayah kesayangannya dan masih pemilik dari perusahaannya— hadir?

To be honest, I really don’t know, karena ayahmu tadi agak diam. Kayaknya, sih, rencana awalnya bukan.. pernikahan bisnis, atau apapun itu. Mungkin, perusahaanku sama perusahaanmu niatnya mau bantu bareng, karena kita emang kerja sama dari dulu, kan—”

Ethan jeda kalimatnya, menatap nanar kepada Skylar, ibu jari tidak berhenti mengelus punggung tangan yang masih saling menggenggam.

—but, yeah, it was Jeandra’s father who wanted it, and I didn’t even have a say, because my goddamn father already said yes.”

Akal menolak untuk memproses, Skylar tetap tidak paham. Ia gelengkan kepalanya, “Enggak, gak masuk akal. Ayahku disana cuma diem aja? Gak.. mungkin. Mas tau ayahku tau tentang kita— everything.. everything just doesn’t make sense. Not to mention how your father easily agreed.”

Sungguh, kalau tau akan seperti ini, Skylar akan lebih memilih mengambil resiko dan membiarkan seluruh dunia tau tentang statusnya dengan Ethan sedari umur 17, dan tidak hanya diketahui oleh supir dan pelayan mereka, serta orang tuanya— setidaknya, apabila ayah Ethan mengetahui sedari awal, bisa saja semua ini tidak terjadi.

Tetapi apa gunanya menyesalkan apa yang sudah terlewat, Skylar tahu tidak ada gunanya, begitu pula dengan Ethan yang sekarang menghembuskan nafas, kepala semakin menunduk.

“Mau gak masuk akal gimanapun, ya realitanya begitu,” Ada kepasrahan diantara kata yang diucap dengan suara yang mengecil saat melanjutkan, “But isn’t it obvious that my father is just hungry for money and having another company to the point he sacrificed his son?”

Tawa nyeleneh keluar dari bibir Ethan, merasa muak dengan tingkah laku ayahnya— pada akhirnya semuanya jatuh pada tangannya, dan sejujurnya, kalau bisa memilih, Ethan lebih senang memiliki tangan yang kekurangan daripada kepenuhan.

Dan Skylar paham itu, lebih dari orang lain. Pun ia lepas genggaman tangan untuk menangkup wajah yang lebih tua dan menaikkan wajahnya, “I— I know, I know.. but still—

Ah. Tidak, tidak, tidak. Skylar tercekat, awal berniat untuk menyemangati kasihnya, malah gagal besar setelah mempertemukan mata dengan mata, karena ia seketika runtuh kembali.

Hilang sudah tenang yang ia jaga, tangisan menggema di ruangan yang dihiasi dentingan jam— Skylar tersadarkan bahwa mau seberapapun ia tolak dan mencoba untuk merasionalkan, mereka sudah berada di penghujung. Tidak ada jalan lain.

Hanya saja, siapa yang bilang ia menginginkan ini? Tidak, Skylar tidak akan mau seumur hidup, tidak akan menerima, jikalau ia harus kehilangan Ethan.

Hal yang sama berlaku pula kepada Ethan, yang lebih tua tidak lagi mencoba untuk menenangkan diri, malah mengikuti Skylar kedalam jurang penuh pilu.

Mereka saling menangkup pipi yang berhias air mata, dahi saling menempel— membagi duka satu sama lain, perlahan Ethan sisipkan perkataan walau terbata, “Sayang, Sena sayang— we’ll talk about this later, we’ll talk—”

Skylar menggeleng, jawabannya jauh dari apa yang Ethan ucap, pikiran keburu mati rasa akibat perih di hati, “Gak.. enggak— I- I don’t wanna lose you, I d-don’t.. I don’t want to,”

“Iya, sayang.. iya. I-I don’t want to lose you too, I can’t lose you— tapi.. udah, ya? Kita bicara nanti kalau.. kalau kita udah tenang, right now we need to take a rest.”

Apa yang diutarakan Ethan tidak ada salahnya, jam sudah menunjukkan waktu dini hari— keduanya memang butuh tidur, terutama dengan emosi yang masih tidak stabil dan tenang untuk dibawa berbicara.

Namun, apabila dipikir secara rasional, berbahaya bagi mereka untuk tidur. Setidaknya, pembicaraan ini harus selesai sekarang— masih banyak yang perlu dipertanyakan, Skylar belum tahu alasan dibalik ketidakhadiran Jeandra, belum tahu apa saja yang disepakati dalam pernikahan bisnis tersebut, belum tahu hampir semuanya.

Sayang sekali sisi rasional keduanya sudah hilang, sekalipun tiada yang menjamin entah akan ada lagi waktu atau tidak untuk berdua.

Skylar pada akhirnya hanya mengangguk lemah sebagai jawaban, membiarkan tubuh diangkat dan dibawa oleh Ethan perlahan ke arah kamar yang sudah sering mereka tempati, tetapi tidak pernah dengan suasana semuram ini.

Keduanya memeluk satu sama lain dalam diam, masih dengan isakan saling mengiringi, dan jauh di dalam lubuk hati Skylar, dirinya berdenyut perih menerima fakta;

Bahwa disaat matahari mulai terbit, disitulah ia akan kehilangan kehangatan yang sekarang melingkupinya—

Disitulah Skylar akan kehilangan Ethan.

cw // slight nsfw, making out, blood drinking


Kosong. Pikiran Sunghoon telak kosong. Nafas hangat menerpa leher cukup membuat sekujur tubuh merinding, menggeliat kecil dalam kungkungan Heeseung.

Tangan sia-sia mencoba mendorong yang lebih tua menjauh, hanya untuk berakhir melingkar sempurna pada leher. Sebuah kecupan halus di perpotongan leher kemudian sanggup meloloskan kupu-kupu dalam diri Sunghoon— suatu rasa aneh yang menjadi awal memasrahkan kendali tubuh seluruhnya kepada Heeseung.

Mmmh—” Bibir Sunghoon mulai terbuka sedikit demi sedikit disaat Heeseung semakin berani mengecupi lehernya, terlebih tangan mulai merambat ke pinggang— tak hanya untuk memegang, tetapi juga untuk menjaga.

Begitu Heeseung menjauh sedikit, mata tanpa sadar tambah berkabut kala disapa oleh visual wajah Sunghoon yang telah sayu. Cantik, begitu cantik. Heeseung tidak tahan untuk tidak kembali memajukan wajah, namun berhenti tepat kala hidung telah bertemu.

