fantasia

han jisung tau hidupnya bagai mimpi ketika kakak kelas yang ia idamkan mengajaknya untuk menari bersama kala lelaki itu sebentar lagi lulus,

“jisung, nari bersamaku ya?” suaranya halus, perlahan rasuki seluruh pikiran jisung. tentu diterima. walau jelas jelas jisung tau kemampuan diri untuk menari kalah jauh dengan yang mengajak.

han jisung juga tau pasti tidak semudah itu. diajak – mengiyakan – menari bersama. tidak. tidak akan. lee minho— kakak kelas itu, bahkan berani bentak jisung didepan teman seangkatannya ketika kaki yang lebih muda tidak sengaja kehilangan jalannya.

tentu saja, mau seberapapun jisung mengagumi minho, jisung tidak pernah tau lelaki itu sepenuhnya. mau sebesar apapun tangisan jisung meminta minho berhenti untuk menyuruhnya menari, minho tidak akan lakukan. lantai berasa berubah jadi medan penuh paku.

tetapi han jisung tidak pernah membenci. maka dari itu dua hari sebelum lee minho benar benar lulus, saat lelaki itu meminta maaf atas kebrengsekannya, jisung iyakan. bahkan dengan sukarela mengajaknya latihan menari untuk pertama kalinya,

pun saat itu juga han jisung jatuh cinta dengan bagaimana tubuh mereka berdua seirama mengikuti lagu michael buble – sway, jatuh cinta dengan tatapan halus minho yang seakan membuai hati untuk mencinta lebih dalam.

ah, bahkan jisung terbayang bayang akan imajinasi mereka berdua menari di aula gedung kelulusan minho.

dan ketika hari kelulusannya datang, mungkin han jisung sedikit kecewa mengetahui minho terpaksa tidak menjemput dirinya, alasannya “jisung maaf, sepertinya mobilku bermasalah jadi kamu pergi sendiri saja ya? nanti aku menyusul kok.”

tetap diiyakan juga, toh. padahal hati sempat bilang tidak— ada yang seperti menganggu jisung. melarang untuk membiarkan minho sendiri.

han jisung tau mengapa perasaannya tidak enak, tetapi malah percayai kalimat minho yang berkata akan menyusul.

menyesal? tentu tidak. karena jisung masih dapatkan tariannya,

bersama dengan lee minho yang hanya ada di imajinasinya saja.

kalau di dalam hubungan, butuh dua orang. dua kepala. dua batin. dua hati. tapi satu jalan. satu perasaan. itu, hal umum bukan?

tapi mengapa sunwoo tidak bisa mengerti, haknyeon capek melihat pacarnya itu— atau jangan jangan sunwoo paham namun pura pura tidak mengerti dan malah biarkan hubungan mereka berubah abu. diatas ambang ingin lepaskan hanya saja masih sayang dan ingin pertahankan tapi rasanya terlalu sakit.

hela nafas berat. bahkan ketika jam sudah berdetak bersama dengan angka 12, sunwoo masih belum pulang. kepala haknyeon terkulai lemas di meja penuh dengan makanan yang ia masak untuk dinner. pun mata tidak henti melihat kearah jendela menanti cahaya mobil menyelinap masuk, telinga juga bersiap mendengar pintu terdorong serta kalimat,

‘aku pulang, haknyeon.’

ah. rindu. kala sunwoo tidak pernah ucap kalimat itu lagi belakangan ini— entah lelaki itu terlalu capek untuk ucapkan, atau memang hati sudah malas tidak ingin ingatkan haknyeon akan kehadiran sang pacar.

dan benar, sunwoo datang satu jam kemudian hanya dengan suara pintu terbuka, kemudian sudah. tidak ada lagi. haknyeon senyum miris tetapi tetap menyambut pacarnya, dimana sunwoo terkejut melihat dirinya. apa mungkin karena haknyeon bukanlah seseorang yang bisa bergadang? mungkin.

“welcome home, sunwoo! ganti baju dulu ya? baru habis itu makan, aku masak makanan favoritmu,” nada haknyeon ceria dengan mata sedikit memerah menahan tangis. jemari bantu sunwoo melepaskan jaket denim walau hati seperti dihancurkan ketika aroma lavender masuk ke penciumannya— itu bukan bau parfumnya, ataupun parfum sunwoo. berarti.. parfum milik orang lain. dan aromanya benar benar melekat ke tubuh sunwoo.

“tidak, tadi sudah makan.”

secara tidak sadar air matanya menetes, haknyeon langsung berpaling sebentar— tidak terlihat juga toh sunwoo sudah jalan duluan meninggalkan.

cukup. rasanya, sakit. sangat sakit. sesak. benar-benar sesak. tidak bisa nafas. gila, haknyeon sudah gila. tiba tiba tahan tangan sunwoo, jemari hampir mencengkram sangking takutnya.

