My Name, Your Name.
Tak.
Buku tua berlembar kuning tanpa disadari ditutup oleh jemari, kala sang pemilik menyadari ada harum manis asing perlahan mengisi celah udara. Pun satu tarikan nafas dalam membuatnya tersadar bahwa harum tersebut tidaklah asing, bak darah manusia segar pada umumnya.
Tetapi mustahil apabila ada manusia selamat sampai teritorinya. Sangat amat mustahil.
Hampir saja mengira penciumannya salah, hingga akhirnya teringat bahwa diri adalah salah satu vampir dengan penciuman yang lebih tajam. Pikiran kembali bertanya-tanya harum milik siapa sebenarnya, dan sesaat mata tertuju ke jendela bersamaan dengan pelayan memasuki ruang pribadinya—
“Tuan Heeseung, mate anda telah datang.”
Heeseung tersadar pemilik sebenarnya dari harum manis itu.
Gemetar, seluruh tubuh Sunghoon gemetaran tak berhenti.
Rasa takut menyesap tanpa peringatan begitu dipaksa menahan kontak mata dengan ‘mate’-nya— mungkin terbilang aneh untuk merasa ketakutan pada belahan jiwanya, namun Sunghoon terlampau hilang atas emosi.
Kekehan mengalun keluar belah bibir menyeret Sunghoon dari ketakutannya, “Kenapa? Are you scared of me?” Jarak diantara keduanya dikikis tepat setelah vampir yang lebih tua selesai berbicara, hidung saling bertemu dengan nafas beradu dekat.
Tidak dapat berkutik, relung terasa sesak seperti menahan sesuatu membuncah dari dalam, Sunghoon hanya bisa terdiam. Tak menyadari satu tangan telah bersinggah nyaman di perpotongan leher yang lebih tua—
Seakan meminta agar tidak ada jarak sama sekali diantara keduanya.
Ada kekehan kembali mengalun, hidung entah sengaja atau tidak saling bergesek satu sama lain, sebelum bergerak menjauh seraya jemari mengelus pelan leher belakang Sunghoon— “Ayo, kita akan berkeliling kastil.”
Sang vampir tua tak menunggu, langsung berbalik badan dengan tungkai berjalan meninggalkan yang lebih muda begitu saja— seakan-akan yang tadi dilakukan tidak berefek sebegitu hebat pada Sunghoon.
Sial, tidak seharusnya begini. Tidak, tidak, tidak. Sunghoon tidak suka, rasanya seakan raga membara meminta perhatian lebih disaat akal mengira telah membenci sedari awal mengetahui akan dijodohkan.
Bahkan sekedar nama saja masih asing, lantas mengapa Sunghoon sekarang bak diperintah mutlak— kaki mengikuti langkah lelaki didepannya, sepenuhnya tunduk dalam diam.
“Heeseung.”
Sunghoon berkedip cepat, total bingung mengapa tiba-tiba pasangannya berkata sebuah nama secara mendadak saat mereka berada di aula utama, sehingga ia refleks berdeham meminta penjelasan.
“Itu nama saya,” Ada jeda sedikit sebelum perkataan dilanjutkan, “What’s yours?” Heeseung— lelaki itu— menoleh sedikit, menatap Sunghoon dengan satu alis terangkat.
“Sung— Sunghoon.” Meringis, Sunghoon meringis dalam batin. Entah mengapa mendadak menjadi gagap, walau kemungkinan gugup karena ditatap oleh Heeseung.
Pun anggukan jadi jawaban, tak ada lagi suara menyahut kemudian. Sunghoon menggunakan kesunyian sebagai keberanian untuk benar-benar memperhatikan detil sekitarnya;
Dinding terbuat dari batu diiringi hiasan emas dipadu kain hitam, berlian-berlian kecil tergantung diatas seperti membentuk jembatan, serta obor pada beberapa sisi untuk penerangan minim— semua tampak luar biasa indah, seakan hidup dalam dunia dongeng.
Sunghoon sampai tidak sadar bahwa Heeseung telah berhenti, jika saja lelaki itu tidak berdeham pelan. “Ini kamarmu. Do you want to have a time alone first or do you want to continue?”
Pintu kamarnya terlihat begitu mewah, ada sentuhan marmer abu dan emas yang sama seperti pada dinding. Terlebih lagi, terletak diujung korridor menuju ruangan yang ia tebak sebagai perpustakaan— setidaknya ada hiburan terdekat baginya apabila benar tidak ada sinyal.
Tentu saja sudah ketahuan apa yang Sunghoon pilih. Maka dari itu sekarang ia menghela nafas lega dan tubuhnya secara spontan rileks diatas kasur, bak seseorang yang baru saja terlepas dari beban.
Belum sampai sehari berada dalam kastil saja sudah cukup membuat Sunghoon kewalahan, ditambah lagi dengan rasa aneh yang perlahan bermekar akibat Heeseung—
Sunghoon tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya.