fantasia

“aiishh! why won't you guys let me drive?!” oikawa merengek, merasa tidak adil bagaimana iwaizumi lebih memilih semi sebagai orang yang akan mengemudi mobil.

shirabu menghela nafas, lalu jawab pertanyaan oikawa. “kita bakal 100% mati kalau lo yang bawa,”

oikawa hanya merengut mendengar jawaban shirabu tetapi tetap berjalan stabil disamping iwaizumi yang tidak terlalu menghiraukan pertikaian kecil diantara sang model dan si genius.

saat ini mereka sudah berada di garasi kala waktu telah menunjukkan jam 2 pagi, lengkap dengan persenjataan serta outfit khusus yang dipilihkan oikawa tempo hari. iwaizumi menggunakan turtleneck hitam dilapis bulletproof vest dipadukan dengan celana hitam berikat pinggang putih serta dua pistol (specifically, glock 19 and beretta 92fs) yang berada di kedua sisi.

untuk oikawa, ia menggunakan kostum yang hampir sama seperti iwaizumi. bedanya tidak memakai turtleneck—hanya kaos lengan panjang hitam serta luarannya dilapis lagi dengan bomber jacket warna abu-abu gelap agar tidak merasa dingin nanti. juga, ia membawa dua rifle, menenteng remington 700 dan ar-15 yang diselimpangkan di belakang punggung.

diantara mereka berdua hanya semi yang paling berbeda sendiri outfitnya. lelaki berambut abu itu menggunakan haori hitam-putih bergaris dengan kemeja hitam sebagai dalaman kemudian dilengkapi celana abu-abu kebesaran dan katana berada di samping kanan. ada alasan khusus semi memilih menggunakan outfit ini—katanya untuk tetap menghormati darah keturunannya yang mengalir di tubuh.

kalau shirabu, bagaimana? ya tidak berganti outfit. ia tidak ikut, sehingga hanya bisa tatap ketika semi, oikawa dan iwaizumi sudah menaiki mobil. tapi sebelum mereka benar-benar pergi dari markas, shirabu melangkah maju seperti ingin menyampaikan sesuatu ke semi.

pun jendela mobil milik pengemudi langsung turun, “kenapa, shira?” pertanyaan semi layak tertelan udara sangking halusnya suara yang dikeluarkan.

shirabu menggeleng. tangan dibawa naik untuk mengelus kecil rambut semi. lucu, mereka berdua seakan lupa ada iwaizumi dan oikawa yang sedari tadi hanya menahan tawa serta menggeleng-geleng tidak percaya bagaimana bisa mereka belum pacaran.

just.. come home safely.” shirabu menggumam. lantas semi ketawa, cubit hidung yang lebih muda sebagai tanda akan janji tidak terucap bahwa ia bakal pulang selamat.

pada saat itu juga oikawa tidak bisa menahan cengirannya lagi lalu berakhir menggoda semi dan shirabu, “awww cie cie kapan pacarannya nih~”

“oikawa anjing what a fucking way to ruin the mood” semi menggeram, shirabu hanya memutar matanya malas sambil mendesis sebal.

“kalian apa gak capek begini terus tiap hari? udah, ayo pergi. we're almost late.” akhirnya iwaizumi turun tangan kala dirasa sudah terlalu lama mengobrol. pun semi tanpa banyak omong langsung menjalankan mobil keluar dari garasi walaupun sebelum itu sempat memberi senyuman kearah shirabu.

setelah mobil tidak bisa dilihat, shirabu bergegas balik masuk ke dalam markas, menuju ke ruangan tengah dimana akaashi sudah kembali berkutat dengan komputernya.

tidak boleh, tidak boleh ada satupun kesalahan, mau dari dirinya, semi, oikawa, atau bahkan iwaizumi sekalipun—nyawa mereka disini taruhannya.

jam di dinding menunjukkan waktu jam 8 malam— ah, pantas saja lampu-lampu secara langsung menerangi markas. shirabu mencoba untuk mengedipkan mata agar menyesuaikan, terlalu terbiasa bekerja dalam cahaya temaram.

