Through the Border (2/2)
cw // minor character deaths, gun shooting, blood and violence.
Sial. Heeseung menggeram, hampir membanting handphone kala membaca pesan dari Hyunsuk lewat lockscreen-nya— ‘Sean Park diculik, tuan. Ia terakhir terlihat dibawa ke sebuah gudang dekat perbatasan antara distrik kita dan Ikurugi.’
Tentu saja. Gang mana lagi selain Hakanai, terutama setelah Kokonoi melihat Sunghoon tadi malam. Lelaki itu pasti berpikir bahwa Sunghoon adalah kesempatan untuk melemahkan Heeseung, lalu memberi tau bos-nya yang sangat pengecut itu— fakta, Heeseung bahkan jarang melihat pemimpin Hakanai diluar markas, semua pekerjaan ditanggung oleh anak buahnya.
Jika boleh berkata jujur, sebenarnya Heeseung sedikit memikirkan tentang ini, sesaat setelah ia memberi tau Kokonoi.
Mau bagaimanapun, Heeseung terkenal sepenjuru Los City, bukan hanya karena kemampuan berkendara, tetapi juga karena ia tidak punya kelemahan.
Melihat Sunghoon— lelaki berpahatan tegas nan anggun itu berada disampingnya, tentu akan disangka sebagai kelemahannya. Karena bagi hampir semua orang, cinta adalah kelemahan.
Namun mereka melupakan satu fakta penting. Sunghoon adalah pemimpin dari Casa Segura, jauh dari kata lemah.
Maka dari itu, Heeseung putuskan untuk tidak membawa satupun anak buahnya, maupun anak buah dari Sunghoon— ia pergi sendiri menggunakan Mustang kesayangannya, dilengkapi sepasang pistol Beretta APX di saku dalam jaketnya.
Toh, Hakanai merupakan gang terlemah di Los City. Kemampuan mereka jauh dibawah Heeseung dan Sunghoon.
Walau begitu, mereka masih saja berani mencoba melukai kepunyaannya.
Heeseung benar-benar akan hancurkan mereka sampai tidak bersisa.
“C’mon, wake up, sweetheart.”
Suara menjijikan itu terdengar sayup, penglihatannya kabur— rasanya seperti sehabis dihantam begitu kuat di kepala, membuat dunia berputar tak karuan disekitarnya.
Lalu seluruhnya dingin. Tubuh langsung berjengit, mata terbuka sepenuhnya dengan kesadaran terpaksa walau kepala masih terasa begitu pening.
Hal yang pertama Sunghoon sadari adalah basah. Rambutnya— tidak, bukan hanya rambut, seluruh bagian atas tubuh basah.
Ah, ternyata itu penyebabnya. Tiga orang didepan ini— masih kabur, tidak terlihat jelas— menyiramnya dengan air dingin.
Sunghoon mencoba menggerakkan tangan, hasilnya nihil. Tidak bisa digerakkan, diikat sekuat yang dikira.
Pun mencoba menunduk sedikit, menatap ke arah kaki yang tidak terikat— lebih tepatnya, ke arah boots-nya. Melihat masih ada gundukan kecil diujung kaos kaki yang tertutup kain celananya hampir membuat Sunghoon tertawa.
Bodoh. Orang-orang yang menyenderanya total bodoh. Bagaimana bisa mereka tidak mengambil pistol kecil-nya, apa mereka begitu percaya dengan tali yang mengikatnya sekarang?
“You look happy for someone who got abducted,” Bisa lihat lelaki berambut ungu berucap, “Gue Kokonoi. Mungkin lo ingat gue semalam, yang bicara sama pacar lo itu.”
‘Huh, pacar?’ Pikiran Sunghoon bertanya bingung, sebelum akhirnya menyadari— oh. Maksudnya Heeseung, ternyata.
Sunghoon menggeram, “Gue gak peduli nama lo siapa dan apapun yang lo omongin, lo lepasin gue. Sekarang.”
Kokonoi dan kedua lelaki dibelakangnya tertawa. Yang berambut ungu menggeleng-gelengkan kepala, berjalan kearah Sunghoon lalu mencengkram dagunya kuat.