“a-ayo bi-bicara. kita butuh bicara.” nafasnya masai buat suara gagap. apalagi dengan sunwoo yang tatap malas dengan rahang sedikit mengeras. peduli setan jika lelaki itu capek setelah jalan sedari tadi siang, haknyeon benar-benar ingin tau mereka sebenarnya apa sih sekarang.

berakhir dengan mereka duduk saling berhadap di ruang tamu. sunwoo yang santai tidak ada beban, haknyeon yang bergetar gugup.

“bicara apa? cepat, aku mau tidur.”

astaga. haknyeon tatap sang raja di hatinya nanar, bahkan suara yang dulu rasa hangat memeluk sekarang berubah dingin menusuk sanubari.

“aku cuma mau tanya.. kita apa?” sunwoo naikkan alisnya, bingung atas pertanyaan haknyeon. “maksudmu?” pun tidak beri jawaban.

“hubungan kita sekarang, masih pacaran? atau apa? aku butuh kejelasan, nu.”

“kenapa tiba-tiba nanya gitu?”

tuh, kan. seharusnya haknyeon sudah tau ini akan terjadi. 2 tahun bersama sunwoo buat lelaki itu mudah ditebak, ia akan selalu membalikkan jawaban jika sedang berbohong, juga jika dirasa jawaban sebenarnya akan menyakitkan. haknyeon cukup tau.

“berhenti membalikkan pertanyaan. you know i know you well so stop— stop pretending. it pains me more.”

sunwoo hela nafas. kini tatapannya melembut, seperti penuh kasihan dan rasa bersalah. “i’m really sorry, haknyeon.”

sudah. semesta haknyeon hancur di depan mata tepat setelah sunwoo meminta maaf. tersenyum lebar, namun tangisan sudah tidak bisa dibendung. 5 menit kehampaan diisi isak tangis haknyeon dengan sunwoo yang menunduk, tidak mau melihat karena tau diri tidak akan kuat— tangan saja sudah mengepal menahan agar tidak ikut menangis.

“da-dari kapan—?” haknyeon bertanya. persetan, menyakiti diri sendiri. toh juga harus tau. kalau harus pergi, setidaknya harus ada alasan jelas dibalik kepergiannya.

“2 bulan yang lalu. saat ada training keluar kota. namanya chanhee,” sunwoo tatap langsung haknyeon, “hak, again, i’m sorry.”

selesai. haknyeon lepaskan sunwoo setelah lelaki itu mengaku. sebenarnya salah apa sih, dirinya? sampai diduakan oleh pujaan hati. kurang apa? ataukah memang haknyeon tidak pantas dicinta? sudahlah. kepalanya benar benar berasa ingin pecah.

“gak apa-apa. terimakasih, sunwoo.”

tentu adalah hal yang umum bagi dua kepala, dua pikiran, dua hati yang harus berjalan dengan searah saat tenggelam dalam rasa suka. namun ketika salah satu berpaling, pun yang lain hancur—

bagai kaleidoskop yang pecah berubah menjadi candramawa.

hyunjin bisa berkata, kok. dengan jujur jika ditanya tentang ‘yang jeongin tuh, gimana sih bagimu? like how much important he is to you?’ lalu yang pertama keluar adalah senyuman manis dari si tampan. sedikit ketawa kecil.

“yakin mau nanya saya tentang ini?” hyunjin sebagai ketua osis, jadi sasaran empuk untuk di interview. pun ia hanya bisa duduk, dengan seksama menjawab berbagai macam pertanyaan dari adik kelas ataupun seangkatannya. hanya saja tidak pernah berharap ada yang menanyakan tentang pacarnya— yang kalau boleh bisa berkata,

hyunjin lebih suka menjawab apapun tentang jeongin. sehingga ketika felix sang pelontar pertanyaan tadi mengangguk pasti, disitulah hyunjin merasa seluruh rasa bosannya hilang.

“yang jeongin itu...”

gimana, ya? pikiran hyunjin berkelana mencoba mencari perkataan yang tepat. susah. sangat susah. hyunjin yakin bisa berjam-jam bercerita tentang pacarnya, namun saat yang sama hyunjin tidak tau mau menggunakan kata apa karena memang jeongin terlalu indah untuk dirangkum hanya dengan kata saja.

singkatnya sih, jeongin bagai kaleidoskop di hidup candramawanya. dari awal hyunjin lihat jeongin saat si manis itu baru masuk sekolah sudah langsung terpikat. layak bertemu soulmate saja.