ia kemudian menoleh sedikit, lihati akaashi sudah mulai sibuk mengotak-atik komputer yang berada di ruang tengah lantai dua. paham sih tentang teknologi tapi shirabu tidak pernah tertarik.

akhirnya putuskan untuk ambil minum. shirabu tinggalkan akaashi dan berjalan ke dapur— tenang, akaashi tidak bisa macam-macam karena lehernya telah dipakaikan semacam choker yang terdapat jarum kecil di tengah, siap menginjeksi racun mematikan secara automatis.

saat kembali, semi sudah datang dengan senyum bodoh terpasang di wajahnya. shirabu geleng-geleng kepala lihatnya,

you’re early, tumben.”

semi menaikkan alis. “of course i am. lo bilang lo kangen jadi ya gue datang secepat mungkin,”

sial. shirabu malu, malu sekali. kepala langsung menoleh ke arah lain— tidak mau semi lihat pipinya yang memerah. semi cuma terkekeh dan tarik tangan shirabu biar jalan bareng ke lantai dua.

“oh, so this is akaashi huh?” kata semi ketika mata dapat lihat lelaki berparas indah duduk di tengah peralatan komputer.

ia tersenyum, mencoba untuk terlihat ramah, tetapi malah terlihat intimidating hingga akaashi ketakutan— berjengit dan meringkuk mencoba menjauh.

shirabu ketawa liatnya, “muka lo kayak penjahat sih sampai anak orang ketakutan gitu.”

says the one who have his bangs cut in a diagonal way,

semi mendengus, shirabu mendelik. mereka bisa saja berkelahi untuk kedua kalinya dalam seminggu ini, namun untungnya mereka ingat akan jalani misi jadi ya hanya sebatas tatapan mata sinis dilempar ke satu sama lain.

mereka hening beberapa saat namun tiba-tiba terdengar suara nyaring seperti pintu menjeblak terbuka. sontak tanpa ragu, semi mengeluarkan sebuah hira shuriken dari dalam lengan dan shirabu mengarahkan tangannya ke belakang punggung dimana ia sembunyikan pisau andalannya.

mereka berdua langsung waspada, serta beri kode untuk akaashi agar masuk ke ruangan yang berada di ujung koridor. tetapi setelah mendengar suara teriakan “YAHOOO!” mereka langsung tau sang tersangka adalah oikawa. semi hela nafas sedangkan shirabu memutar matanya malas.

oikawa terlalu berisik. padahal di markas hanya ada mereka berempat, akaashi dan beberapa penjaga saja.

“eeyy!~ kenapa muka kalian tegang gitu?” sang model berjalan sambil tertawa lucu melihati semi dan shirabu yang masih sedikit berada dalam posisi siap siaga. ia diikuti oleh iwaizumi dari belakang yang juga tertawa sedikit.

shirabu mendecih, “oalah asu— coba kalau masuk tuh yang normal-normal aja.”

lagi-lagi oikawa ketawa, tangan pukul kecil pundak shirabu dimana yang dipukul langsung tatap sinis.

selalu begini. mereka mana pernah akur. melihatnya, iwaizumi hanya menggeleng-geleng. “udah udah, it’s almost time so let’s change our clothes,

and let’s get to work.

pun misi mereka untuk merampok bank dimulai.

kalau tadi saat di chat semi tidak merasa seperti pengecut, sekarang ia berasa seperti itu. daritadi berdiri layak patung depan pintu rumah shirabu, tangan yang ingin mengetuk seakan tidak bisa karena tidak diperintah otak.

aduh, sial. jantung terlalu berdegup cepat. buat kepala sedikit pusing. semi hela nafas untuk kesekian kalinya, bagaimana ini? cepat atau lambat, shirabu pasti akan buka pintu dan itu akan sangat memalukan jika sang genius melihatnya termanggu tidak jelas depan pintu.

akhirnya setelah 10 menit berdiri layak orang bodoh, semi memutuskan untuk persetan akan semuanya, pun tangan ketuk pintu. bahkan belum sampai dua ketukan,

shirabu sudah membuka pintunya. ah, gila. semi mau gila. shirabu, ia terlihat begitu lucu dengan hoodie abu-abu dan celana pendek selutut.

rasa ingin membuat shirabu kenjirou sebagai pacarnya langsung melonjak drastis.