“Lo terlalu berani,” Cengkraman di dagu menguat, malah membuat Sunghoon menatap tajam tanpa meringis sakit, “Know your place, fool. You’re nothing more than just Ethan’s Little Prince.”
Tepat setelah Kokonoi berkata, Sunghoon meludahinya dan menghantamkan lututnya di selangkangan lelaki itu, memicu Kokonoi untuk langsung berteriak, mengaduh kesakitan sambil meringkuk di lantai.
Melihatnya, Sunghoon tertawa sekencang mungkin. “Gue mungkin cuma sebatas pangeran kecilnya Ethan di mata kalian, tapi itu yang gue mau,” Jemari Sunghoon bermain-main dibelakang, mengambil pisau kecil di pergelangan jasnya, dan sebelum ketiga lelaki didepannya bisa bertindak— Sunghoon sudah berdiri terlebih dahulu.
“So that you all can’t see,” Sunghoon mengarahkan Ruger LCR yang sedari tadi berada di kaki, “I’m as dangerous as my boyfriend is.”
Memanggil Heeseung sebagai pacar terasa memalukan, namun apabila itu membuat orang-orang yang menculiknya tambah takut, maka Sunghoon tidak ada masalah untuk mengucap.
Muka ketiganya dihias sempurna oleh ketakutan, terutama Kokonoi yang berada tepat didepan pistolnya.
“K-kami minta maaf, tolong jangan bunuh kami.” Mereka memohon-mohon.
Lucu, lucu sekali. Sunghoon lagi-lagi tertawa. Ia suka melihat orang ketakutan terhadapnya, suka melihat bagaimana ia memutar keadaan dengan begitu mudah.
Lantas, apakah perlu ia ampuni mereka?
Heeseung mencari kesana-kemari, lokasi yang diberi Hyunsuk memiliki banyak gudang hingga membutuhkan waktu 10 menit baginya untuk menemukan dimana Sunghoon berada.
Saat Heeseung masuk, mata disuguhkan dengan pemandangan Sunghoon meludahi serta menendang Kokonoi, yang mana ia langsung tertawa kecil.
Sepertinya para anak buah Hakanai itu terlalu kaget akan tindakan Sunghoon, sampai-sampai mereka tidak menyadari Heeseung berada disana— memperhatikan mereka dengan pistol berada di tangan.
“…. I’m as dangerous as my boyfriend is.”
Mendengar itu, Heeseung tersenyum lebar. Astaga, hati berdentum begitu kuat seakan ingin keluar dari relung. Rasa senang bak memeluk seluruh raga.
Tetapi senyumnya jatuh, ketika Sunghoon menarik pelatuk— membunuh ketiga lelaki didepannya dengan keji.
Tidak, itu bukan Sunghoon. Yang lebih muda seperti berubah, seperti menjadi orang lain yang asing di mata Heeseung. Sunghoon dingin, Heeseung membeku.
Heeseung sendiri memang lumayan sering mengotori tangan dengan darah, namun apa yang Sunghoon lakukan bukanlah suatu hal yang diperlukan. Menurutnya, ketiga orang itu tidak perlu sampai dibunuh seperti itu.
‘Apa yang selama ini Sunghoon lakukan saat ia tidak berada disini?’
Pertanyaan tidak diundang masuk ke dalam benak, bersamaan dengan Sunghoon yang menoleh— ekspresi wajah berubah seperti biasanya.
“Heeseung?”
Satu panggilan, cukup buat Heeseung sadar dan sontak tersenyum sambil mendekati Sunghoon.
Tangan pakaikan jaket kulit ke Sunghoon ketika sadar yang lebih muda basah kuyup, lalu merangkul pinggangnya mendekat.
“I’m sorry,” Heeseung memajukan wajah, menggesekkan hidung satu sama lain, “Kalau gak gara-gara gue, lo gak bakal kayak gini.”
Sunghoon menggeleng, “Gak apa-apa. Besides, I’m perfectly capable of defending myself.”
Mereka berdua tertawa, sebelum akhirnya Heeseung menuntun Sunghoon untuk keluar—
“Let’s go home, pretty boy.”