Nafas Sunghoon sedikit tersendat menatap mata Heeseung yang berubah lembut dalam jarak sebegitu dekat, “Can I?” Yang lebih tua meminta izin, suara tidak kalah lembut dengan sorot matanya.

Hilang sudah kemampuan Sunghoon untuk berbicara. Pun anggukan pelan adalah satu-satunya yang bisa dilakukan sebagai tanda hijau bagi Heeseung untuk melanjutkan apapun yang dimau.

Tiada sedetik setelah Sunghoon mengizinkan, bibir langsung bertemu bibir. Berawal begitu lembut, terlihat inosen bak hanya menempelkan saja. Namun hanya bertahan hingga taring Heeseung meraup bibir Sunghoon, menghasilkan pekikan serta darah mengalir begitu saja dari yang lebih muda.

Heeseung langsung menghisap habis, tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk merasa. Sesaat setelah lidah mengecap rasa darah, pangutan keduanya sontak diputuskan paksa.

Tanpa sadar Sunghoon merengek, tangan mendorong Heeseung mendekat— meminta untuk dicium lagi. Melihatnya, Heeseung terkekeh. “Greedy, aren’t you?

Ibu jari Heeseung mengusap bibir bawah Sunghoon yang membengkak, lalu mengecupnya sekilas, sebelum akhirnya melesakkan kepalanya kembali ke leher. Kali ini bukan mengecup— lidahnya yang menjulur keluar, menjilat pelan seakan ingin merasa.

Hnn— hngh!” Sunghoon memekik kaget kala Heeseung mendadak menggigit lehernya, walau tidak begitu kuat untuk menembus kulit. Tangannya yang semula melingkar di leher sekarang secara tidak sadar mencengkram bahu.

Sang vampir generasi tua kembali menggigit, lebih kuat dari sebelumnya. Dalam sepersekian detik, kepala Sunghoon pening, telinga berdenging bersamaan dengan bibir meloloskan teriakan akibat rasa sakit yang menusuk.

Darah. Ada harum khas darah mengitari keduanya, dan Sunghoon tau jelas itu adalah darahnya. Heeseung sedang meminum darahnya. Diri mencoba sekuat tenaga untuk menghentikan, tetapi tubuh berkhianat lantaran semakin melemas.

Beruntung Heeseung akhirnya melepaskan, kala Sunghoon berhasil menariknya menjau dengan tangan gemetaran begitu hebat. Yang lebih muda mengira telah selesai, jika saja yang lebih tua tidak langsung menenggelamkan kedua taringnya lagi.

Heeseung menggila. Lelaki itu berawal hanya berniat untuk mencoba, berakhir menjadi suatu adiksi yang mana diri sendiri hilang kendali atas itu.

Manis, terlalu manis.

Heeseung tidak bisa berhenti, sekalipun Sunghoon kembali menarik kencang helaian rambut untuk mencoba menjauhkan, sekalipun Sunghoon mulai melemas dalam kungkungan—

Darah Sunghoon terlampau memabukkan, hingga melupa fakta yang lebih muda bukanlah manusia, melainkan vampir seperti dirinya.

Dan Heeseung baru menyadarinya kala tangan Sunghoon tidak lagi menjambak rambut, beralih menggantung lemas begitu saja di kedua sisi tubuhnya.

Sunghoon tidak sadarkan diri— terlalu banyak darah yang terhisap.

Ketukan di pintu walau tidak repetitif tetap terdengar menyebalkan bagi Sunghoon, terlihat dari bagaimana ia membuka pintu dengan wajah tertekuk— hampir mengamuk, jika saja bukan wajah asing berbalut pakaian serba hitam dengan renda bak pelayan yang nampak setelahnya.

“M-maaf menganggumu, tuan. Tuan Heeseung meminta kehadiran anda di ruang perpustakaan.” Pelayan itu menunduk hormat, lalu menaikkan satu tangannya kearah kanan sebagai penunjuk arah, “Mari, tuan. Akan saya tunjukkan jalannya.”

Sunghoon mengernyit bingung, untuk apa Heeseung memanggilnya secepat ini? Bahkan belum ada sejam berada dalam kamar. Dan juga, arah yang ditunjukkan sang pelayan berbalik arah dengan perpustakaan yang ada didekat kamarnya.

Maka Sunghoon tanyakan kala mereka telah mendekati aula utama untuk melintas ke gedung kastil kedua, “Bukankah ruangan yang berada dekat kamar itu ruang perpustakaan?”

“Benar, tuan. Tetapi itu adalah ruang perpustakaan pribadi milik tuan, sedangkan Tuan Heeseung meminta anda di ruang perpustakaan pribadinya.”

Ah, begitu ternyata. Sunghoon mengangguk paham, membiarkan kesunyian menyelimuti keduanya. Lagi-lagi ia gunakan untuk melihat sekitar gedung kastil kedua yang anehnya jauh berbeda dengan gedung tempat kamarnya berada;

Dinding tak lagi terbuat dari batu biasa melainkan marmer hitam berselir abu, beberapa lampu gantung dipenuhi emas menghiasi korridor untuk menggantikan obor sebagai sumber pencahayaan, karpet abu dengan sentuhan bordir emas melapisi jalan— gedung kastil ini jauh lebih mewah dari sebelumnya.

Sunghoon tarik kesimpulan bahwa kemungkinan ini ialah kastil pribadi Heeseung, terlihat dari kosongnya pelayan dan perabotan selama ia berjalan. Terkesan sangat tertutup namun tetap terlihat layak rumah seorang count pada umumnya.

Setelah hampir 5 menit, sang pelayan akhirnya berhenti didepan sebuah pintu hitam tanpa ada satupun dekorasi tepat ditengah-tengah antara dua pintu lain yang tidak diketahui. “Silahkan masuk, tuan. Tuan Heeseung telah menunggu didalam.”

Belum sempat Sunghoon berkata, pelayan itu sudah terlebih dahulu menunduk hormat— meninggalkan Sunghoon sendiri untuk menghadapi Heeseung.

