I'm So Down if You're Ready.

cw // slight nsfw, kissing, making out.


Deritan suara ban mobil berhenti terdengar jelas, membelah kesunyian jalanan pada jam 3 pagi. Sunghoon menggigil tepat setelah keluar dari mobil, secara tidak sadar merapatkan kedua tangan mencari kehangatan dari dalam jaket denim yang digunakan.

Benar-benar gila, memang ada orang waras yang ingin bertemu di sebuah skatepark terbengkalai di penghujung distrik? Tentu saja tidak ada. Beberapa kata kasar diumpatkan Sunghoon dibawah nafas untuk Heeseung, yang tidak terlihat sama sekali.

Seluruh tubuh Sunghoon sekarang mulai bergidik, bukan hanya karena dingin, namun juga karena sekitarnya gelap dan seram. Pula waktu sudah memasuki jam-jam rawan akan hal mistis yang sebenarnya Sunghoon tidak percaya tetapi tetap takuti.

Saat ada jemari dingin mengelus tengkuk, Sunghoon langsung berteriak. Suara melengking terdengar hingga kejauhan. Hampir saja menangis, serta tubuh berbalik kebelakang siap melempar pukulan, kalau saja telinga tidak dengar kekehan— suara yang entah kapan mulai terasa familiar.

“Sudah menunggu lama, cantik?” Wajah Heeseung terkesan arogan, terbingkai dengan senyuman miring andalannya. Lelaki itu menggunakan turtleneck putih dilapis jas hitam panjang disampirkan di bahu, dan Sunghoon tidak bisa berhenti menatap.

Auranya. Auranya jauh berbeda dengan beberapa jam yang lalu saat mereka balapan. Saat mereka balapan tadi, Heeseung menggunakan jaket kulit hitam dengan kaos bertuliskan ACDC dihiasi beberapa rantai menggantung bak penguasa jalan pada umumnya.

Sedangkan sekarang, lelaki itu benar-benar terlihat seperti pemimpin suatu organisasi tinggi. Mungkin pikirannya tidak mau mengakui, hanya saja hati berulang kali berkata— Heeseung begitu tampan.

Tawa Heeseung kemudian terdengar, membuat Sunghoon tersadar. “Am I too handsome for you to not reply to my question?”

Ah, sial. Tertangkap basah. Malu, sangat malu. Walau begitu Sunghoon jawab dengan dengusan, seakan merah bermekaran di pipi tidak berkata lain.

You talk too much, Heeseung,” Sunghoon membawa satu telunjuk ke dada Heeseung yang berada didepannya, “Lo gak bisa apa langsung ngomong to the point?”

Jari telunjuk tersebut dipegang, lalu perlahan jemari-jemari Heeseung mengisi sela-sela jemari yang lebih muda— kedua tangan mereka terikat, yang mana Heeseung gunakan untuk menarik Sunghoon mendekat dengan tangan lainnya merangkul pinggang.

Nafas keduanya berhembus dekat, dahi entah keberapa kali menyatu. Namun kali ini, Sunghoon tidak memberontak. Ia diam, mata tanpa sadar melihat kebawah— ke arah bibir Heeseung.

Bodoh, dengan jarak mereka sedekat itu, tentu Heeseung sadar kemana Sunghoon menatap. Kekehan lolos dari bibir yang lebih tua, “Kayak gini tuh, lo sebenarnya mau gue cium atau mau dengar gue bicara sih?”

“Ah, tapi lo gak sabaran. Jadi gue ngomong aja, ya? To the point, just like you wished for, my little prince.”

Belum ada jawaban dari Sunghoon, tapi Heeseung sudah putuskan sendiri. Membuat Sunghoon jadi paham, bahwa situasi mereka sekarang ibarat bermain sebuah game.

Tarik ulur. Siapapun yang dapat tahan kewarasan, ialah pemenangnya. Terlihat jelas dari kilat mata— Heeseung maupun Sunghoon— penuh akan nafsu ingin meraup satu sama lain, namun keduanya begitu kompetitif. Ingin lihat siapa dulu yang hilang kendali.

Tarik, “Lo tau Hakanai, kan? Yang di Ikurugi District?”

Ulur, “Huum, ya. Kenapa emang?”

Tarik, “Gue lindungin Casa Segura dari mereka. Karena gang lo satu distrik sama gang gue, I thought it'd be safer for my crew and your crew if I took it upon myself.”

Ulur, “Jadi gue harus ngomong makasih gitu?”

Tarik, “Hmm, terser—”

Dan Sunghoon jadi orang pertama yang hilang kendali.

Bibir dihantam bibir, langsung rakus melahap. Tangan Heeseung yang tadinya merangkul berubah mencengkram pinggang, bersamaan dengan gigitan di bibir bawah Sunghoon yang langsung merengek.

Kedua tangan mereka yang sebelumnya terjalin sekarang terlepas. Sunghoon biarkan jemari-jemari menari ria di tubuh Heeseung, tanpa sengaja membuat jas hitam panjang milik lelaki itu jatuh saat lidah saling beradu.

Lagi, lagi, lagi. Pikiran Sunghoon sudah tertutupi kabut, hanya bisa pikirkan Heeseung, dan mau lagi— mau lebih dari ciuman penuh terburu yang sedang dilakukan. Pun ia melepas ciuman, “H-Heeseung—”

Tidak, Heeseung tidak memberikannya kesempatan untuk berbicara. Bibir kembali bertemu bibir, geligi kembali bertemu geligi. Pasrah, toh Sunghoon bisa apa? Tubuh sudah melemas, condong ke tubuh Heeseung yang merengkuh.

Hanya ketika Sunghoon memukul punggung Heeseung berulang kali barulah ciuman terlepas. Keduanya mengais nafas berantakan, menatap satu sama lain dengan nafsu yang sama —atau bahkan lebih besar— seperti tadi.

Heeseung mendekatkan wajah lagi, namun bukan ke bibir, melainkan ke ujung bibir Sunghoon yang diberi ciuman basah hingga ke dagu, kemudian turun ke leher.

“Mmmh,” Jemari Sunghoon remat bahu Heeseung saat merasa leher dibubuhi gigitan kecil yang lama-kelamaan berubah menjadi gigitan kuat membekas, “Heeseung.. puh-please, ta-take me to y-your place, take me,”

Rintihannya tidak didengar. Heeseung masih saja memainkan bibir di leher, membuat tanda dimana-mana. Lelaki itu seakan tuli, padahal Sunghoon tidak berhenti memohon.

Hingga akhirnya Sunghoon mencoba menarik Heeseung menjauh dari lehernya, lalu menangkup pipi lelaki itu perlahan— “Ca-captain, please.

Dan Heeseung akhirnya hilang kendali.