“... kalau saya pikir-pikir, gak ada kata yang bisa jelasin dia.” seluruh orang di ruangan tertawa mendengarnya (tidak hanya hyunjin dan felix yang ada disana). di pikiran mereka mungkin terlintas ‘wah, ketua osis kita satu ini sangat menyayangi pacarnya.’ dan ya, memang betul.

hwang hyunjin sangat menyayangi yang jeongin. bagai maharani dalam sanubari, kerennya sih begitu.

“yang jeongin segalanya bagi saya. cheesy memang, tapi saya tidak bisa bohong tentang itu,” kalimat dijeda, hyunjin menoleh kearah seseorang diambang pintu— “tanya saja sendiri kepada jeongin, iya kan sayang?”

lantas semua orang berbalik, sedikit berteriak gemas baru menyadari bahwa sang pacar ketua osis sedari tadi mendengarkan dengan pipi bermekar merah akan malu.

“kak hyunjin, apaan sih!” jeongin mendumel, tapi tetap berbisik ‘iya, benar’ tentang perkataan hyunjin yang tadi.

toh juga mereka berdua saling jaga semesta masing-masing.

part two

diawali dengan hening, kedua raga berasa lara.

namun sekarang, hyunjae bagai lakukan adorasi. telinga panas. tenggorokan tercekat. nafas berhamburan diatas teriakan yang masih bersahutan. telah pupus rasa cinta selaksa di relung, hadirkan amarah meluap-luap tanpa perisai.

karena juyeon lepas kendali. “kalau kamu gak bahagia, maka akupun juga! aku lelah, hyunjae. kamu pengen kita terus menerus tersenyum bercanda gurau tanpa pedulikan dunia dan itu sangat mustahil, aku gak bisa gitu.”

“jadi semua ini salahku?! demi tuhan, juyeon, aku hanya mencoba memperbaiki hubungan kita. tapi kamu terlalu egois! selalu saja anggap seakan aku tiada!”

“siapa yang bilang semuanya salahmu?! fuck it, hyunjae. enough of this.” suara juyeon lirih di akhir. walau mata setajam elang menatap sang pacar yang rekah tangisan. begitu pula dengan hyunjae yang menatap balik dengan amarah membara.

pun harsa melesap, hyunjae tidak tahan juyeon pergi. meninggalkan begitu saja. hilang dibalik pintu apartment saksi bisu atas hubungan keduanya yang bagai kelabu.

“bagaimana bisa aku membuatmu bahagia, jika kamu sendiri gak pernah cerita.”

hyunjae bisik sedih, malam itu hatinya berdegup mendengungkan elegi yang perih.

-

4 hari. 4 hari hyunjae sendiri. 4 hari juyeon hilang.

jangan bilang hyunjae tidak panik, tidak mencari. ia bahkan berani menelfon adik juyeon (lee minho, namanya. tidak pernah akur.) hanya sekedar untuk bertanya kemana sang raja di sanubari.

lucu, ya. hyunjae ketawa kecil. tatap kesamping, dimana tidak ada yang menempati kasur bagian kiri. apakah asmaraloka milik mereka sudah waktunya untuk pupus? jujur saja perasaan kacau. juyeon tidak beri hyunjae kesempatan, sebaliknya juga begitu.

4 hari terasa seperti setahun.

hyunjae hampir tidak bisa jaga kewarasannya. kalau saja ia bisa, ingin teriak betapa hati meminta untuk pindah kepemilikan. ingin teriak betapa kaki hampir melangkah keluar dari jungkat-jungkit. ingin teriak bahwa batin capek jadi perwakilan perasaan.

tetapi akhirnya apa?

kembali terjebak. naik turun, terus menerus. tidak ada henti. awalnya bahagia. lama kelamaan, penuh dengan duri. hyunjae hela nafas pasrah.

ting

pikiran buyar karena notifkasi pesan. dari minho. hyunjae dengan malas membaca, 'coba ke taman, sekarang.' bingung. ketika ia perhatikan benar-benar, barulah sadar. hari ini hari dimana juyeon pertama kali ucap kata cinta padanya. wajah sedikit cerah, apakah 4 hari yang lalu hanya sebuah candaan untuk kejutan?

pun hyunjae langsung bergegas, pakai baju serapi mungkin. taman dekat dengan apartment jadi waktu tidak perlu habis banyak. sesampainya disana, hyunjae menoleh kesana kemari. coba temukan eksistensi juyeon.

ah, ketemu! ada di dekat penjual balon serta es krim. berdiri gagah dengan senyum manis favorit hyunjae. tanpa basa-basi, tentu hyunjae datangi. air mata jatuh. rasanya begitu membuncah.

if three's a crowd, and two was us,

karena hyunjae tau,

one slipped away.

tujuan ia disana adalah untuk sadarkan bahwa juyeon berubah menjadi fatamorgana miliknya yang tidak akan pernah kembali.

based on billie eilish – wish you were gay

tuk, tuk, tuk.

jemari hyunjae mengetuk meja perlahan secara berulang, senyum di wajah masih terlukis walau tidak secerah beberapa menit lalu ketika diajak makan ke sebuah cafe yang sangat familiar untuknya. juga untuk lelaki tampan (sang pengajak) di depan mata. sekali. dua kali. hyunjae mengerjapkan mata.

