based on billie eilish – wish you were gay
tuk, tuk, tuk.
jemari hyunjae mengetuk meja perlahan secara berulang, senyum di wajah masih terlukis walau tidak secerah beberapa menit lalu ketika diajak makan ke sebuah cafe yang sangat familiar untuknya. juga untuk lelaki tampan (sang pengajak) di depan mata. sekali. dua kali. hyunjae mengerjapkan mata.
“hey,” panggil lembut. lucu sekali diri jadi suara pertama, biasa juga hanya jadi penyaut. menyedihkan lagi, itu dalam kurun waktu entah berapa menit. dan nihil. lelaki itu masih saja sibuk dengan hp. senyum tadi sedikit jatuh, ah tidak, jangan. hyunjae kembali paksakan bibir agar bentuk lengkung, “juyeon.” kedua kali panggil.
juyeon hanya berdeham. mata tidak tatap balik hyunjae. bahkan jemari yang seharusnya bertaut dengan hyunjae masih menari tidak karuan diatas layar. kenapa hati nyeri, ya? hyunjae tutup mata sebentar. mengais nafas bergetar. tidak lucu jika tiba-tiba menangis dan karena itu saja lagi.
“juyeon,” kali ini dijawab dengan 'ya' tetapi masih tidak ada mata yang saling bertukar rindu. “lihat dulu sebentar.” barulah juyeon mengangkat pandangan. itupun kosong. hyunjae meringis dalam hati. juyeon tidak berikan diri atensi sepenuhnya.
“ayo pulang, ya? daripada disini tapi gak ada yang bisa diomongin.”
sungguh. hyunjae berharap juyeon berkata tidak, kemudian tersenyum hangat sembari bercerita atau bertanya atau apapun. hilang sudah, hyunjae jadi senyum sedih, ketika juyeon malah mengangguk. berdiri meninggalkan. pergi duluan setelah bayar makanan serta minuman yang bahkan setengahnya saja tidak terjamah.
seharusnya hyunjae tidak berharap. bertahun-tahun pacaran dan tinggal bersama juyeon, bukankah itu lebih dari cukup buat hyunjae untuk mengenali juyeon lebih dari siapapun?
namun terima kenyataan, juyeon abu di pandangan.
-
sendiri di apartment. hyunjae hela nafas, tadi tepat setelah dari cafe, juyeon hanya antar turun hyunjae kemudian langsung pergi lagi dengan kalimat biasanya. “ada kerjaan. i'll be back at 7 for dinner.”
mau seberapa sering lelaki itu bilang, hyunjae akan tetap menunggu. walau rasa seperti bunuh diri. tatap kosong bangku meja makan tak ada penghuni didepannya, wajah datar tanpa emosi.
kenapa semua jadi begini, hyunjae tanya dalam benak. dulu saat mereka masih mabuk dalam cinta, masih awal-awal pacaran, ingat sekali. juyeon selalu ada disampingnya, perhatikan apa yang dikata atau diperagakan. hyunjae tertawa kecil ingatnya. bahkan mereka berpacaran karena juyeon yang meminta, mereka tinggal bersama juga karena juyeon.
lantas, sekarang mengapa hanya hyunjae yang seakan berdiri sendirian mencoba untuk menyeimbangkan jungkat-jungkit milik mereka?
terlalu banyak pertanyaan. relung sesak. bunga bermekar disitu berubah jadi rantai duri. tidak bisa dilepas, hanya bisa mengikat kencang hingga nafas terakhir menjauh dari hyunjae.
kesepuluh jemari naik, jadikan surai pelampiasan untuk ditarik. hyunjae menangis. badan gemetaran dengan helai rambut berjatuhan satu per satu. kebiasaan. kalau stress, hyunjae lakukan ini terus menerus. bisa habiskan waktu banyak. apalagi semua kenangan lama akan mereka berdua berputar layak gasing panas gerogoti akal sehat. rasanya pahit ketika hyunjae sadar bahwa ia malah ingin kembali ke masa lalu, bukannya menanti masa depan.
tunggu dulu ini jam berapa? mata yang memerah tatap kesamping, jam 6 lewat 30 menit. sebentar lagi juyeon datang. paksakan berdiri, hyunjae harus masak. dinner untuk berdua.
dan untuk kesembilan kalinya,
hyunjae selesai makan sendirian tepat di jam 8 dimana 7 menit kemudian juyeon datang, dan hiraukan makanan serta hyunjae yang terlihat kacau. berjalan lurus kearah kamar.
tapi, tidak. hyunjae tidak mau memendam semuanya sendiri.
“juyeon, kita butuh bicara.”
juyeon hanya lirik kebelakang, gumam “nanti saja, aku capek.” ah. the audacity. kalau ia capek, maka hyunjae apalagi. biarkan saja hancur. hyunjae mau egois. sekali ini saja. ingin coba mengatakan beban di kepala.
“kalau kamu capek, aku apalagi? aku mohon, berhenti begini. we need to sort things out and you know it deep down inside, stop acting.” suara hyunjae mulai meninggi, emosi berhasil masuk namun belum kuasai. beda dengan juyeon yang sekarang tenang hanya saja rahangnya mengeras. juga sepenuhnya hadap hyunjae, mata dengan tajam beradu.
“siapa yang acting, coba? udahlah, je. aku lebih capek.”
sudah. emosi hyunjae lepas. langsung cegat tangan juyeon yang hampir melenggang pergi.
“kamu.. serius bilang gitu? heh, kita bareng bertahun-tahun. and i cherished every moment we spent together. tapi belakangan ini,” ketawa miris terselip, hyunjae sedikit maju dengan jemari tunjuk juyeon tepat di wajah,
“aku gak ada ngerasa bahagia, juyeon.”
6 kalimat atas perasaan sebenarnya terucap. juyeon terdiam. begitu pula dengan hyunjae yang melangkah mundur, kepala ditundukkan tidak mau tatap wajah sang pacar. nafasnya masai, coba agar tidak ada tangisan jatuh.
rasanya semakin sakit, ketika juyeon sama sekali tidak ada berucap.