“oi sialan, lo mau masuk apa gak?”

disitu semi baru sadar ia melamun, pantas saja shirabu melihatinya dengan jijik serta bingung jadi satu.

“iya iya anjir, jangan marah,” semi berkata sambil masuk ke rumah shirabu yang tidak lagi asing baginya.

“siapa yang marah???? dasar kakek kakek gila,”

walaupun di akhir-akhir kalimat shirabu menggumam, semi tentu saja masih mendengarnya.

ia mencubit pipi shirabu dengan sedikit keras, “apa lo bilang tadi, rambut diagonal?”

“KAKEK KAKEK GILA LO SINTING!” shirabu berteriak kesakitan. cubitan semi tidak main-main, bahkan sepertinya pipi mulai hilang rasa.

sontak shirabu gapai tangan semi yang masih mencubit pipinya, kemudian membanting lelaki itu kebawah dengan cukup brutal. semi yang terkejut hanya bisa mengaduh merasa sakit mulai menjalar di bagian punggung.

uh, oh. saat semi berdiri, ada senyum mengerikan mulai terpampang di wajah, dan mungkin, shirabu merasa sedikit menyesal.

karena ia tau apa yang semi kala lelaki itu pasang kuda-kuda—mengajak dirinya untuk lakukan pertarungan tangan kosong.

shirabu berdoa tulangnya tidak akan ada yang patah.

mereka berakhir dengan berkelahi 25 menit lamanya, dimenangkan oleh semi karena shirabu tidak memiliki fisik yang lebih kuat dari lelaki rambut abu abu itu.

i won, you little shit,” semi berkata di sela nafas yang terengah dengan nada mengejek, dan shirabu hanya bisa mengangguk lemah sambil mencoba untuk mengatur nafasnya kembali.

tetapi mungkin semi terlalu serius saat berkelahi tadi, rasa bersalah mulai muncul ketika lihat shirabu tidak bisa berdiri walaupun telah mencoba.

“hey, maaf—gue gendong ke kamar ya?” suara semi kali ini halus, shirabu seperti tidak bisa berkata tidak.

saat sampai di kamar, semi langsung rebahkan shirabu perlahan— “tidur. biar lo besok gak kesakitan pas misi nanti.” lalu berbalik untuk pulang ke rumah, sebelum akhirnya shirabu menahan tangannya,

don’t go. stay here, please.

hajime mematikan mesin mobil kala sudah terparkir rapi di garasi rumah tooru. mereka tidak tinggal bersama, lebih tepatnya belum sih—untuk sementara waktu masih nyaman begini.

menghela nafas ketika menoleh, hajime baru sadar tooru tertidur pulas dengan kepala sedikit miring ke kiri. pun ia tersenyum halus. selalu suka melihat tooru seperti ini.

tangan dibawa naik untuk bermain pelan di helai kecoklatan milik tooru yang agak berantakan. membuat sang model meraung kecil dalam tidurnya dan hajime tidak bisa untuk tidak terkekeh.

ah. sepertinya terlalu lama bermain-main. hajime akhirnya keluar dari mobil, kemudian perlahan angkat tooru untuk ia gendong masuk ke rumah.

sekilas mereka terlihat seperti pasangan yang biasa saja, hanya dua manusia saling mabuk akan cinta satu sama lain. itu suatu kebenaran— jika saja tidak ada revolver terselip di dalam jas hajime atau grenade di saku celana tooru.

pasangan gila, mungkin?

“hmm.. hajime..?” suara tooru memanggil memecah keheningan. ia terbangun beberapa menit setelah ditaruh di sofa.

hajime yang berada disamping langsung menoleh, semula atensi berada ke tv di depan mereka. “ya?” adalah jawabannya akan panggilan dari tooru.

“kapan kita sampai..?”

tooru menguap, tangan mengucek mata mencoba hilangkan rasa kantuk. aduh gemas sekali, hajime gemas, rasanya ingin memeluk hingga tidak bisa nafas.