Satu tarikan nafas dalam mengawali langkah Sunghoon sebelum membuka pintu. Hal pertama menyapa pandangan adalah rak-rak buku tua menjulang tinggi mengelilingi sebuah meja panjang dan dua sofa beludru merah pada kedua ujungnya, dengan lampu gantung yang sepenuhnya tertutupi berlian tepat ditengah.

Di salah satu sofa tersebut, duduklah sosok Heeseung— memegang sebuah buku yang terlalu tua hingga cover-nya bahkan tak lagi dapat dibaca. Mau seberapa besar Sunghoon menolak, hati akui Heeseung terlihat jauh lebih tampan berlipat-lipat seperti itu.

Pun Sunghoon tersadar setelah beberapa detik bahwa diri pasti tampak layak orang bodoh berdiri tanpa tujuan. Tetapi ia juga benar-benar tidak tau mau bagaimana, terlebih lagi Heeseung seakan tidak sadar akan kehadirannya.

Dehaman dikeluarkan untuk menarik perhatian, berakhir menguap begitu saja diantara keduanya. Heeseung sama sekali tidak bergugat. Kesal, Sunghoon paham jelas Heeseung pasti mendengar dan merasakan kehadirannya.

Maka Sunghoon langsung duduk di sofa ujung seberang Heeseung, memainkan handphone sambil menyumpah serapahi lelaki itu dalam batin. Persetan apabila tidak seharusnya duduk— pedulinya telah hangus termakan bara emosi.

Dasar brengsek! Buat apa kesini kalau cuma disuruh lihat dia baca buku doang?! Mending gue balik ke kamar.’ Batin Sunghoon berteriak marah, sampai tidak menyadari Heeseung telah menutup buku dan berjalan kearahnya.

Masih saja asik memisuh, yang mana sedetik kemudian handphone-nya menghilang dari genggaman, lalu—

Krak.

Handphone yang awalnya berada di tangan, sekarang hancur menyedihkan— jatuh berkeping disebelah kaki yang lebih tua. Semudah itu Heeseung menghancurkan barang yang sangat amat Sunghoon butuhkan.

Next time, think twice before cursing me inside your mind and this little device of yours,” Suara Heeseung terdengar lebih dalam dari biasanya, seperti menahan emosi. “Seharusnya kamu sadar saya sedang membaca, apa tidak bisa menunggu sebentar?”

Namun Sunghoon sudah kepalang termakan amarah dengan tubuh spontan berdiri, sama sekali tidak mempedulikan fakta Heeseung baru saja membaca pikirannya, “You piece of shit! That fucking phone costs me a lot!

Kalimat diteriakkan langsung tepat didepan wajah, membuat Heeseung mendecih. Tangan yang tadi digunakan untuk menghancurkan dibawa naik, kemudian dijentikkan— hal yang selanjutnya terjadi tak bisa diterima akal sehat Sunghoon. Handphone-nya. Kembali utuh, di tangan Heeseung.

Mata Sunghoon berkedip cepat. Tidak percaya apa yang baru saja dilihat. “Ba-bagaimana—? Bagaimana bisa…?”

“Memangnya kamu tidak bisa? Kan semua vampir mempunyai kemampuan sihirnya masing-masing,” Ada niatan mengejek dibalik pertanyaan Heeseung, “Ah, ya. Saya lupa. Kamu kan vampir jadi-jadian, kamu saja tidak menyadari vampir seperti saya bisa membaca pikiran.”

“Gue bukan vampir jadi-jadian, sialan!”

Bukannya takut mendengar Sunghoon tambah meninggikan suaranya dan pipinya yang berubah merah padam, Heeseung malah tertawa lepas. “Kalau memang begitu faktanya, kenapa saya bisa cium darah mengalir di tubuh kamu?”

Heeseung menundukkan kepala, menyatukan dahi keduanya yang membuat Sunghoon sontak mengambil langkah mundur— berniat menjauhi namun gagal akibat tubuh yang malah kembali terduduk di sofa dengan kedua tangan Heeseung mengukung sisi-sisinya.

Yang lebih tua memiringkan kepala sedikit, melesakkan hidung di leher Sunghoon sebelum berbisik tepat di telinga—

You smell delicious, my dear mate. Mind if I feast?

Tak.

Buku tua berlembar kuning tanpa disadari ditutup oleh jemari, kala sang pemilik menyadari ada harum manis asing perlahan mengisi celah udara. Pun satu tarikan nafas dalam membuatnya tersadar bahwa harum tersebut tidaklah asing, bak darah manusia segar pada umumnya.

Tetapi mustahil apabila ada manusia selamat sampai teritorinya. Sangat amat mustahil.

Hampir saja mengira penciumannya salah, hingga akhirnya teringat bahwa diri adalah salah satu vampir dengan penciuman yang lebih tajam. Pikiran kembali bertanya-tanya harum milik siapa sebenarnya, dan sesaat mata tertuju ke jendela bersamaan dengan pelayan memasuki ruang pribadinya—

“Tuan Heeseung, mate anda telah datang.”

Heeseung tersadar pemilik sebenarnya dari harum manis itu.


Gemetar, seluruh tubuh Sunghoon gemetaran tak berhenti.

Rasa takut menyesap tanpa peringatan begitu dipaksa menahan kontak mata dengan ‘mate’-nya— mungkin terbilang aneh untuk merasa ketakutan pada belahan jiwanya, namun Sunghoon terlampau hilang atas emosi.

Kekehan mengalun keluar belah bibir menyeret Sunghoon dari ketakutannya, “Kenapa? Are you scared of me?” Jarak diantara keduanya dikikis tepat setelah vampir yang lebih tua selesai berbicara, hidung saling bertemu dengan nafas beradu dekat.

Tidak dapat berkutik, relung terasa sesak seperti menahan sesuatu membuncah dari dalam, Sunghoon hanya bisa terdiam. Tak menyadari satu tangan telah bersinggah nyaman di perpotongan leher yang lebih tua—

Seakan meminta agar tidak ada jarak sama sekali diantara keduanya.

Ada kekehan kembali mengalun, hidung entah sengaja atau tidak saling bergesek satu sama lain, sebelum bergerak menjauh seraya jemari mengelus pelan leher belakang Sunghoon— “Ayo, kita akan berkeliling kastil.”

Sang vampir tua tak menunggu, langsung berbalik badan dengan tungkai berjalan meninggalkan yang lebih muda begitu saja— seakan-akan yang tadi dilakukan tidak berefek sebegitu hebat pada Sunghoon.