“hey,” panggil lembut. lucu sekali diri jadi suara pertama, biasa juga hanya jadi penyaut. menyedihkan lagi, itu dalam kurun waktu entah berapa menit. dan nihil. lelaki itu masih saja sibuk dengan hp. senyum tadi sedikit jatuh, ah tidak, jangan. hyunjae kembali paksakan bibir agar bentuk lengkung, “juyeon.” kedua kali panggil.

juyeon hanya berdeham. mata tidak tatap balik hyunjae. bahkan jemari yang seharusnya bertaut dengan hyunjae masih menari tidak karuan diatas layar. kenapa hati nyeri, ya? hyunjae tutup mata sebentar. mengais nafas bergetar. tidak lucu jika tiba-tiba menangis dan karena itu saja lagi.

“juyeon,” kali ini dijawab dengan 'ya' tetapi masih tidak ada mata yang saling bertukar rindu. “lihat dulu sebentar.” barulah juyeon mengangkat pandangan. itupun kosong. hyunjae meringis dalam hati. juyeon tidak berikan diri atensi sepenuhnya.

“ayo pulang, ya? daripada disini tapi gak ada yang bisa diomongin.”

sungguh. hyunjae berharap juyeon berkata tidak, kemudian tersenyum hangat sembari bercerita atau bertanya atau apapun. hilang sudah, hyunjae jadi senyum sedih, ketika juyeon malah mengangguk. berdiri meninggalkan. pergi duluan setelah bayar makanan serta minuman yang bahkan setengahnya saja tidak terjamah.

seharusnya hyunjae tidak berharap. bertahun-tahun pacaran dan tinggal bersama juyeon, bukankah itu lebih dari cukup buat hyunjae untuk mengenali juyeon lebih dari siapapun?

namun terima kenyataan, juyeon abu di pandangan.

-

sendiri di apartment. hyunjae hela nafas, tadi tepat setelah dari cafe, juyeon hanya antar turun hyunjae kemudian langsung pergi lagi dengan kalimat biasanya. “ada kerjaan. i'll be back at 7 for dinner.”

mau seberapa sering lelaki itu bilang, hyunjae akan tetap menunggu. walau rasa seperti bunuh diri. tatap kosong bangku meja makan tak ada penghuni didepannya, wajah datar tanpa emosi.

kenapa semua jadi begini, hyunjae tanya dalam benak. dulu saat mereka masih mabuk dalam cinta, masih awal-awal pacaran, ingat sekali. juyeon selalu ada disampingnya, perhatikan apa yang dikata atau diperagakan. hyunjae tertawa kecil ingatnya. bahkan mereka berpacaran karena juyeon yang meminta, mereka tinggal bersama juga karena juyeon.

lantas, sekarang mengapa hanya hyunjae yang seakan berdiri sendirian mencoba untuk menyeimbangkan jungkat-jungkit milik mereka?

terlalu banyak pertanyaan. relung sesak. bunga bermekar disitu berubah jadi rantai duri. tidak bisa dilepas, hanya bisa mengikat kencang hingga nafas terakhir menjauh dari hyunjae.

kesepuluh jemari naik, jadikan surai pelampiasan untuk ditarik. hyunjae menangis. badan gemetaran dengan helai rambut berjatuhan satu per satu. kebiasaan. kalau stress, hyunjae lakukan ini terus menerus. bisa habiskan waktu banyak. apalagi semua kenangan lama akan mereka berdua berputar layak gasing panas gerogoti akal sehat. rasanya pahit ketika hyunjae sadar bahwa ia malah ingin kembali ke masa lalu, bukannya menanti masa depan.

tunggu dulu ini jam berapa? mata yang memerah tatap kesamping, jam 6 lewat 30 menit. sebentar lagi juyeon datang. paksakan berdiri, hyunjae harus masak. dinner untuk berdua.

dan untuk kesembilan kalinya,

hyunjae selesai makan sendirian tepat di jam 8 dimana 7 menit kemudian juyeon datang, dan hiraukan makanan serta hyunjae yang terlihat kacau. berjalan lurus kearah kamar.

tapi, tidak. hyunjae tidak mau memendam semuanya sendiri.

“juyeon, kita butuh bicara.”

juyeon hanya lirik kebelakang, gumam “nanti saja, aku capek.” ah. the audacity. kalau ia capek, maka hyunjae apalagi. biarkan saja hancur. hyunjae mau egois. sekali ini saja. ingin coba mengatakan beban di kepala.

