That's How We Roll (1/3)
Sunghoon mengerjap berulang kali melihat mansiun yang akan dimasuki mobil yang ia tumpangi. Butuh beberapa detik untuknya sadar bahwa mansiun itu markas utama De Cartas, cukup menjelaskan mengapa banyak penjaga berhamburan dimana-mana.
Sunghoon menoleh ke arah Heeseung, lelaki itu masih menaruh fokus pada stir. “Kenapa lo bawa gue kesini? I thought you were going to take home.”
“Isn't this home?”
Jawaban— lebih tepatnya pertanyaan— Heeseung membuat Sunghoon bingung. Rumahnya adalah Casa Segura, bukan De Cartas. Lagian, Sunghoon lumayan yakin anak buah Heeseung tidak akan senang melihat ketua dari gang yang bisa dibilang musuh memasuki markas mereka.
Tetapi Sunghoon tidak bisa memberontak, terlebih saat Heeseung menggendong tubuhnya secara bridal style tepat setelah keluar dari mobil— mengundang hampir seluruh pasang mata melihat mereka dengan tatapan ingin mengetahui.
“Heeseung, ngapain segala gendong sih?” Sunghoon menggumam, tangan melingkar di leher yang lebih tua. Malu mulai rasuki raga, Sunghoon mau tidak mau menenggelamkan wajah di perpotongan leher Heeseung. Menyembunyikan diri.
Suara kekehan Heeseung mengalun bebas, “Lo baru aja diculik, and this is the only way I could think of to make it up to you.”
Jawaban Sunghoon hanya berupa dengusan, namun tak bisa dipungkiri hati bermekar hangat hingga tanpa sadar mengeratkan pelukan di leher Heeseung. Kepala masih tersembunyi— nyaman, rasanya nyaman.
Hampir saja tertidur, jikalau langkah Heeseung tidak terhenti. Perlahan, Sunghoon menaikkan kepala penasaran— ingin melihat isi markas dari De Cartas. Mata langsung disuguhkan dengan design minimalis, berdominan warna hitam serta sedikit merah.
Dilihat dari sedikitnya furnitur dan banyaknya hiasan berupa lampu berbentuk bak kartu-kartu yang digantung dari atas plafon, Sunghoon menebak mereka berada di aula.
“Listen up!” Heeseung berteriak, begitu kuat sampai menggema ke lorong-lorong yang tersambung dengan aula. Satu teriakan saja, namun seluruh anggota De Cartas sudah berkumpul— siap mendengarkan apapun yang akan dikata sang ketua.
Kagum. Sunghoon tidak bisa tidak mendongak, menatap Heeseung penuh admirasi. Aura lelaki yang menggendongnya itu sama seperti kemarin malam, saat mereka bertemu jam 3 malam. Aura penuh autoritas dan dominansi.
“Mulai sekarang, De Cartas dan Casa Segura menyatu jadi satu gang, dibawah pimpinan gue dan Sean Park. I hope to see both sides to work together right after this, you all can go now.” Sorot mata Heeseung tajam, seakan menyuruh siapapun yang mendengar perintahnya harus patuh.
Namun Sunghoon masih tidak percaya apa yang baru saja didengar. Memang benar, Heeseung punya hak atas Casa Segura, tapi setidaknya lelaki itu bisa membicarakannya dulu dengannya. Ia mendadak mengingat perkataan Heeseung tadi, yang menyangkut tentang 'rumah'— apakah ini penyebabnya yang lebih tua berucap seperti itu?
Hanya saja, Sunghoon tidak berani berucap sepatah kata pun. Setidaknya, tidak sampai mereka hanya berdua— masih ada beberapa anak buah Heeseung di aula, berbisik-bisik satu sama lain antara tidak percaya atau hanya ingin bergosip ria.
Heeseung menunduk sedikit, berbisik di telinga Sunghoon, “Lo gak marah, kan?” Dibilang marah, tidak. Dibilang tidak marah, juga tidak. Sunghoon hela nafas. Akhirnya hanya menggeleng, tidak tau mau menjawab apa.
“Gue bakal jelasin nanti, let me take you to my room first, yeah? Lo butuh istirahat.”
Dan Sunghoon membiarkan dirinya dibawa oleh Heeseung, kembali menenggelamkan wajah di leher lelaki itu. Kali ini, mata sempat terpejam— sudah berada didepan pintu dunia mimpi, sayangnya harus dibuat terbangun kala Heeseung merebahkan tubuhnya perlahan di tengah kasur.
Saat Heeseung menjauh, Sunghoon tarik lelaki itu ke dalam pelukannya. “Don't go. Lo tadi bilang mau jelasin.” Ada helaan nafas terdengar, lalu sepasang tangan merengkuh balik.
“You need to sleep, little prince.” Heeseung mencoba menjauh, tetapi gagal. Pelukan Sunghoon begitu erat. Tidak membiarkan lelaki itu kemana-mana.
Sunghoon menggeleng, “Enggak. Jelasin.”
Tidak ada ruang untuk menolak. Perkataan Sunghoon mutlak, maka Heeseung patuhi.
“Gue satuin De Cartas dan Casa Segura, karena gue rasa itu jalan terbaiknya, daripada lo pusing pikirin tentang hak lo dan hak Casa Segura yang ada di tangan gue.” Tangan Heeseung bermain-main di pinggang Sunghoon, terkadang meremas pelan atau sekedar mengelus.
“Huum, kenapa gak omongin dulu ke gue?”
“Karena gak ada waktu. Gue udah bawa lo kesini, setidaknya harus ada satu alasan biar lo gak dikeroyok anak buah gue, dan itu dengan cara buat lo ketua juga.”
Benar, sih. Apa yang dikatakan Heeseung benar. Sunghoon mengangguk pelan, hidung terbenam di helaian rambut sehingga dapat mencium harum shampoo lelaki di pelukan.
“And I also want to spend more time with you, as your boyfriend.”
Ah. Mata Sunghoon membulat. Merah menjalar di kedua pipi, menyadari Heeseung mendengar apa yang dikatakan beberapa jam yang lalu saat masih diculik.
Sunghoon tergagap, “Ma-maaf, gue gak bermaksud—” Kalimatnya dipotong.
“— Gak perlu minta maaf. Gue malah suka lo anggap gue gitu, cantik.” Heeseung menaikkan wajah, membubuhi ciuman halus diujung bibir yang lebih muda, “So, do you want to make it official, or not?”
Sunyi. Sunghoon terdiam. Tidak menyangka akan ditanya seperti itu. Ia menghela nafas gemetar, lalu mengangguk perlahan. Walau setelahnya langsung mendorong Heeseung pergi, lalu menutupi diri menggunakan selimut.
Melihatnya, Heeseung tertawa. Mencium kepala Sunghoon yang menyembul sedikit, “Sleep well, my pretty boy.” adalah yang diucap sebelum meninggalkan kamar.
Begitu pintu tertutup, Heeseung langsung bergegas kebawah— mencari salah satu anak buahnya, “Hyunsuk!” Langsung memanggil ketika melihat.
“Cari tau dimana alamat rumah Richie Nishimura dan Seira Kim, ketua dari Hakanai.”