Sial, tidak seharusnya begini. Tidak, tidak, tidak. Sunghoon tidak suka, rasanya seakan raga membara meminta perhatian lebih disaat akal mengira telah membenci sedari awal mengetahui akan dijodohkan.

Bahkan sekedar nama saja masih asing, lantas mengapa Sunghoon sekarang bak diperintah mutlak— kaki mengikuti langkah lelaki didepannya, sepenuhnya tunduk dalam diam.

“Heeseung.”

Sunghoon berkedip cepat, total bingung mengapa tiba-tiba pasangannya berkata sebuah nama secara mendadak saat mereka berada di aula utama, sehingga ia refleks berdeham meminta penjelasan.

“Itu nama saya,” Ada jeda sedikit sebelum perkataan dilanjutkan, “What’s yours?” Heeseung— lelaki itu— menoleh sedikit, menatap Sunghoon dengan satu alis terangkat.

“Sung— Sunghoon.” Meringis, Sunghoon meringis dalam batin. Entah mengapa mendadak menjadi gagap, walau kemungkinan gugup karena ditatap oleh Heeseung.

Pun anggukan jadi jawaban, tak ada lagi suara menyahut kemudian. Sunghoon menggunakan kesunyian sebagai keberanian untuk benar-benar memperhatikan detil sekitarnya;

Dinding terbuat dari batu diiringi hiasan emas dipadu kain hitam, berlian-berlian kecil tergantung diatas seperti membentuk jembatan, serta obor pada beberapa sisi untuk penerangan minim— semua tampak luar biasa indah, seakan hidup dalam dunia dongeng.

Sunghoon sampai tidak sadar bahwa Heeseung telah berhenti, jika saja lelaki itu tidak berdeham pelan. “Ini kamarmu. Do you want to have a time alone first or do you want to continue?”

Pintu kamarnya terlihat begitu mewah, ada sentuhan marmer abu dan emas yang sama seperti pada dinding. Terlebih lagi, terletak diujung korridor menuju ruangan yang ia tebak sebagai perpustakaan— setidaknya ada hiburan terdekat baginya apabila benar tidak ada sinyal.

Tentu saja sudah ketahuan apa yang Sunghoon pilih. Maka dari itu sekarang ia menghela nafas lega dan tubuhnya secara spontan rileks diatas kasur, bak seseorang yang baru saja terlepas dari beban.

Belum sampai sehari berada dalam kastil saja sudah cukup membuat Sunghoon kewalahan, ditambah lagi dengan rasa aneh yang perlahan bermekar akibat Heeseung—

Sunghoon tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya.

Sebesar apapun Sunghoon kata menyeramkan, tak bisa dipungkiri seluruh raga berteriak senang.

Mau bagaimanapun ia seorang vampir, terlepas dari generasi, berlari diantara pepohonan berasa bernafas udara bersih setelah sekian lama.

Rindu, rindu, rindu. Sudah berapa lama tidak hunting? Keluarganya terlalu bergantung pada kotak-kotak darah yang dijual di supermarket khusus vampir, sehingga memburu hewan menjadi suatu kelangkaan.

Rasanya berbeda, darah dibungkus di kotak dengan darah segar mengalir ke tenggorokan. Kalau saja Sunghoon tidak ingat tujuan awal memasuki hutan ini, mungkin tungkai sudah berlarian kesana kemari— mencoba mencari mangsa untuk diteguk.

Ah, tidak apa-apa tidak hunting sekarang, toh tak ada lagi batas waktu untuknya, bagi ia sekarang ini adalah rumah.

Begitu pula dengan kastil megah yang sekarang berada tepat didepannya. Rumah. Sunghoon teguk pelan saliva yang seakan menggumpal— gila, gila, gila.

Bangunan kastil seperti berjalan keluar dari buku fantasi, Sunghoon tak bisa tak mengerjap kagum, memperhatikan aksen medieval bercampur modern minimalism menghiasi setiap petaknya.

Kalau ada kata diatas ‘megah’, maka jelas akan Sunghoon pakai untuk deskripsikan. Dua tower menjulang tinggi menjadi batas-batas tiga bangunan utama, satu gubuk (yang tidak terlihat seperti gubuk) untuk belasan kuda— sejauh itu saja yang ditangkap mata. Ditebak mungkin ada satu bangunan lagi terletak dibelakang, dimana tak terjangkau pandangan.

Sunghoon masih tertangkap pesona kastil, sampai tak sadar akan adanya vampir berambut merah berjalan disampingnya walau indera pendengaran telah tangkap suara bising kaki sejak awal vampir itu datang;

Dan ketika vampir itu berbisik di telinga, membuat sekujur tubuh Sunghoon merinding, barulah ia sadar— itu lelaki yang dijodohkan dengannya.

“Ah. Sudah datang ternyata. Welcome to my castle— or should I say, our castle, my pretty mate?”

Ah, rasanya sedih.

Sunghoon bisa rasa abu merata dalam relung, mata mengerjap beberapa kali sebagai penahan agar tangis tak tumpah.

Apartment yang awalnya begitu ramai, sekarang hampa— terasa luas saat kaki menjelajah untuk terakhir kalinya.

Jujur saja, Sunghoon tidak siap. Sama sekali tidak siap. Mari bicara fakta, memangnya ada yang langsung siap siaga mengetahui bahwa seluruh hidup akan berubah hanya dalam hitungan jam? Tentu saja tidak ada.

Apalagi Sunghoon tidak tau bagaimana gaya hidup vampir generasi lama yang sebenarnya. Sungguhan, Sunghoon sering mendengar kisah-kisah dan rumor-rumor beredar tentang mereka— kebanyakan membuat perut berdentum mual akan jijik bercampur takut.

Satu-satunya hal yang membuatnya sedikit tidak masalah menerima semuanya ialah akibat orang yang dijodohkan dengannya luar biasa tampan. Sunghoon bukan sosok pemandang fisik, tetapi setidaknya, ia tidak menjadi mate seseorang yang mata tak akan suka memandang.

Suara deritan kayu terinjak oleh beberapa pasang kaki menjadi penyebab Sunghoon keluar dari kereta pikiran, seketika melirik sekilas kearah belakang— dua lelaki rambut ungu dan coklat terlampau familiar masuk ke dalam pandangan, pun Sunghoon kembalikan atensi ke apapun yang ia perhatikan sebelumnya.