“kalau kamu capek, aku apalagi? aku mohon, berhenti begini. we need to sort things out and you know it deep down inside, stop acting.” suara hyunjae mulai meninggi, emosi berhasil masuk namun belum kuasai. beda dengan juyeon yang sekarang tenang hanya saja rahangnya mengeras. juga sepenuhnya hadap hyunjae, mata dengan tajam beradu.

“siapa yang acting, coba? udahlah, je. aku lebih capek.”

sudah. emosi hyunjae lepas. langsung cegat tangan juyeon yang hampir melenggang pergi.

“kamu.. serius bilang gitu? heh, kita bareng bertahun-tahun. and i cherished every moment we spent together. tapi belakangan ini,” ketawa miris terselip, hyunjae sedikit maju dengan jemari tunjuk juyeon tepat di wajah,

“aku gak ada ngerasa bahagia, juyeon.”

6 kalimat atas perasaan sebenarnya terucap. juyeon terdiam. begitu pula dengan hyunjae yang melangkah mundur, kepala ditundukkan tidak mau tatap wajah sang pacar. nafasnya masai, coba agar tidak ada tangisan jatuh.

rasanya semakin sakit, ketika juyeon sama sekali tidak ada berucap.

we can't go with each other.

-

tuk. suara kursi yang diduduki. haknyeon hela nafas pelan, paham siapa itu. jujur saja. rasanya capek. terus menerus didatangi, diberi kasih sayang serta harapan padahal keduanya sama tau tidak bisa berdampingan.

pikiran terbaca. “jangan gitu, nyeon. mana tau nanti kedepannya gimana,” yang berkata pun berdiri, peluk haknyeon dari belakang. sedari tadi memang haknyeon tidak mau lihat, sok menyibuki diri dengan menyusun kartu tarot yang sengaja dihamburkan.

benar-benar aneh. haknyeon ingin kembali ke hidupnya yang lama, ingin benci lelaki itu tapi tidak menolak pelukan. bahkan bisa rasakan diri semakin tenggelam akan kenyamanan yang diberi.

“sunwoo, hentikan. tidak ada harapan lagi.”

demi tuhan mereka berbeda. bahkan jauh dari kata berbeda. mau dipaksa bagaimanapun, haknyeon tidak bisa seperti sunwoo. sebaliknya juga begitu.

“masih ada, buktinya kak hyunjae—”

“—tolong jangan lupa, kak hyunjae kan malaikat. kodrat kalian masih sama, makhluk abadi. juga ia bisa diubah. sedangkan aku? aku manusia. kamu iblis. kodratku bahkan sebenarnya hanya untuk pemuas raga kalian saja.”

sunwoo menggeram. ah, haknyeon lupa. lelaki itu paling tidak suka jika haknyeon singgungkan tentang mereka seharusnya bagaimana, ia hanya bisa diam saja. takut.

mereka hening beberapa menit, sebelum akhirnya sunwoo membalikkan badan haknyeon, satukan kening. “haknyeon, aku tidak peduli tentang itu. tolong. biarkan kita seperti ini dulu. biarkan kita ada sebelum aku dan kamu hilang.”

rasanya memang sakit, capek. tapi haknyeon akui, kalau tanpa sunwoo—memangnya ia bisa tahan?

for eternity.

-

setelah berjam-jam mengurung diri, hyunjae dengan malas keluar kamar. biarkan kaki terluka karena berjalan diatas serpihan kaca yang dihancurkan tadi malam. lagian nanti bisa pulih sendiri, toh. seiring dengan ingatannya yang kembali, kekuatannya juga mengikuti.

hyunjae menutup matanya sebentar, mencoba menetralkan pikiran sehingga tidak terlalu berat saat berjalan. tangan hampir membuka pintu saat perasaannya berubah tidak enak. pun langsung menjentikkan jemari, dimana kemudian belati putih muncul di genggaman. ah, hyunjae sedikit merasa tambah lemas setelah melakukannya. padahal dulu ia ingat bisa membuat pedang hingga ratusan tanpa merasakan efeknya sama sekali.

dan tuh, kan. benar. tepat saat hyunjae keluar dari kamar, ada seseorang disamping kiri. secara refleks memajukan belati tepat di leher seseorang tersebut yang hanya terdiam di tempat tanpa ekspresi apapun.

ada kekehan sebelum kata “santai, kak hyunjae.” itu sunwoo. awalnya hyunjae masih mempertahankan belati, namun diturunkan setelah ingat bahwa dulu diri dekat dengan lelaki rambut merah itu. lalu mau gimanapun, karena sunwoo lah ia bisa bertemu lagi dengan juyeon.

