A Good Race Serves as a Good Distraction, or So He Thought. (Part 3/3)

Tepat ketika mereka memasuki mobil Sunghoon— Jay membiarkan mobilnya terparkir begitu saja— sepupunya itu langsung berulang kali meminta maaf, suaranya terdengar tercekik bagai ingin menangis.

“Maaf, Sunghoon, maaf, maaf,”

Kepala Sunghoon pening mendengarnya. Jay jarang sekali meminta maaf, terlebih hingga diujung tangis seperti ini, kecuali hal yang ia lakukan benar-benar fatal.

“Jay, berhenti. Berhenti minta maaf— tolong kasih tau gue langsung, lo lakuin apa? Perjanjian apa yang tadi lo bilang?”

Jay menghela nafas pelan, “Gue.. gue tadi wakilin Casa Segura, tanpa sepengetahuan lo, Wonyoung, ataupun anggota yang lain. Kejadiannya tepat habis ibu lo dimakamin. Karena Casa Segura udah gak punya ketua lagi, Wonyoung gak mau naik jadi ketua dan gue juga gak mau, mereka... mereka jadi punya hak atas kita, Sunghoon.”

“Mereka siapa, Jay?” Sunghoon sebenarnya sudah bisa menebak siapa yang dimaksud Jay, namun ia butuh konfirmasi dari sepupunya itu.

“De Cartas. Gue minta maaf, Sunghoon. Gue beneran minta maaf. Gue gak tau lo bakal pulang dan jadi ketua, kalau gue tau gak bakal serumit ini.”

Tebakannya benar. Sunghoon menghela nafas, tangan mengusak rambut kesal. “Kalau gitu kenapa lo biarin gue balapan sama Heeseung? Jadi tambah rumit lagi sekarang karena gue mau gimanapun jadi punyanya dia.”

“Uh.. itu..” Jay membuang muka, “Karena gue tadi percaya lo bakal menang.”

Deg. Ada rasa senang sekaligus malu masuk dalam relung. Jay mempercayakan dirinya, dan sekarang hancur hanya karena ia tidak menang melawan Heeseung.

Mereka diam, tidak ada yang berani berbicara. Namun pada akhirnya, Jay membuka bibir— “Mending lo pulang. Istirahat, dan ketemu sama adek lo. Masalah ini bisa kita urus besok.”

Ya, benar. Sunghoon benar-benar butuh tidur, kepalanya seakan ingin meledak.