“Ooh, durhaka memang. Gak mau lihat orang tua padahal bentar lagi pisah.” Itu suara ayahnya— Sunghoon lebih terbiasa memanggil dengan sebutan Bapak— yang terdengar monoton, sehingga ada hawa menyeramkan terselip diantara kata-katanya.

Sunghoon menghela nafas, kemudian memutar badannya kebelakang— sepenuhnya menghadap orang tua-nya, dan apabila Sunghoon lihat mata bengkak milik sang papa, ia memilih untuk diam.

“Gimana? Udah selesai packing?” Lagi-lagi ayahnya berbicara, lelaki berambut ungu itu kini berjalan mengitari apartment, melihati setiap inci seakan ingin memeriksa.

Anggukan awali jawaban, “Daritadi udah selesai.” Sunghoon tidak tatap sang ayah walau suara menyahut dalam pembicaraan, malah terfokus pada lelaki berambut coklat yang berada didepannya— papanya, Sunghoon tidak terbiasa melihatnya tenggelam dalam sunyi sambil tatapi dirinya dengan tatapan penuh pedih.

“Pa?” Sunghoon memanggil, mengambil inutuitif untuk melangkah maju serta perlahan memeluk sang papa, tidak peduli ayahnya menatap seperti melarang.

Tepat setelah tubuh saling memeluk, gelembung emosi pecah tak karuan. Papanya menangis, “Maaf belum bisa jadi yang terbaik buat kamu.” adalah kalimat yang tersampaikan walau tersendat isakan.

“E-enggak.. jangan minta maaf.. malahan Sunghoon yang harusnya minta maaf,” Tanpa disadari ikut menangis, “Maaf selalu nyusahin kalian, maaf Sunghoon bukan anak yang baik.”

Sesak. Tambah sesak ketika merasa ada hangat bertambah— sang ayah ikut memeluk. Sunghoon tak mau berpisah seperti ini, sejujurnya ingin berpisah secara senyum, namun jauh didalam lubuk hati sudah ketahui hal tersebut mustahil. Perpisahan selalu dihiasi tangisan, entah terpendam atau dibiarkan mengalir.

Mereka tetap seperti itu dalam jangka waktu yang lama, dan ketika selesai, Sunghoon sampai harus meminum satu kotak darah seekor rusa— terlalu banyak menangis membuat tubuhnya sedikit lemah.

Tetapi sekarang atmosfer diantara keluarga kecil itu tak lagi tegang, sudah mulai kembali ke biasanya. Candaan sesekali dilempar kesana-kemari, walau pada akhirnya kembali muram karena kedua orang yang Sunghoon nantikan akhirnya datang.

Disanalah Jay dan Jake, berdiri dengan wajah aneh tak tau mau berekspresi sesuai hati atau memasang topeng penuh kebohongan manis. Terlepas dari itu, mereka tetap meruntuhkan Sunghoon sekali lagi. Walau tak sampai menangis meraung-raung, kalimat perpisahan terucap dari masing-masing belah bibir cukup menuai beberapa tetes air mata.

Ada kesunyian melanda saat seluruh vampir di ruangan menyadari sudah waktunya bagi Sunghoon untuk pergi— sang ayah tepuk pelan bahu anak lelakinya, “Udah tau kastilnya yang mana, kan?”

Iya, udah tau. Tapi tetap saja mengerikan, pak. Tau gitu gue gak setuju kalau harus pergi sendiri. Sunghoon meringis dalam pikiran. Ia baru tau kalau ia akan pergi dengan kakinya sendiri, tanpa siapapun menemani.

“Ini, minum lagi,” Ada sekotak darah— entah hewan apa, sepertinya rusa lagi— disodorkan ke tangan oleh Jay, “Kayaknya lo perlu. Siapa tau memakan lebih banyak tenaga, terutama lo lama gak hunting.”

Dari ujung mata, terlihat papanya mengangguk setuju, ikut menyodorkan beberapa kotak darah. Sunghoon secara halus menolak, merasa satu kotak jauh lebih cukup— masih terlampau kenyang.

Perhatiannya pun beralih kearah jam besar disamping Jake, penasaran berapa waktu yang tersisa sebelum jam 1 malam.

Sisa 5 menit. “Oke,” Sunghoon tarik nafas, kemudian dibuang perlahan, “I think it’s time for me to go.”

cw // kissing, dirty talk, implied sexual content.


Sunghoon mengernyit bingung. Ada Chevrolet Corvette Stingray berwarna merah parkir disebelahnya— sudah pasti lawannya, tetapi masalahnya, lawannya itu tidak keluar dari mobil.

Apa-apaan? Tidak sopan. Setidaknya menyapa, atau menurunkan kaca jendela. Sunghoon mendengus, pada akhirnya langsung masuk ke dalam mobil begitu lampu jalan berubah merah.

Ah, ia jadi teringat akan balapannya di malam hari itu, melawan Riki, Sunoo dan, tentu saja, lelaki yang masih begitu melekat di hati— Heeseung. Sunghoon masih bisa gambarkan dengan jelas senyum Heeseung saat mereka menang, masih bisa rasakan hantu dari jemari lelaki itu menari-nari di pinggang.

Sepertinya terlalu tenggelam dalam memori, Sunghoon terkejut saat lihat lampu berubah hijau, buru-buru menginjak pedal gas guna mengejar mobil disampingnya.

Baru saja mulai balapan, Sunghoon sudah membanting stir kesana-kemari— hampir menabrak akibat ramainya orang berlalu lalang. Inilah mengapa Sunghoon bertanya ulang, memastikan bahwa memang benar 'Ace' menginginkannya balapan di Highway Street yang terkenal akan keramaian. Tak peduli mau jam berapa, pasti selalu padat.

Sial, sial, sial. Sunghoon mengumpat. Pantas saja bayarannya mahal, lawannya adalah seorang pembalap handal, jauh lebih handal dari dirinya. Sunghoon hanya bisa menutup celah diantara mereka, selebihnya tidak bisa.

Kalau begini, bahkan gas nitro tidak akan bisa membantu.

Dan benar, Sunghoon telak kalah. Mengais nafas gemetar, paksa diri terima realita akan kehilangan uang serta melakukan entah apa yang lawannya itu mau.

Sunghoon parkir sembarangan, diujung jalan. Ia keluar dengan raut tidak enak, kepala menunduk tidak ingin melihat lawannya yang juga ikut keluar— entah mengapa, rasanya seakan Sunghoon bisa mencakar wajah apabila tau wujud dari musuh.

I lost,” Sunghoon berkata penuh kecewa, “So just tell me what do you want me to do.” Selesai berucap, masih menunduk. Hanya lihat sepasang sepatu berwarna hitam serta celana jeans robek didepannya.

I want you to come back home with me, little prince.”

Deg. Suara itu. Tidak mungkin. Sunghoon menahan nafas, merasa jantung berdentum begitu pedih melawan relung yang mencoba menahan agar tidak keluar. Tidak berani, benar-benar tidak berani menaikkan kepala.

Sunghoon takut. Bagaimana jika ia hanya berhalusinasi? Bagaimana jika sebenarnya sekarang hanya sebuah prank oleh entah siapapun yang membencinya? Bagaimana jika—

Pikiran terputus kala sebuah tangan secara halus menaikkan dagu, Sunghoon tercekat, mata bertemu mata. Heeseung, lelaki itu ada didepannya, menatapnya penuh cinta, persis sama seperti sebelumnya.

“Pulang, ya? Gue butuh lo, Sunghoon, ayo pulang,” Dahi kembali bersatu, Sunghoon terisak atas rindu menyebar menyakitkan, “Gue minta maaf, dua tahun lalu gue diam aja pas lo pergi, karena gue gak tau mau gimana.”

Tangan Heeseung elus perlahan pipi Sunghoon yang basah akibat tangisan, “Gue butuh waktu untuk berdamai dengan diri gue sendiri, dan setelahnya gue sadar, mau gimanapun, gue gak bisa hidup tanpa lo. Makanya gue pura-pura jadi Ace, dan ngajak lo balapan.”

Dugaan Sunghoon benar. Ace memang lelakinya, yang begitu dirindukan hingga semuanya sesak, mana peduli lagi terhadap dunia yang seakan berhenti disekitar mereka.

I-I thought you hate me,” Suara Sunghoon kecil, ia biarkan seluruh perasaan yang dipendam keluar, “I thought.. I thought you don't want me anymore.”

Heeseung menggeleng, memajukan wajahnya lebih dekat hingga hidung mereka ikut bersentuhan. “I'll never hate you. Hell, I'm too in love with you that I couldn't even bear with the thought of me hating you.”

Mendengar Heeseung berucap cinta setelah sekian lama membuat Sunghoon tertawa kecil, bahagia membeludak didalam hati.

Tetapi tetap saja, apa yang telah dilakukan, Sunghoon tidak berhak berjalan bersama Heeseung lagi. Oleh karenanya, Sunghoon mencoba menarik badan menjauh, berakhir sia-sia karena Heeseung mencengkram pinggangnya. Tidak memperbolehkan diri kemanapun.

“Gue gak bisa, Heeseung, le-lepas, gue gak bisa dimaafin gini aja,” Sunghoon memohon, menjauhkan wajah sejauh mungkin kala tangan Heeseung mencoba menyentuh— pedih membakar hati menjauhi sentuhan lelaki yang dicintai, namun mau bagaimana lagi? Sunghoon terlalu jatuh dalam penyesalan.

Heeseung berakhir menahan kuat dagu Sunghoon, memaksa agar saling menatap, dan Sunghoon melihat cinta bercampur rindu didalam orbit hitam lelaki itu— tidak ada yang lain.

“Gue udah maafin lo, Sunghoon. So please, come back. Please. I need you, not just me, Jay and Wonyoung needs you, Casa Segura needs you. We all need you.”

Mendengar Heeseung memohon cukup meruntuhkan dinding perlawanan yang sedari tadi Sunghoon susah payah pertahankan. Ia mengangguk penuh kalut, tambah menangis menyadari bahwa ia akan kembali bersama Heeseung.

Tawa lepas dari belah bibir ketika badan diangkat, Heeseung membawanya ke dalam mobil, tidak menaruhnya di kursi penumpang melainkan di pangkuan. Badan Sunghoon berubah menyamping, kaki menjulur hingga kursi yang seharusnya ia duduki.

Bibir dihantam bibir tak lama kemudian. Sunghoon remat helaian rambut Heeseung, geligi bergerak berantakan satu sama lain. Ingin, ingin, ingin. Sunghoon terlampau ingin, terlalu lama tidak merasa candu akan didominasi Heeseung.

Kala bibir berpisah dengan untaian saliva berhambur tak karuan, Heeseung terkekeh. “By the way, you never got the chance to ride me,” Kilat mata yang lebih tua berhias nafsu, yang mana Sunghoon langsung memajukan bibir ke telinga untuk berbisik,

Then take me home immediately, and I'll ride you until I couldn't feel my legs, Master.”

Tidak, tidak, tidak.

Sunghoon tidak bisa bernafas, relung bak dililit ratusan duri, jantung berdegup tak karuan akibat rasa takut. Mata kabur lihati Heeseung, tangan berusaha gapai lelakinya— sakit, terlalu sakit. Heeseung tidak berlaku apapun, bahkan tatapan tidak lagi memegang kehangatan yang biasa dipancarkan kala melihat dirinya.

“Heeseung.. ma-maaf, Heeseung, tolong,” Sunghoon menggeleng kesana-kemari akan panik, air mata tidak berhenti mengalir, “Maafin gue.. gu-gue gak tau apa-apa, gue lakuin itu biar g-gue bisa hidup, gue gak tau, ma-maaf.”

Tangisan tambah merobek hati saat Heeseung masih tidak berucap apa-apa, berdiri layak patung tanpa emosi, sama sekali tidak melihat Sunghoon. Dingin, Heeseung dingin, tangan Sunghoon membeku ketika mencoba menggenggam.

I-I lo-love you, Heeseung, p-please, I love you more than anything.. I'm so-sorry, I'm sorry, I'm sorry, don't.. I don't wanna l-lose you, please, sorry.”

Mengoceh tak karuan, Sunghoon hanya bisa mengulang pernyataan 'maaf' berulang kali, walau diri sudah tau perbuatan tidak bisa dimaafkan.

Sunghoon bahkan tidak mau memikirkan betapa terluka Heeseung sekarang— bayangkan saja, orang yang paling disayangi ternyata adalah pembunuh orang tua yang telah dicari sejak dahulu.