5 minutes ago, i guess. belum lama kok,”

“oh, okay.”

hening, hajime kembali melihat kearah tv walaupun tontonannya membosankan sedangkan tooru masih mengumpulkan nyawa.

sekitar 3 menit kemudian tooru tiba-tiba berdiri, menarik tangan hajime untuk ikut berdiri juga.

“mau kemana?” hajime mengernyit bingung kala badannya sekarang hanya mengikuti arahan dari tooru. yang ditanya tidak menjawab, dan sebelum hajime bisa memprotes, mereka sudah sampai ke sebuah ruangan.

dari luar, ruangan itu terlihat seperti sebuah perpustakaan minimalis dengan area kosong di tengahnya. tetapi setelah tooru menekan tombol kecil dekat saklar lampu, rak-rak buku yang berjejer banyak di sekitar auto berbalik dan memunculkan banyak variasi senjata dari single shot pistol hingga revolving rifle. lalu lantai di area kosong pun ikut berubah, terbuka dari bawah kemudian memunculkan patung-patung manusia— target tembakan.

ya, benar, ruangan itu adalah ruangan persenjataan serta latihan tembak milik tooru.

hajime tentu sudah tau tentang ini jadi tidak terkejut sama sekali. maka dari itu, ia bingung untuk apa tooru membawanya kesini.

“ambil senjata yang kamu suka, hajime.”

oh. ternyata itu alasannya. hajime naikkan alis sambil tersenyum tipis, “is that a challenge?

dan tooru balas dengan senyuman miring andalannya,

it is indeed a challenge, sir.

hajime mematikan mesin mobil kala sudah terparkir rapi di garasi rumah tooru. mereka tidak tinggal bersama, lebih tepatnya belum sih—untuk sementara waktu masih nyaman begini.

menghela nafas ketika menoleh, hajime baru sadar tooru tertidur pulas dengan kepala sedikit miring ke kiri. pun ia tersenyum halus. selalu suka melihat tooru seperti ini.

tangan dibawa naik untuk bermain pelan di helai kecoklatan milik tooru yang agak berantakan. membuat sang model meraung kecil dalam tidurnya dan hajime tidak bisa untuk tidak terkekeh.

ah. sepertinya terlalu lama bermain-main. hajime akhirnya keluar dari mobil, kemudian perlahan angkat tooru untuk ia gendong masuk ke rumah.

sekilas mereka terlihat seperti pasangan yang biasa saja, hanya dua manusia saling mabuk akan cinta satu sama lain. itu suatu kebenaran— jika saja tidak ada revolver terselip di dalam jas hajime atau grenade di saku celana tooru.

pasangan gila, mungkin?

“hmm.. hajime..?” suara tooru memanggil memecah keheningan. ia terbangun beberapa menit setelah ditaruh di sofa.

hajime yang berada disamping langsung menoleh, semula atensi berada ke tv di depan mereka. “ya?” adalah jawabannya akan panggilan dari tooru.

“kapan kita sampai..?”

tooru menguap, tangan mengucek mata mencoba hilangkan rasa kantuk. aduh gemas sekali, hajime gemas, rasanya ingin memeluk hingga tidak bisa nafas.

5 minutes ago, i guess. belum lama kok,”

“oh, okay.”

hening, hajime kembali melihat kearah tv walaupun tontonannya membosankan sedangkan tooru masih mengumpulkan nyawa.

sekitar 3 menit kemudian tooru tiba-tiba berdiri, menarik tangan hajime untuk ikut berdiri juga.

“mau kemana?” hajime mengernyit bingung kala badannya sekarang hanya mengikuti arahan dari tooru. yang ditanya tidak menjawab, dan sebelum hajime bisa memprotes, mereka sudah sampai ke sebuah ruangan.

dari luar, ruangan itu terlihat seperti sebuah perpustakaan minimalis dengan area kosong di tengahnya. tetapi setelah tooru menekan tombol kecil dekat saklar lampu, rak-rak buku yang berjejer banyak di sekitar auto berbalik dan memunculkan banyak variasi senjata dari single shot hingga revolving rifle. lalu lantai di area kosong pun ikut berubah, terbuka dari bawah kemudian memunculkan patung-patung manusia— target tembakan.

ya, benar, ruangan itu adalah ruangan persenjataan serta latihan tembak milik tooru.

hajime tentu sudah tau tentang ini jadi tidak terkejut sama sekali. maka dari itu ia bingung untuk apa tooru membawanya kesini.

“ambil senjata yang kamu suka, hajime.”

oh. ternyata itu alasannya. hajime naikkan alis sambil tersenyum tipis, “is that a challenge?

dan tooru balas dengan senyuman miring andalannya,

it is indeed a challenge, sir.

mengetuk perlahan. sebelum masuk, juyeon pastikan dulu angka di pintu memang benar 1501 atau bukan. hela nafas saat tau ruangannya tidak salah, kemudian akhirnya mendorong masuk.

pandangan pertama dilihat— hyunjae duduk di sofa, menatap kosong kearah jendela yang silau akan cahaya terpantul dari kaca gedung-gedung di depan rumah sakit. tampaknya tidak sadar akan kehadiran juyeon.

“hyunjae?” juyeon panggil lembut, tidak mau mengagetkan. walaupun jatuhnya tetap begitu karena ya, ia saja datang tanpa diundang— siapa yang tidak akan kaget coba?

untungnya hyunjae hanya berjengit kecil, lalu menoleh dan senyum ke arah juyeon. “juyeon,” panggilnya balik, “kenapa kesini?”

juyeon garuk tengkuk yang tidak gatal, lupa menyusun alasan logis atas pertanyaan terduga dari hyunjae. tidak mungkin kan, jika juyeon berkata ‘aku penasaran kenapa kamu tidak punya angka di tanganmu.’ itu sama saja ia hilang sopan santun.

“uh... no particular reasons..? cuma ingin berkunjung, apa tidak boleh?” berkata sambil berjalan sedikit, juyeon duduk di kursi depan kasur secara inisiatif.

“kamu lucu—tentu saja boleh, hehe!”

aduh. gemas sekali. tawa riang hyunjae, rasanya juyeon ingin mempertahankannya. ingin mendengarnya terus menerus. karena indah, suka. dirinya suka.

“lagian aku selalu kesepian disini, jadi aku senang juyeon datang.” hyunjae mengembalikan atensinya ke jendela, dan juyeon tetap tidak melepas pandangannya.

ia bergumam ‘baguslah kalau begitu’, menjawab perkataan hyunjae tadi. setelahnya, kosong pembicaraan. tetapi tidak awkward—jatuhnya nyaman.

hati juyeon terasa begitu ringan menatap hyunjae tanpa sepatah kata.

lalu teringat tujuan awal. soulmate. jujur, juyeon tidak enak hati. mereka belum kenal lama— hell, they’re still semi-strangers. tetapi juyeon bisa gila mati penasaran kalau tidak bertanya.

“uh.. hyunjae. mau bertanya sesuatu.” hyunjae menengok, tatap juyeon. “what is it, ju?”

sial, juyeon terlalu ragu. pertanyaan ada diujung lidah namun suara tidak kunjung keluar.

“apa juyeon mau tanya kenapa pergelangan tanganku kosong?” bullseye. tebakan hyunjae langsung benar.

juyeon mengangguk patah, “maaf.” takut hyunjae risih. tetapi tidak. pemuda itu hanya terkekeh kecil.

“gak apa-apa! seharusnya juyeon bertanya saja, aku tidak masalah kok.”

demi apapun, hyunjae ini seberapa sempurna sih? juyeon pening lihatnya. hyunjae benar-benar tidak risih. senyummya masih sama, masih penuh dengan kehangatan.

“the reason why i don’t have the numbers, itu karena keluargaku. uhm, panjang ceritanya tapi secara garis besar kami dikutuk.”

bentar dulu, apa? dikutuk?

paham kutukan memang ada, tetapi jaman sekarang jarang sekali sehingga juyeon sedikit kaget.

“aku tidak tau siapa yang mengutuk, tapi aku tau kenapa— orang tuaku terlalu pelit, despite having lots of money in their pockets. dan ya, seluruh anggota keluarga dikutuk entah mengidap penyakit mematikan atau tidak memiliki soulmate. begitulah.” hyunjae bertepuk sekali, seperti mengakhiri ceritanya dengan itu.

juyeon terkekeh sedikit lihat kelakuan, “begitu toh.”

“ah, tapi juyeon tau tidak? apa yang paling lucu dari seluruh cerita itu?”

rasanya tidak ada yang lucu. lantas juyeon menggeleng, sedikit bingung dengan pertanyaan hyunjae serta senyumnya yang terasa berbeda.

“kutukan itu seharusnya satu orang hanya dapat salah satu saja, but i got both.”

juyeon terdiam. pikiran kosong. lidah kelu. tidak bisa ucapkan kalimat untuk membalas. dua-duanya— tidak ada soulmate, kemudian.. penyakit mematikan? apa itu alasan sebenarnya hyunjae di rumah sakit?

retorikal. semua pertanyaan di benak sifatnya retorikal. juyeon tau, juyeon cukup pintar untuk menyambungkan satu dan dua bersama.

“tapi penyakitku tidak mematikan kok! masih bisa disembuhkan!” tawa riang hyunjae balik, hati juyeon berdenyut perih. tidak seharusnya ia begitu, seharusnya ia lega karena penyakit hyunjae tidak mematikan.

“syukurlah.” adalah satu satunya respon yang juyeon bisa keluarkan. mereka terdiam lagi sehabis itu, dan kali ini benar-benar awkward.

hyunjae yang pertama mematahkan kesunyian. “juyeon, ini sudah lumayan sore,” mengingatkannya terhadap waktu yang berjalan terlalu cepat.

“... i-iya ya? kalau begitu aku pamit pulang, hyunjae— nanti berkunjung lagi kok.” saat berdiri, rasanya tergesa. juyeon mengutuk diri dalam hati karena itu.

walaupun hyunjae terlihat tidak sadar akan hal tersebut, karena ia hanya mengangguk sambil tersenyum lebar.

“dadah, juyeon.”

dan juyeon pergi dengan relung terlilit beban, namun dibiarkan.

mengerang. apa-apaan? tidak ada informasi sama sekali? juyeon hampir membanting handphone, frutrasi. menghela nafas, dari awal juyeon tau pasti susah mencari tau.

ia bahkan baru pertama kali ini melihat pergelangan tangan yang kosong sempurna tanpa ada angka.

dan itu membuat juyeon tambah tertarik kepada hyunjae. hingga membuat keputusan besok harus ke rumah sakit lagi,

diri yakin jawabannya pasti ada disana.

juyeon ingat hyunjae menggunakan kemeja khusus pasien, berarti pemuda itu kemungkinan besar tinggal di rumah sakit. mungkin juga karena hyunjae tidak memiliki soulmate— lagipula kemejanya berbeda dari milik chanhee yang menginap karena sakit.

menghela nafas. pikirannya terlalu banyak, sampai tidak sadar jatuh ke dalam lamunan.

“cie nyampe duluan,”

kevin tepuk bahu juyeon yang bersender di dinding, dan muka sahabatnya itu sama sekali tidak bersahabat.

mendecih, “sialan lo! gue nunggu 20 menitan disini kayak orang bodoh.” sedikit catatan, juyeon paling gak suka disuruh menunggu. rasanya gak enak. kevin hanya ketawa saja menanggapinya.

