And Everything Is Shattering.

Sunghoon menarik nafas kasar.

Sial, sial, sial.

Kepala berdentum tak henti, bisa rasa tenggorokan bak dililit duri akibat menahan tangis. Keluarganya memang tidak sempurna, bahkan jauh dari kata itu, namun tetap saja— diri hanya seorang anak lelaki dengan hati berada di tangan untuk sang ibu.

Seluruh memori bersama perempuan yang melahirkannya itu terputar, berulang kali hingga isi pikiran Sunghoon kacau. Tidak, bukan hanya isi pikiran. Seluruhnya sekarang kacau.

Setelah beberapa tahun meninggalkan Hypen District— meninggalkan Casa Segura dan keluarganya— Sunghoon telah menemukan hidup baru, dan sepalsu apapun hidup baru itu, Sunghoon tetap merasa terikat. Terlihat dari sorot mata yang menyendu kala kaki melangkah keluar dari gedung apartment miliknya yang ia tau ia tidak akan kembali lagi.

“Selamat pagi, tuan. Hari ini mau kemana?” Ditanya oleh Pak Kim, supir pribadinya, tepat ketika Sunghoon masuk ke dalam mobil sedan berwarna hitam itu.

“Ke bandara.”

Sunghoon tau jawabannya akan membuat Pak Kim curiga. Mau bagaimanapun, lelaki berumur sekitar 50 tahun tersebut mengetahui segala macam aktivitas yang Sunghoon akan lakukan. Entah hari ini, keesokan harinya, atau bulan depan sekalipun.

Dan benar, “Bandara, tuan? Bukankah hari ini seharusnya anda ke mansiun keluarga Pir—” pun kalimat kecurigaan Pak Kim langsung disela oleh Sunghoon.

“—Iya, saya tau, pak. Tapi tolong. Bawa saja saya secepatnya ke bandara.” Tidak bisa dibantah. Perintah Sunghoon sudah mutlak. Maka dari itu, Pak Kim hanya bisa mengangguk patuh. Langsung menjalankan mobil sesuai tujuan yang diminta.

Diam-diam, Sunghoon menghela nafas lega. Rasanya seperti bebas dari cengkraman seekor singa. Ada alasan— yang tidak ingin dibahas— mengapa Sunghoon dihadiahkan seorang supir pribadi, bukan mobil bertenaga kuda yang biasa dibawa dulu.

Ah. Dulu, ya? Sunghoon bahkan sudah tidak ingat berapa lama tidak pulang ke rumah. Tidak ingat kapan terakhir kali balapan dengan siapapun orang yang bisa diajak balapan olehnya. Kehidupan palsu terlalu memenjarakan diri— jauh didalam hati, Sunghoon memang mau pulang. Tetapi tidak seperti ini.

“Tuan, kita sudah sampai.”

Perkataan sang supir hanya dibalas dengan senyuman tipis. Sunghoon tidak tau mau bagaimana bereaksi, tidak pula mempunyai tenaga untuk melakukannya. Seluruh tenaganya terkuras karena menahan emosi yang mengancam untuk membuncah keluar, serta melayani pikirannya yang sedari tadi ribut.

Sunghoon mencoba berjalan secepat mungkin setelah keluar dari mobil— ia sama sekali tidak membawa apapun, hanya dirinya dan handphone-nya. Terlalu terburu-buru, tidak ada waktu membereskan pakaian dan sejenisnya. Untung saja ada flight yang tersedia, sehingga Sunghoon hanya menunggu selama lima menit sebelum akhirnya boarding.

Perjalanan ke tempat kelahirannya tidak memakan waktu lebih dari satu jam— toh kehidupan palsunya dan kehidupan lamanya hanya terpisah akan lautan, masih berdekatan satu sama lain.

“Ke Pemakaman La Muerte, pak.” Adalah hal yang Sunghoon katakan kepada seorang supir taksi tepat setelah ia landing.

Masa bodoh dengan pandangan sopir itu yang seakan bersimpati padanya, Sunghoon memang mau secepatnya ke makam sang ibu. Masalah Casa Segura, bisa belakangan. Sekarang, Sunghoon hanya ingin menyampaikan hal-hal yang tidak sempat disampaikan kepada ibunya.

Tetapi hal-hal tersebut bagai menguap di udara saat Sunghoon berdiri tepat didepan makam sang ibu. Disana, tertulis dengan menyedihkan, ‘Here lies, Mina Park, an outstanding leader and a great mother.'

Benar, itu semua benar. Mina, ibunya, memang seorang pemimpin yang luar biasa. Mina, ibunya, memang sesosok ibu yang lebih dari figur ibu yang Sunghoon inginkan. Pun ia menggigit bibir kuat, sekuat tenaga menahan air mata agar tidak menetes.

Ia meringkuk, bersimpuh jatuh di kedua lutut. “Ibu, ibu, ibu— Sunghoon minta maaf. Maaf tidak ada saat detik terakhir ibu hidup.”

Sakit, sakit, sakit. Rasanya sakit.

Sunghoon tidak ada merasa sakit beberapa tahun ini, dan setelah sekian lama baru merasakannya, ia lupa cara menyikapinya dengan baik.

Tapi Sunghoon harus bisa. Seluruh tanggung jawab berada di pundaknya sekarang. Ia tarik nafas, mencoba mengontrol emosi— sebelum akhirnya berdiri lalu berbalik meninggalkan makam sang ibu.

Dahulu sudah pernah meninggalkan seluruh emosi, maka dari itu— tidak ada masalah baginya untuk meninggalkan emosinya lagi.

Namun dengan peningnya kepala serta relung berteriak meminta kenyamanan, Sunghoon rasa ia perlu balapan, dan satu-satunya yang pasti bisa membantu ialah sepupunya— Jay.