Our Castle.
Sebesar apapun Sunghoon kata menyeramkan, tak bisa dipungkiri seluruh raga berteriak senang.
Mau bagaimanapun ia seorang vampir, terlepas dari generasi, berlari diantara pepohonan berasa bernafas udara bersih setelah sekian lama.
Rindu, rindu, rindu. Sudah berapa lama tidak hunting? Keluarganya terlalu bergantung pada kotak-kotak darah yang dijual di supermarket khusus vampir, sehingga memburu hewan menjadi suatu kelangkaan.
Rasanya berbeda, darah dibungkus di kotak dengan darah segar mengalir ke tenggorokan. Kalau saja Sunghoon tidak ingat tujuan awal memasuki hutan ini, mungkin tungkai sudah berlarian kesana kemari— mencoba mencari mangsa untuk diteguk.
Ah, tidak apa-apa tidak hunting sekarang, toh tak ada lagi batas waktu untuknya, bagi ia sekarang ini adalah rumah.
Begitu pula dengan kastil megah yang sekarang berada tepat didepannya. Rumah. Sunghoon teguk pelan saliva yang seakan menggumpal— gila, gila, gila.
Bangunan kastil seperti berjalan keluar dari buku fantasi, Sunghoon tak bisa tak mengerjap kagum, memperhatikan aksen medieval bercampur modern minimalism menghiasi setiap petaknya.
Kalau ada kata diatas ‘megah’, maka jelas akan Sunghoon pakai untuk deskripsikan. Dua tower menjulang tinggi menjadi batas-batas tiga bangunan utama, satu gubuk (yang tidak terlihat seperti gubuk) untuk belasan kuda— sejauh itu saja yang ditangkap mata. Ditebak mungkin ada satu bangunan lagi terletak dibelakang, dimana tak terjangkau pandangan.
Sunghoon masih tertangkap pesona kastil, sampai tak sadar akan adanya vampir berambut merah berjalan disampingnya walau indera pendengaran telah tangkap suara bising kaki sejak awal vampir itu datang;
Dan ketika vampir itu berbisik di telinga, membuat sekujur tubuh Sunghoon merinding, barulah ia sadar— itu lelaki yang dijodohkan dengannya.
“Ah. Sudah datang ternyata. Welcome to my castle— or should I say, our castle, my pretty mate?”