Tetapi keduanya sama-sama terluka akan kenyataan. Heeseung ingin berakting seakan bukan Sunghoon pelakunya, dan Sunghoon ingin bebas dari lautan penyesalan.

Pada akhirnya, Sunghoon mengetahui, ini saatnya diri lepaskan Heeseung. Sedari awal, hubungan keduanya hampir mustahil bisa bertahan lama— sekarang sudah lebih dari mustahil Heeseung akan melihatnya dengan rasa cinta sebesar dulu, sebaliknya lelaki itu akan melihatnya penuh benci.

Perlahan kedua tangan Sunghoon tangkup pipi Heeseung, dahi menyatu penuh perih— gumaman keluar bersamaan isakan, “I'm sorry.” Sunghoon pun melepas. Berjalan menjauh, tidak mempedulikan teriakan dari Jay, Jake, dan Riki yang sedari tadi hanya diam memperhatikan.

Beruntung ada mobil menganggur diujung jalan, Sunghoon pecahkan kaca secara paksa, merenggut mobil itu dari pemilik aslinya. Mata sempat tangkap Heeseung— masih saja berdiri tanpa mau melirik kearahnya sedikitpun— sebisa mungkin menanam lelaki itu di memori sebagai obat akan luka menganga di hati.

Dan kala suara mobil pergi menjauh, Sunghoon tau ini adalah terakhir kalinya melihat Heeseung, sehingga setir tanpa sadar mengarah ke jembatan Enorme yang merupakan jalan ke Chesterpolis,

Sunghoon mencoba kembali ke kehidupan palsunya, menyedihkannya berharap bisa lupakan Heeseung dengan cara itu.

And this is about Ice, a persona Sunghoon so desperately want to bury under thousands of regret.

Hidup Sunghoon bisa dibilang memuakkan. Terlahir sebagai anak satu-satunya dari ketua gang menjadi indikasi bahwa ia tidak akan pernah hidup tenang, selalu dilingkupi gelapnya bayangan dunia malam.

Mungkin karena itu, Sunghoon jadi mengambil keputusan yang pada saat itu dirasa sebagai jalan keluarnya, namun di kemudian hari disesalkan begitu dalam. Ia masih muda, pikiran tidak bisa berpikir panjang saat menghadap Mina untuk mengutarakan keinginannya.

“Ibu, Sunghoon mau pergi. Mau ke Chesterpolis, gak mau disini lagi.” Diucapkan begitu mudah, seakan Sunghoon telah berlatih berkata didepan cermin berulang kali.

Mina menatapnya datar, tetapi Sunghoon tau, ibunya sedang mencari keraguan dalam dirinya yang Sunghoon yakin tak akan ditemukan barang sedikitpun. Keputusan sudah bulat, ia akan pergi, dengan persetujuan atau tidak.

Helaan nafas sang ibunda keluarkan, “Kalau itu keinginanmu, nak, silahkan. Ibu tidak larang. Tapi Ibu mau kamu janji dulu.”

Sunghoon berkedip cepat, “Janji apa, ibu?”

“Kalau pada saat Ibu tiada kamu masih berada di Chesterpolis, tolong pulang dan jaga Casa Segura untuk Ibu. Berjanjilah pada ibu, Sunghoon.”

Tenggorokan Sunghoon bak dililit duri, namun tak ada pilihan lain. Maka dengan janji mengecap di relung, Sunghoon pergi, tinggalkan rumahnya sebatang kara.

Saat kaki pertama diinjakkan di Chesterpolis, Sunghoon mengerjap kagum. Mata berkelip melihat betapa megahnya gedung-gedung, jalanan dipenuhi mobil berharga milliaran, pejalanan kaki berbalut jas dan pakaian mewah lainnya yang menandakan betapa makmurnya hidup orang-orang disini.

Sunghoon kira hidupnya akan begitu juga setelah menetap, tetapi ia salah besar. Tak terhitung berapa kali mengubah pekerjaan akibat dipecat sana-sini, hampir tidak ada pendapatan sama sekali. Untuk makan saja Sunghoon sampai kesusahan.

Semakin lama, semakin terpuruk. Sunghoon tidak tau mau bagaimana, sampai akhirnya pada hari itu, ketika sebuah pemikiran masuk dalam kepala— bagaimana jika ia bekerja sebagai seorang mercenary, mengerjakan hal 'kotor' atas nama orang-orang kaya yang tidak ingin mengotori tangannya?

Ide tersebut sempat ditepis jauh-jauh. Tidak, Sunghoon tidak mau kembali ke gelapnya dunia. Ia datang kesini agar bisa melarikan diri dari itu, bukan malah merangsak masuk lagi.

Hanya saja, tidak ada jalan lain. Sunghoon sama sekali tidak mau mati kelaparan— setidaknya ia mau mati dengan kondisi yang baik— sehingga suka atau tidak suka, pikiran itu menjadi kenyataan.

Entah bagaimana, Sunghoon lupa, ia sekarang menjadi sesosok yang ditakuti. Ucap saja Ice, dan orang-orang yang bergelut dalam gelap akan gemetar ketakutan.

Nama samaran itu dipilih bukan secara cuma-cuma. Sunghoon selalu suka musim dingin, dahulu sering bermain di danau yang membeku. 'Ice' membuatnya ingat akan masa-masa menyenangkan di kehidupan lalu.

Tetapi sudah terlalu banyak nyawa ia renggut, sudah terlalu banyak darah menetes dari sela-sela jemari— Sunghoon tau mustahil baginya untuk bisa kembali ke kehidupan lamanya.

Maka Sunghoon bertahan, mengangguk tidak peduli saat Pak Kim— asisten sekaligus supir dari salah satu orang kaya yang sangat menyukainya— memberi misi baru.

Kali ini, misinya mengharuskan Sunghoon untuk bekerja sama dengan beberapa anggota dari Starseeker dan Pirateer. Decihan tanpa sengaja keluar dari belah bibir, paling tidak suka apabila harus bekerja sama dengan dua gang Chesterpolis itu.

“Kayaknya lo benci banget ya sama kita, ya? Any particular reasons for that, my dear Ice?” Lelaki berambut hitam belah tengah berkata, Sunghoon mengenalinya— ketua dari Starseeker, Daniel Choi.

