Tell Me What You Know (2/3)

And this is about Ice, a persona Sunghoon so desperately want to bury under thousands of regret.

Hidup Sunghoon bisa dibilang memuakkan. Terlahir sebagai anak satu-satunya dari ketua gang menjadi indikasi bahwa ia tidak akan pernah hidup tenang, selalu dilingkupi gelapnya bayangan dunia malam.

Mungkin karena itu, Sunghoon jadi mengambil keputusan yang pada saat itu dirasa sebagai jalan keluarnya, namun di kemudian hari disesalkan begitu dalam. Ia masih muda, pikiran tidak bisa berpikir panjang saat menghadap Mina untuk mengutarakan keinginannya.

“Ibu, Sunghoon mau pergi. Mau ke Chesterpolis, gak mau disini lagi.” Diucapkan begitu mudah, seakan Sunghoon telah berlatih berkata didepan cermin berulang kali.

Mina menatapnya datar, tetapi Sunghoon tau, ibunya sedang mencari keraguan dalam dirinya yang Sunghoon yakin tak akan ditemukan barang sedikitpun. Keputusan sudah bulat, ia akan pergi, dengan persetujuan atau tidak.

Helaan nafas sang ibunda keluarkan, “Kalau itu keinginanmu, nak, silahkan. Ibu tidak larang. Tapi Ibu mau kamu janji dulu.”

Sunghoon berkedip cepat, “Janji apa, ibu?”

“Kalau pada saat Ibu tiada kamu masih berada di Chesterpolis, tolong pulang dan jaga Casa Segura untuk Ibu. Berjanjilah pada ibu, Sunghoon.”

Tenggorokan Sunghoon bak dililit duri, namun tak ada pilihan lain. Maka dengan janji mengecap di relung, Sunghoon pergi, tinggalkan rumahnya sebatang kara.

Saat kaki pertama diinjakkan di Chesterpolis, Sunghoon mengerjap kagum. Mata berkelip melihat betapa megahnya gedung-gedung, jalanan dipenuhi mobil berharga milliaran, pejalanan kaki berbalut jas dan pakaian mewah lainnya yang menandakan betapa makmurnya hidup orang-orang disini.

Sunghoon kira hidupnya akan begitu juga setelah menetap, tetapi ia salah besar. Tak terhitung berapa kali mengubah pekerjaan akibat dipecat sana-sini, hampir tidak ada pendapatan sama sekali. Untuk makan saja Sunghoon sampai kesusahan.

Semakin lama, semakin terpuruk. Sunghoon tidak tau mau bagaimana, sampai akhirnya pada hari itu, ketika sebuah pemikiran masuk dalam kepala— bagaimana jika ia bekerja sebagai seorang mercenary, mengerjakan hal 'kotor' atas nama orang-orang kaya yang tidak ingin mengotori tangannya?

Ide tersebut sempat ditepis jauh-jauh. Tidak, Sunghoon tidak mau kembali ke gelapnya dunia. Ia datang kesini agar bisa melarikan diri dari itu, bukan malah merangsak masuk lagi.

Hanya saja, tidak ada jalan lain. Sunghoon sama sekali tidak mau mati kelaparan— setidaknya ia mau mati dengan kondisi yang baik— sehingga suka atau tidak suka, pikiran itu menjadi kenyataan.

Entah bagaimana, Sunghoon lupa, ia sekarang menjadi sesosok yang ditakuti. Ucap saja Ice, dan orang-orang yang bergelut dalam gelap akan gemetar ketakutan.

Nama samaran itu dipilih bukan secara cuma-cuma. Sunghoon selalu suka musim dingin, dahulu sering bermain di danau yang membeku. 'Ice' membuatnya ingat akan masa-masa menyenangkan di kehidupan lalu.

Tetapi sudah terlalu banyak nyawa ia renggut, sudah terlalu banyak darah menetes dari sela-sela jemari— Sunghoon tau mustahil baginya untuk bisa kembali ke kehidupan lamanya.

Maka Sunghoon bertahan, mengangguk tidak peduli saat Pak Kim— asisten sekaligus supir dari salah satu orang kaya yang sangat menyukainya— memberi misi baru.

Kali ini, misinya mengharuskan Sunghoon untuk bekerja sama dengan beberapa anggota dari Starseeker dan Pirateer. Decihan tanpa sengaja keluar dari belah bibir, paling tidak suka apabila harus bekerja sama dengan dua gang Chesterpolis itu.

“Kayaknya lo benci banget ya sama kita, ya? Any particular reasons for that, my dear Ice?” Lelaki berambut hitam belah tengah berkata, Sunghoon mengenalinya— ketua dari Starseeker, Daniel Choi.

Don't talk to me casually,” Wajah tenang, tetapi suara begitu tajam hingga Yeonjun menelan ludah gugup, “And no. I don't have any particular reasons.”

Pembicaraan berakhir disitu. Ruangan terlingkup sunyi, dingin akan tatapan penuh tidak suka dilayangkan satu sama lain, hingga akhirnya seorang lelaki berumur 50 tahun keatas memasuki ruangan dengan sebuah koper berisi uang.

Sunghoon tau koper itu pasti akan menjadi kepemilikannya, walau tidak sepenuhnya, karena pasti dibagi dengan anggota lain yang ada di ruangan. Hampir saja ingin bertanya tentang misi, lelaki tua itu sudah membuka suara terlebih dahulu.

The job is easy,” Sang pemilik uang lihat kearah Sunghoon, “Ice, saya mau anda membunuh kedua orang ini, dari kejauhan.” Ada dua foto dilempar di meja, yang mana tangan Sunghoon tangkap secara persis.

Anggukan jadi jawaban, Sunghoon yakin pasti akan selesai secepat mungkin. Toh, hanya menembak. Itu jelas adalah keahliannya. Tetapi apabila segampang itu, mengapa sampai memerlukan anggota Starseeker dan Pirateer?

Jawabannya datang tidak lebih dari sedetik setelah bertanya, “Starseeker dan Pirateer, kalian bertugas memancing keduanya di tempat dimana Ice akan menembak.”

Ah, begitu ternyata. Sunghoon paham sekarang, menebak-nebak sepasang suami istri yang menjadi target bukan sembarang orang— pasti lumayan, atau lebih dari lumayan, berbahaya sampai harus dipancing dua gang bersamaan.

Jika saja pada saat itu Sunghoon tau bahwa targetnya adalah orang tua Heeseung, sang kasih dalam hidupnya, ia tidak akan pernah mau melakukannya.