All Hell Breaks Loose (½)

Apa-apaan?

Sunghoon mendecak kagum, menggelengkan kepala tidak percaya akan apa yang ada pada basement mansiun— darimana Heeseung dapatkan persenjataan selengkap ini? Bahkan ada beberapa yang tidak dikenali mata akibat terlalu canggih.

Feel free to take anything you like.”

Tentu, tanpa Heeseung bilang, semua pasti akan mengambil. Sunghoon mengitari terlebih dahulu, melihat-lihat koleksi senjata berbagai macam di dinding, beberapa diletakkan didalam sebuah kaca bak pameran.

Masuk akal dipajang sebegitunya, Sunghoon tidak bodoh untuk tidak mengetahui revolver yang sekarang dipegang memiliki harga 100 juta LC— setara dengan 1 milliar dollar Amerika. Sayang sekali Sunghoon tidak begitu menyukai revolver, sehingga langsung diberi kepada Riki disampingnya yang seperti ingin memegang pistol berisi maksimal 7 peluru itu.

Kembali melihat kesana-kemari, lalu atensi tersita pada bagian kiri ujung dimana beberapa rifles terpampang indah di dinding. Tanpa menunggu, Sunghoon langsung mengambil salah satu rifle familiar di ingatan— buatan Jerman, HK416. Memang telah jadi kesayangan sedari dulu.

“Masih aja setia pakai rifle itu setelah sekian lamanya.” Sebuah suara terdengar dari belakang, Sunghoon melirik sedikit— oh, Jay ternyata. Pantas saja berbicara seakan telah mengetahui sejak kecil.

Sunghoon hela nafas, “Lo lihat kaca, gih. You still choose that pistol-caliber carbine, and if I remember correctly it's Kalashnikov's?” Ada tawa menyambut kalimat tepat setelah terucap, bahu ditepuk pelan oleh sang sepupu.

“Bener. Punya Kalashnikov. KP-9, kebanggaan gue.” Raut wajah Jay tunjukkan kebanggaan, layak tak ada hal dapat hentikan lelaki itu apabila telah bersama senapan kesayangan. Tangan masih di bahu Sunghoon, dan mungkin akan bertahan lama, jika saja tidak ada peringatan terdengar;

“Jay, jauhin tangan lo.” Itu Heeseung, datang entah darimana. Tangan sudah menarik Sunghoon mendekat— terlalu dekat sampai hidung hampir tenggelam dalam surai.

Lucu. Sunghoon diam saja, tetapi tidak dapat dipungkiri hati tertawa senang, melihat Heeseung cemburu pada Jay yang notabenenya merupakan keluarga. Bibir berkedut sedikit, menahan senyum akibat tindakan Heeseung, dan juga menahan tawa lihati wajah Jay yang pucat.

“Weits, tenang, bos,” Kedua tangan Jay naik secara defensif, “Lo kan tau gue sepupunya, elah.”

Heeseung hanya mendengus, sedikit mendongakkan kepala ke kiri sebagai tanda menyuruh Jay pergi, yang mana langsung dilakukan tanpa keraguan. Pun mereka menjadi berdua saja— memang masih ada yang lain disekitar, namun terasa kosong seperti tak ada siapapun kecuali mereka.

Kecupan halus dibubuhkan pada pelipis Sunghoon, “Udah selesai pilihnya, cantik?” Heeseung bertanya, hampir tidak terdengar.

Sunghoon mengangguk. Badan mendekat pada kehangatan yang ditawarkan Heeseung, entah sadar atau tidak sadar mencari kesunyian pada lelaki itu agar dapat meredam ributnya pikiran.

Mungkin Heeseung-lah yang sadar. Lelaki itu tak ada berbicara, menjaga sunyi dengan mengeratkan rangkulan guna menambah hangat. Namun semua itu kandas kala Jake membuka pintu, kepala menyundul dari atas— “Semua mobil udah selesai dimodifikasi, we're ready to go.”

Helaan nafas keluar dari belah bibir Sunghoon. Pikirannya sedari tadi kacau, namun sekarang hatinya ikut berdentum tidak nyaman saat menaiki tangga basement dengan dua rifle berselimpang pada kedua bahu.

Ah, mungkin saja sebatas rasa takut, benar-benar mencoba sekuat tenaga mengusir jauh-jauh perasaan yang bisa kacaukan fokus nantinya. Mau bagaimanapun mereka akan lakukan drive-by shooting, ditambah lagi Sunghoon posisinya sebagai sniper— tidak ada ruang bagi fokus untuk menghilang.

Sunghoon juga merasa tidak enak apabila gagal melakukan yang terbaik, karena mobil kesayangan Heeseung sampai harus kehilangan kaca depannya akibat diri yang butuhkan pandangan garis tembakan sejelas mungkin.

Mereka memutuskan untuk pergi sepasang satu mobil— Heeseung dengan Sunghoon, lalu Jay dengan Jake. Hanya Riki yang sendiri, karena Jake bersikeras harus ada yang menemani Jungwon, dan orang itu pada akhirnya adalah Sunoo.

Little prince,” Heeseung panggil setelah keduanya masuk dalam mobil, “If you're not feeling good, you know it's okay for you to stay, right?”

Sunghoon menunduk, tidak ingin menangkap mata Heeseung yang menatapi dirinya. Tangan secara tidak teratur mencoba-coba mencari letak tepat untuk rifle-nya sebagai usaha mengalihkan.

Pada akhirnya Sunghoon menjawab, suara kecil hampir terbilang sebuah gumaman, “Gue gak apa-apa, Heeseung. Gue tetap ikut.”

Kebohongan tergantung berat di udara antara keduanya. Heeseung tatap Sunghoon tidak percaya, sebelum akhirnya menghela nafas kasar. Lelaki itu menutup mulut, tidak bertanya lebih lanjut.

Mereka tetap berdiam, walau tangan perlahan saling menggenggam— gak apa-apa, Sunghoon tau mereka tidak akan kenapa-napa. Begitu pula dengan dirinya sendiri, ia berusaha mempercayai tidak akan ada yang salah walau hati tidak enak.

Benar, kan? Semua pasti baik-baik saja.