Don't talk to me casually,” Wajah tenang, tetapi suara begitu tajam hingga Yeonjun menelan ludah gugup, “And no. I don't have any particular reasons.”

Pembicaraan berakhir disitu. Ruangan terlingkup sunyi, dingin akan tatapan penuh tidak suka dilayangkan satu sama lain, hingga akhirnya seorang lelaki berumur 50 tahun keatas memasuki ruangan dengan sebuah koper berisi uang.

Sunghoon tau koper itu pasti akan menjadi kepemilikannya, walau tidak sepenuhnya, karena pasti dibagi dengan anggota lain yang ada di ruangan. Hampir saja ingin bertanya tentang misi, lelaki tua itu sudah membuka suara terlebih dahulu.

The job is easy,” Sang pemilik uang lihat kearah Sunghoon, “Ice, saya mau anda membunuh kedua orang ini, dari kejauhan.” Ada dua foto dilempar di meja, yang mana tangan Sunghoon tangkap secara persis.

Anggukan jadi jawaban, Sunghoon yakin pasti akan selesai secepat mungkin. Toh, hanya menembak. Itu jelas adalah keahliannya. Tetapi apabila segampang itu, mengapa sampai memerlukan anggota Starseeker dan Pirateer?

Jawabannya datang tidak lebih dari sedetik setelah bertanya, “Starseeker dan Pirateer, kalian bertugas memancing keduanya di tempat dimana Ice akan menembak.”

Ah, begitu ternyata. Sunghoon paham sekarang, menebak-nebak sepasang suami istri yang menjadi target bukan sembarang orang— pasti lumayan, atau lebih dari lumayan, berbahaya sampai harus dipancing dua gang bersamaan.

Jika saja pada saat itu Sunghoon tau bahwa targetnya adalah orang tua Heeseung, sang kasih dalam hidupnya, ia tidak akan pernah mau melakukannya.

Daniel Choi.

Bukan nama asing di telinga Heeseung, tau dengan jelas seperti apa rupa dan sifat lelaki itu. Bahkan mengetahui nama aslinya— Yeonjun. Tak hanya itu, Heeseung juga tau tentang ketua Pirateer. Walau melupa nama samarannya, Heeseung ingat nama aslinya, Jung Wooyoung.

Sedari dulu memang Starseeker dan Pirateer selalu bersama dalam masalah-masalah seperti ini, tetapi pertanyaannya adalah;

Atas tujuan apa mereka menyerang undertown? Chesterpolis memiliki semuanya, sebagai distrik yang paling kaya serta mempunyai lirikan dari dunia. Mengapa sampai harus repot-repot kesini, hingga meledakkan markas Astray dan mengacaukan pesta?

Maka Heeseung tanya, “What the hell do you want?” yang mana dijawab dengan tawa Yeonjun menggelegar lewat speaker.

“Jawab pertanyaannya Ethan, bajingan!” Chris berteriak penuh amarah, sekarang sepenuhnya berada di sisi Heeseung— sama-sama korban dari dua gang Chesterpolis.

Yeonjun mendecih, “Chris, oh, Chris. You were so good at being my pawn, but sadly that dumb brain of yours just had to work. Dan sekarang, rencana gue berantakan.”

Seakan ada saklar terceklik, Heeseung sadar. Ah, itu tujuannya, tujuan dari Starseeker dan Pirateer. Betapa bodohnya, padahal sudah terlihat jelas. Tentu saja mereka ingin mengambil teritori mereka, dengan cara mengadu domba Astray dan gang-gang dibawah Los Triumvirate.

Mereka pasti berpikir akan gampang, terutama karena hampir seluruh kekuasaan undertown dipegang oleh Heeseung, sisanya lagi dipegang oleh Chris. Hanya ada dua orang buat ditaklukan agar bisa menguasai sepenuhnya.

Heeseung tertawa, ternyata dua gang Chesterpolis yang dibanggakan sebegitu dangkal pikirannya. Tawanya membuat Chris menaikkan satu alis, bingung akan perubahan sifat mendadak.

What are you laughing at, Ethan?” Suara Yeonjun terdengar seperti jengkel, mungkin merasa dibercandakan.

Your stupidness, Daniel. Lo sama Pirateer pasti mau ambil teritori gue sama Chris, kan? Lo adu domba kita, dengan gitu lo bakal gampang hancurin kita nantinya,” Heeseung terkekeh, “Do you really think it'd be that easy, huh?”

Sunyi. Tak ada jawaban dari Yeonjun. Heeseung tebak apa yang dikatakan cukup kuat untuk membuat lelaki itu terdiam membisu, habis akal tak tau mau menjawab apa.

Yeonjun akhirnya berucap setelah 3 menit lamanya, “Well, I guess I have no other choice. My crew and Pirateer will be retreating.

Sebentar, semudah itu? Heeseung tak habis pikir. Baru saja mau membalas, Yeonjun kembali bersuara. “Tapi sebelum itu, gue mau kasih tau lo tentang kebenaran dibalik kematian orang tua lo, Ethan. You'd like that, won't you, my dear Ice?”

Kepala Heeseung pening. Setelah sekian lamanya, mengapa Yeonjun mau memberi tau sekarang? Lalu siapa pula Ice? Heeseung tidak pernah mendengar namanya. Total bingung, tidak mengerti apa gunanya bagi Yeonjun untuk memberi taunya tentang itu.

Situasi tambah rumit ketika Sunghoon mendadak keluar dari mobil, gemetaran memegangnya, wajah terhias ketakutan. Pangeran kecil-nya benar-benar panik, hingga isakan mulai terdengar.

Doll, what hap—”

Perkataan Heeseung langsung dipotong oleh Sunghoon, “Jangan, tolong, jangan de-dengerin, jangan. Please don't, do-don't. I-I'm sorry, just p-please don't listen, please— d-don't wanna lose you.”

Tapi sayang sekali, Heeseung hampir sepenuhnya mendengarkan Yeonjun, terutama ketua dari Starseeker itu malah tertawa tepat setelah Sunghoon mengoceh tak karuan.

Ah, poor Ice. This is your own doing, your consequence of running away without even a word left behind,” Decakan menjeda kalimat Yeonjun beberapa detik, “Jadi dengarin gue baik-baik, Ethan,”

Your little prince, the one you hold so dearly, loved so deeply, is Ice— the mercenary who killed your parent two years ago.”