“sepertinya ingatan dan kekuatanmu telah kembali, ya?” mereka berdua sekarang duduk berhadapan di meja makan, (hyunjae yang suruh, secara sunwoo masih dibilang tamu disini) hawa diantara mereka sudah tidak setegang tadi.

“ya, tapi belum semua. menyakitkan saja.” hyunjae hela nafas, sunwoo mengernyit bingung. yang mana ia berbisik dibawah nafas. untung hyunjae dengar. maka dari itu langsung disela.

“belum semua? bukankah seharusnya semua setelah kak juyeon melakukan—”

“apa yang dia lakukan padaku?”

kali ini sunwoo yang hela nafas. 'salah bicara,' begitu isi pikirannya sekarang. “akan kujelaskan tapi tunggu dulu, kak hyunjae sudah ingat sampai mana?”

hyunjae terdiam sejenak. hmm. sampai mana ya, hyunjae sendiri bingung. yang jelas sudah ingat siapa dirinya, yaitu sesosok malaikat rendahan yang jadi anak angkat dari sang ratu—kemudian ia juga ingat pertama kali bertemu dengan juyeon saat lelaki itu tidak sengaja berada di theatre para malaikat yang ditinggalkan (tempatnya sama dengan mimpi pertama) dan ya akhirnya mereka berdua jadi sering bertemu disitu.

ah, ya benar. hyunjae ingat hanya sampai bagian dimana mereka berlari, persis sama seperti di mimpi keduanya.

“sampai yang dikejar-kejar di hutan. tapi sunwoo, anehnya aku sama sekali tidak ingat tentang kerajaanku sendiri? aku hanya ingat dengan diriku, serta juyeon. ada kamu tapi itupun juga sedikit. aku juga tidak ingat dengan aturan-aturan, hanya ingat cara menggunakan kekuatanku.”

mendengarnya, sunwoo menyeringai. “ternyata berhasil.” itu buat hyunjae siaga, hampir memajukan belati putihnya lagi sebelum akhirnya sunwoo panik. menggeleng-geleng ribut seperti menjelaskan bahwa tidak ada yang salah.

“tidak, kak, relax. yang juyeon lakukan padamu kemarin, ia menjadikanmu salah satu dari kami. kasarnya, merenggut kesucianmu dan mengotorimu agar menjadi iblis. makanya kak hyunjae merasa sakit, kan? malam itu juyeon memasukkan kegelapan miliknya lewat cengkraman dan racun miliknya lewat gigitan. dan ya, karena itulah kak hyunjae tidak bisa ingat dengan kerajaanmu yang dulu karena sekarang,”

“kamu mengabdi pada kaum kami.”

semua masuk akal sekarang. begitu toh, tapi apa gunanya hyunjae jadi iblis jika juyeon saja tidak ada disini? miris. malah yang ada disini sekarang adiknya, dan bukan dirinya.

“aku ada disini, kok.”

kaget. badan hyunjae terlonjak, juyeon meletakkan dagunya di bahu. sejak kapan lelaki itu ada disitu? ini memalukan, apalagi sunwoo masih ada disitu—lelaki rambut merah itu mendecak, kemudian menghilang tidak mau mengganggu kakak serta kakak iparnya berduaan.

leher dikecup lembut tepat setelah sunwoo pergi, “hyunjae, maaf. jangan marah ya.” juyeon sedikit paksa hyunjae untuk berdiri. lalu ditarik di pelukan. hangat, rasanya hangat. sampai-sampai hyunjae menutup mata nyaman, hanya beri anggukan jadi jawaban.

juyeon sedikit terkekeh lihat hyunjae begitu, bibir dengan halus menari di dahi kemudian berucap,

“ayo pulang, bersama.”

pain of the unknown.

-

kamarnya gelap. tidak ada sinar matahari yang biasanya masuk malu-malu dari belakang gorden. sama sekali tidak ada. kasur berantakan, selimut tergeletak diujung. bantal dilempar melayang keluar. ini bukan seperti biasanya.

memang sengaja hyunjae biarkan begini. agar diri bukan satu satunya yang hancur. hahaha, tawa miris menggema. hyunjae cengkram rambut, tidak menginginkan rasa pening yang sedari tadi menghantui.

dimana lelaki itu? dimana?

dimana ia saat hyunjae membutuhkannya?

matanya perih, sudah tidak bisa menangis lagi. “berhenti, hentikan. tolong,” bibirnya bergumam terus menerus,

sakit. sangat sakit. tubuhnya terasa begitu panas, hyunjae simpulkan efek dari apapun yang kemarin juyeon lakukan padanya.

juga otak tidak bisa berpikir jernih,

ingatannya perlahan kembali. seakan membunuh hyunjae lebih dalam, karena juyeon sekarang tidak ada disampingnya. tidak menemaninya. ia berjuang sendiri, hanya untuk mempertahankan kewarasan.

