Not Good at Goodbyes.
Ah, rasanya sedih.
Sunghoon bisa rasa abu merata dalam relung, mata mengerjap beberapa kali sebagai penahan agar tangis tak tumpah.
Apartment yang awalnya begitu ramai, sekarang hampa— terasa luas saat kaki menjelajah untuk terakhir kalinya.
Jujur saja, Sunghoon tidak siap. Sama sekali tidak siap. Mari bicara fakta, memangnya ada yang langsung siap siaga mengetahui bahwa seluruh hidup akan berubah hanya dalam hitungan jam? Tentu saja tidak ada.
Apalagi Sunghoon tidak tau bagaimana gaya hidup vampir generasi lama yang sebenarnya. Sungguhan, Sunghoon sering mendengar kisah-kisah dan rumor-rumor beredar tentang mereka— kebanyakan membuat perut berdentum mual akan jijik bercampur takut.
Satu-satunya hal yang membuatnya sedikit tidak masalah menerima semuanya ialah akibat orang yang dijodohkan dengannya luar biasa tampan. Sunghoon bukan sosok pemandang fisik, tetapi setidaknya, ia tidak menjadi mate seseorang yang mata tak akan suka memandang.
Suara deritan kayu terinjak oleh beberapa pasang kaki menjadi penyebab Sunghoon keluar dari kereta pikiran, seketika melirik sekilas kearah belakang— dua lelaki rambut ungu dan coklat terlampau familiar masuk ke dalam pandangan, pun Sunghoon kembalikan atensi ke apapun yang ia perhatikan sebelumnya.
“Ooh, durhaka memang. Gak mau lihat orang tua padahal bentar lagi pisah.” Itu suara ayahnya— Sunghoon lebih terbiasa memanggil dengan sebutan Bapak— yang terdengar monoton, sehingga ada hawa menyeramkan terselip diantara kata-katanya.
Sunghoon menghela nafas, kemudian memutar badannya kebelakang— sepenuhnya menghadap orang tua-nya, dan apabila Sunghoon lihat mata bengkak milik sang papa, ia memilih untuk diam.
“Gimana? Udah selesai packing?” Lagi-lagi ayahnya berbicara, lelaki berambut ungu itu kini berjalan mengitari apartment, melihati setiap inci seakan ingin memeriksa.
Anggukan awali jawaban, “Daritadi udah selesai.” Sunghoon tidak tatap sang ayah walau suara menyahut dalam pembicaraan, malah terfokus pada lelaki berambut coklat yang berada didepannya— papanya, Sunghoon tidak terbiasa melihatnya tenggelam dalam sunyi sambil tatapi dirinya dengan tatapan penuh pedih.
“Pa?” Sunghoon memanggil, mengambil inutuitif untuk melangkah maju serta perlahan memeluk sang papa, tidak peduli ayahnya menatap seperti melarang.
Tepat setelah tubuh saling memeluk, gelembung emosi pecah tak karuan. Papanya menangis, “Maaf belum bisa jadi yang terbaik buat kamu.” adalah kalimat yang tersampaikan walau tersendat isakan.
“E-enggak.. jangan minta maaf.. malahan Sunghoon yang harusnya minta maaf,” Tanpa disadari ikut menangis, “Maaf selalu nyusahin kalian, maaf Sunghoon bukan anak yang baik.”
Sesak. Tambah sesak ketika merasa ada hangat bertambah— sang ayah ikut memeluk. Sunghoon tak mau berpisah seperti ini, sejujurnya ingin berpisah secara senyum, namun jauh didalam lubuk hati sudah ketahui hal tersebut mustahil. Perpisahan selalu dihiasi tangisan, entah terpendam atau dibiarkan mengalir.
Mereka tetap seperti itu dalam jangka waktu yang lama, dan ketika selesai, Sunghoon sampai harus meminum satu kotak darah seekor rusa— terlalu banyak menangis membuat tubuhnya sedikit lemah.
Tetapi sekarang atmosfer diantara keluarga kecil itu tak lagi tegang, sudah mulai kembali ke biasanya. Candaan sesekali dilempar kesana-kemari, walau pada akhirnya kembali muram karena kedua orang yang Sunghoon nantikan akhirnya datang.
Disanalah Jay dan Jake, berdiri dengan wajah aneh tak tau mau berekspresi sesuai hati atau memasang topeng penuh kebohongan manis. Terlepas dari itu, mereka tetap meruntuhkan Sunghoon sekali lagi. Walau tak sampai menangis meraung-raung, kalimat perpisahan terucap dari masing-masing belah bibir cukup menuai beberapa tetes air mata.
Ada kesunyian melanda saat seluruh vampir di ruangan menyadari sudah waktunya bagi Sunghoon untuk pergi— sang ayah tepuk pelan bahu anak lelakinya, “Udah tau kastilnya yang mana, kan?”
Iya, udah tau. Tapi tetap saja mengerikan, pak. Tau gitu gue gak setuju kalau harus pergi sendiri. Sunghoon meringis dalam pikiran. Ia baru tau kalau ia akan pergi dengan kakinya sendiri, tanpa siapapun menemani.
“Ini, minum lagi,” Ada sekotak darah— entah hewan apa, sepertinya rusa lagi— disodorkan ke tangan oleh Jay, “Kayaknya lo perlu. Siapa tau memakan lebih banyak tenaga, terutama lo lama gak hunting.”
Dari ujung mata, terlihat papanya mengangguk setuju, ikut menyodorkan beberapa kotak darah. Sunghoon secara halus menolak, merasa satu kotak jauh lebih cukup— masih terlampau kenyang.
Perhatiannya pun beralih kearah jam besar disamping Jake, penasaran berapa waktu yang tersisa sebelum jam 1 malam.
Sisa 5 menit. “Oke,” Sunghoon tarik nafas, kemudian dibuang perlahan, “I think it’s time for me to go.”