“udahlah, yuk masuk.” tangan kevin dorong pintu bertuliskan ruangan 405, terpampang jelas sekarang di mata juyeon dimana chanhee terbaring lemas dengan infus di kasur.

juga bisa lihat ada changmin— juyeon sebatas tau nama saja alias tidak pernah bertemu, dan seorang perempuan. kalau diingat mungkin namanya.. soojin? juyeon tidak terlalu yakin karena hanya pernah mendengar namanya dari bibir chanhee. tapi ya biarkan saja lah. pun juyeon ikuti kevin untuk masuk lebih dalam,

sampai akhirnya ia berhenti. kaget. pergelangan tangannya bersinar. angka 130923 permanen terukir itu beneran bersinar. tidak, tidak, tidak. juyeon panik. langsung keluar dari kamar inap, tidak peduli teriakan kevin yang memanggil namanya berulang kali.

juyeon gak mau tau siapa soulmate-nya. mau pulang, mau tidur saja. seharusnya tadi tidak ikut. kakinya tanpa sadar berlari. salah besar, juyeon jadi menabrak orang.

seorang pemuda, berpakaian kemeja putih— seperti baju khusus pasien rumah sakit, dan celana warna cream selutut. rambutnya berwarna blonde keabu-abuan. cantik.

“e-eh, maaf, maaf banget.” juyeon langsung menunduk. tangan diulur untuk bantu pemuda itu untuk bangkit.

pemuda itu tersenyum, “gak apa-apa.”

aneh. bibir juyeon kelu. jujur, senyumannya manis. juyeon gak bodoh—degupan jantung berantakan, mata terkunci. semuanya jelas. ia paham ia jatuh cinta pada pandangan pertama.

mereka berdua berdiri tanpa sepatah kata selama 2 menit, dengan juyeon yang masih terperangkap di fase ‘baru jatuh cinta.’ hingga akhirnya pemuda itu menunduk dan melangkah pergi,

kalau saja juyeon tidak menahan kemudian berteriak, “wait! tell me your name!

“hyunjae. kamu?”

“juyeon.”

nice to know you, juyeon. uhm, aku pergi duluan ya? dadah!”

juyeon hanya mengangguk sambil memperhatikan hyunjae yang berjalan menjauh. ia serius akan kembali datang rumah sakit ini hanya untuk melihat hyunjae.

tapi tunggu dulu. juyeon fokuskan pandangan ke pergelangan tangan hyunjae, dan,

eh..? tidak ada sama sekali..?

truth to be told, juyeon gak pernah suka dengan angka-angka di pergelangan tangannya. orang tua selalu berkata, “itu takdirmu nak. suatu saat, keenam angka itu akan bersinar ketika bertemu dengan soulmatemu dan akan temukan angka yang sama di pergelangannya.”

sedikit.. terdengar seperti bullshit.

juyeon paham kok soulmate memang ada— bukti pertama, tidak usah jauh-jauh, orang tuanya. bukti kedua, kevin dan chanhee, dua duanya merupakan teman dekat dan ya ketika mereka bertemu, boom! pergelangan tangan mereka bersinar begitu saja.

hanya saja rasanya aneh. bukankah orang dapat kebebasan untuk mencintai siapapun yang mereka mau? dengan takdir yang mengikat, itu sama saja dengan dijodohkan. well at least, thats what he thinks.

maka dari itu juyeon gak pernah ambil pusing mencari soulmate-nya. toh juga ia gak yakin bisa jatuh cinta dengan siapapun orang itu nantinya.

perhaps, lee juyeon was not in his right state of mind at that time.

eyes clashed together as they found a way to be close with each other. drunk breaths calling out one by one. juyeon was totally mesmerized. the other definitely is out of this world, he thought.

“whats your name?” at the end, the word ‘cutie’ didn’t roll away from his tongue. juyeon couldn’t bring himself— even if he wanted to call the other over and over with that nickname. or probably, ‘mine’ would suits more.

“hyunjae, lee hyunjae.”

hyunjae’s answer was rather breathless. juyeon could feel his consciousness seeping out, as he leaned towards hyunjae. closer. and closer. till their noses bumped. eyes clashed once again with different proximity.

it reminded juyeon that he was never a light drinker but tonight felt different.

his head was jumping all over the place. he couldn’t think straight when his lips savored hyunjae’s, not even caring that they were both total strangers to each other. even juyeon’s name remains classified, although their bodies were already pushed against the lights.

he never felt this way before. it was intoxicating. hyunjae’s lips tasted like sweet strawberry coated with nicotine, his little whines when juyeon eagerly ate his soul away— hyunjae successfuly drove juyeon crazy.

and again, perhaps, it was just the way they’re meant to be.