“jadi, hyunjae mau ceritanya dimulai dari mana?”

juyeon bertanya, berikan seluruh atensi kepada hyunjae yang sekarang menyender ke headboard (disuruh oleh juyeon, katanya agar hyunjae tidak pegal). posisi mereka berdua sekarang berhadapan. tidak lagi bersampingan dipinggir kasur.

hyunjae mengedikkan bahu. masih bingung entah apa awal dari cerita mereka. namun ia penasaran, “kamu bilang kita dikutuk, kan?” juyeon langsung mengangguk, “lalu kenapa bisa kesini? bukankah kalau pasangan dikutuk biasanya tidak bisa bertemu?”

mendengar itu juyeon tertawa lepas. hatinya benar-benar senang, tidak peduli dengan hyunjae yang menatap aneh. karena sepertinya hyunjae tidak sadar bahwa barusan saja tadi seperti mengiyakan kalau mereka berdua memang terikat, tapi baguslah jika begitu.

“ya memang kita tidak bisa bertemu dulu, hyunjae. kalau bisa sejak dulu maka aku tidak mungkin akan menunggu selama ini. kutukan sialan itu melarangku bertemu denganmu lebih cepat,”

jemari juyeon bergerak maju, memainkan sedikit jemari hyunjae yang sekarang sudah tidak berjengit lagi dan malah membiarkan saja jemari mereka berdua saling menari dengan satu sama lain.

“aku bisa disini karena kamu kemarin sempat memanggil namaku. kutukan kita memang akan berakhir jika kamu mengingatku, atau mengucap namaku, apapun yang berhubungan denganku. dan ya begitu lah akhir dari kutukan kita.”

jadi begitu ternyata, hyunjae menganggut paham. namun sedetik kemudian alisnya bertaut. kembali bingung. “kutukan kita hanya begitu saja?”

juyeon menggeleng. “tidak, itu hanya sebagiannya saja. kutukan kita berbeda, hyunjae. kamu yang dibuang dari kerajaan dengan ingatan dihapus, dan aku yang dikurung 5 tahun dengan kekuatanku diambil separuh. karena itu aku bahkan sampai meminta bantuan adikku.”

“adikmu?”

“ya. kamu kemarin bertemu dengannya duluan, di gerai milik haknyeon.”

tunggu dulu, apa? berarti lelaki rambut merah itu, adik juyeon? sang pangeran kedua? hyunjae mendelik kaget. pantas saja lelaki itu melihatinya dengan aneh. tenyata oh ternyata. lihat reaksi hyunjae begitu juyeon hanya senyum tipis, paham pasti masih mencoba untuk memproses.

“namanya sunwoo. dia membantuku mencari dimana keberadaanmu disini, sekaligus memberiku ide untuk mencoba membuatmu ingat lewat mimpi. dia juga yang sengaja memberi seperempat kekuatannya ke haknyeon. kalau tidak ada sunwoo ataupun haknyeon aku rasa aku tidak akan pernah bisa bertemu denganmu lagi,”

“tapi juyeon..” hyunjae baru sadar akan sesuatu, sehingga langsung panggil juyeon dimana lelaki itu langsung berdeham lembut tanda kalau ia sedang mendengarkan.

hanya saja hyunjae sedikit takut mengucapkannya, entahlah. rasanya seperti daritadi tidak dijelaskan seakan memang tidak mau diungkap. juyeon sadar akan ketakutan hyunjae, dan jemari yang sedari tadi hanya bermain berubah mengenggam sepenuhnya. 'gak apa-apa, ngomong aja' secara tidak verbal menyampaikan ke hyunjae.

“apa kita melakukan sebuah kesalahan besar..? tidak mungkin kan kita langsung dikutuk begitu saja, dan juga apa aku seorang iblis sama sepertimu?”

hyunjae selesai bertanya, juyeon mengambil nafas gusar. “ya, kita sendiri saja sudah kesalahan yang terbesar. aku, kamu. seharusnya sama sekali tidak terikat, bahkan untuk bertatap muka seperti sekarang saja sudah terlarang.”

“hah?”

“kita beda, hyunjae. aku iblis, kamu malaikat.”

pantas saja dikutuk. pun hyunjae menunduk, selama ini ia bukan manusia? ternyata adalah malaikat dan lebih parah lagi terikat pada seorang iblis. tidak habis pikir. kepalanya tambah pusing.

terhitung sudah sejam lebih sejak juyeon menceritakan tentang mereka, dan bagian ini yang paling hyunjae tidak sukai. bagaimana bisa mereka berbeda, namun terikat? sudahlah, hyunjae tidak mengerti.

“maaf.” satu kata dari juyeon, serta hyunjae yang ditarik ke pelukan. hancur. juyeon hangat. tapi sesak. hyunjae menangis, entah mengapa. rasanya sangat sakit. walau ingatan belum kembali tapi hyunjae akui rasa di relung pasti tetap ada dan sekarang begitu menusuk.

beberapa menit terlewat yang hanya diisi isak tangis hyunjae, hingga juyeon memecahkannya dengan mengatakan “aku sayang kamu, hyunjae,”

lalu menutup mata hyunjae secara tiba-tiba, dengan satu tangannya lagi mencengkram tengkuk, serta bibir menggigit dibawah telinga,

“maka dari itu aku minta maaf, lagi.”

dan hyunjae tidak sadarkan diri begitu saja.

karena terbangun dengan tenang, hyunjae malah merasa aneh. tadi, sama sekali tidak ada mimpi. kosong. benar-benar hanya tidur tanpa mimpi. entah kenapa malah membuat hati gelisah.

“tidur lagi, hyunjae.”

hyunjae kaget. badannya terlonjak. siapa? siapa itu? kepala ditoleh kesana kemari ketakutan, lalu tangkap figur tinggi diujung kamar berdiri melihati. figur itu.. familiar. tunggu dulu, hyunjae perhatikan benar-benar.

astaga. itu juyeon, lelaki yang tempati mimpi belakangan ini. sontak hyunjae meringkuk takut, badannya bergetar. ini, mimpi kan ya? tidak mungkin sang pangeran iblis ada di rumahnya.

“bukan mimpi.” pikiran dibaca, “sudahlah, tidur lagi sana. masih jam 2 pagi.” juyeon berkata tegas, tapi sorot matanya lembut. malah tambah buat hyunjae tremor. ia geleng-geleng kuat tidak mau mematuhi perkataan juyeon. tangan mencengkram selimut sampai keatas bahu sebagai bentuk pertahanan.

“k-kenapa.. kenapa kesini..?” suara kecil, bahkan untuk bertanya saja hyunjae hampir tidak sanggup. sudah mau menangis. kenapa semua ini terjadi padanya? ia hanya ingin hidup tenang tanpa ada masalah apapun. cukup cukup ditinggalkan oleh keluarga, malah ditambah dengan diganggu oleh iblis.

juyeon terkekeh, “karena aku ingin melihat soulmate-ku, apa itu salah?”

“SALAH! gue bahkan gatau kenapa lo gangguin gue! dan kita bukan soulmate!” sontak hyunjae berteriak, entah darimana keberaniannya. mendengar itu juyeon hanya terdiam. malah dekati hyunjae yang langsung menyesal berteriak, bibir berbisik 'jangan kemari' berulang kali. toh juga juyeon tidak peduli. berakhir duduk di ujung kasur hyunjae.

terlihat bahwa rahang juyeon sedikit mengeras. tanda lelaki itu marah. “hyunjae.” yang dipanggil tetap meringkuk tidak mau merespon. “lee hyunjae, kemari.” kedua kali, dan disitu hyunjae tau harus mengikuti kata sang pangeran. perlahan hyunjae bergeser, duduk tepat disamping juyeon dengan posisi kedua kaki ditekuk sampai dada.

”... ma-maaf. tapi aku tidak percaya semua ini..” karena terlalu takut akan dibunuh, (padahal juyeon tidak akan pernah bisa lakukan itu) hyunjae ubah tata bahasanya mengikuti juyeon. “beri tau aku, juyeon. kenapa harus aku? apa yang kamu mau dari ingatanku?” untuk pertama kalinya, hyunjae panggil langsung nama juyeon dan bertatap mata.

itu sukses membuat juyeon agak kaget, tidak percaya bisa mendengar namanya dipanggil lagi oleh hyunjae. ia menghela nafas pelan. menahan keinginan untuk menarik hyunjae ke pelukannya, mau bagaimanapun juyeon rindu. sangat rindu.

“karena kita sudah terikat puluhan tahun lalu. kamu milikku dan sebaliknya begitu. aku hanya berusaha membuatmu ingat tentang dirimu sendiri, tentang diriku, tentang kita. dengan begitu kutukannya akan berakhir.”

hyunjae mengernyit. masih tidak paham. kepalanya pusing, sangat pusing. karena ini masih jam 2 pagi, sangat jelas jika otaknya sedikit tidak bekerja.

“kutukan apa?”

juyeon tersenyum, mungkin bahagia bahwa hyunjae mulai bertanya tentang mereka. tangannya tanpa sadar naik, usap rambut hyunjae. tubuh hyunjae langsung berjengit. kaget. tapi tidak menghindar. lihat itu juyeon tambah senyum. hyunjae sudah tidak sebegitu takutnya lagi.

“ceritanya panjang, hyunjae yakin bisa tahan dengarkan? ini sudah larut loh.”

“bisa.”