Namanya, Lee Heeseung.

Pasrah.

Sunghoon benar pasrah. Bisa rasa jemari gemetar akan satu sama lain, berdiri begitu kaku depan ruangan yang memang biasa digunakan untuk rapat para ketua club. Kalau diri adalah sang ketua, tentu tidak masalah. Tapi disini hanya sebagai perwakilan. Sedikit merutuk mengapa Seungmin, kakak kelas plus ketuanya itu, harus sakit di saat seperti ini.

Ah, sudahlah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Berkata satu dua kalimat, menjawab seperlunya, dan selebihnya diam— itu saja yang perlu Sunghoon lakukan. Tarik nafas, pun tangan dorong pintu terbuat dari kayu gelap di depannya.

Kosong..? Sunghoon tambah bingung. Langsung cek ulang, ia benar kok. Tidak salah ruangan. Lalu mengapa tidak ada ora—

“Hai, adek kelas ya?”

Badan sontak terlonjak, pertanyaan di pikiran terputus begitu saja. Sunghoon kaget bukan main. Ternyata ada satu orang, posisinya dekat pojokan hingga sedikit masuk akal tidak terlihat.

Sebentar dulu. Sunghoon fokuskan atensi barang beberapa detik— astaga, gila. Diantara seluruh kakak kelas pemegang jabatan ketua klub, kenapa harus Lee Heeseung yang sekarang berada dengannya?

Diri tau jelas siapa lelaki rambut hitam belah tengah itu. Toh, lagian, siapa tidak kenal. Popularitas bersandang bebas disamping namanya. Berakhir kembali tarik nafas, Sunghoon coba untuk tidak bertindak memalukan.

“H-hai, iya.. kak.” Suara gemetar akibat takut menyerang. Bahkan Sunghoon hampir terjatuh ketika mengambil kursi depan Heeseung. Awal niatan mau duduk agak jauh, hanya saja langsung rasa tidak enak. Maka berakhir tidak jadi dilakukan.

Heeseung menatapnya bak sesuatu yang begitu menarik. Intens, begitu intens. Nafas Sunghoon sampai tercekat di tenggorokan. Kalau begini, Sunghoon mau kabur saja karena sungguhan tidak tau mau bagaimana.

2 menit terlewat dihiasi denting jam saja, sebelum akhirnya Heeseung terkekeh lembut. Buat Sunghoon berkedip cepat— kebablakan. Sang kakak kelas buka belah bibirnya, “Santai aja kali.. Sunghoon, kan? Yang kemarin menang kompetisi sepatu roda nasional?”

Sunghoon mengangguk. Hilang kepercayaan pada suara sendiri, tau jelas bakal berakhir gemetar atau gagap. Relung mendadak terasa sesak akibat jantung degup cepat entah kenapa. Jangan bilang hanya karena Heeseung mengenalinya— tapi itu hal wajar. Mau gimana juga, nama masih kerap dikumandangkan kepala sekolah.

Mata dapat lihat Heeseung ingin berkata lagi, namun tidak jadi. Semua ketua klub memasuki ruangan, termasuk sang ketua osis— Chan. Dengan begitu, rapat secara resmi dimulai.

Kalau bisa jujur, Sunghoon gagal fokus. Suara disekitar seakan di konversi ke gumaman tertelan udara, menggelitik indera pendengaran. Bahkan hampir masuk ke dunia lamunan jika saja Chan tidak memanggil nama dibubuhi pertanyaan perihal klubnya.

“Hmm, Sunghoon? Untuk klub sepatu roda, we'd like to know if there's any significant progress.

“A-ah.. no— no, there's no significant progress, belakangan ini kami hanya lakukan rutinitas serta berlatih seperti biasa, kak.”

Chan angguk-angguk paham, “Oh yeah, if I recall correctly, beberapa minggu lagi kamu ada lomba tingkat daerah, kan?”

“Hah?” Otak Sunghoon bagai berhenti bekerja, kendati sepersekian detik kemudian langsung pura-pura berbatuk untuk kembalikan atensi, “Uh iya— iya benar, kak.”

Untung saja setelah itu Chan langsung berpindah ke Mina, ketua klub ballet. Sungguh memalukan. Sunghoon rasa keinginan menggali tanah lalu mengubur diri sendiri begitu kuat menghantui. Apalagi, mata sempat lirik Heeseung tersenyum— mungkin hampir dekati sebuah kekehan— saat diri jawab pertanyaan dari ketua osis kelahiran Australia itu.

Entah berapa waktu terlewat. Sunghoon langsung berdiri penuh semangat kala rapat sudah sampai pada akhirnya. Malah bisa dibilang terlampau semangat, sampai tidak sadar bahwa Heeseung berjalan ke arah Chan sambil mengeluarkan handphone-nya, lalu bertanya dengan suara tipis,

Chan, can you please give me Sunghoon's number? It's quite important.