Mind If I Feast? (½)

Ketukan di pintu walau tidak repetitif tetap terdengar menyebalkan bagi Sunghoon, terlihat dari bagaimana ia membuka pintu dengan wajah tertekuk— hampir mengamuk, jika saja bukan wajah asing berbalut pakaian serba hitam dengan renda bak pelayan yang nampak setelahnya.

“M-maaf menganggumu, tuan. Tuan Heeseung meminta kehadiran anda di ruang perpustakaan.” Pelayan itu menunduk hormat, lalu menaikkan satu tangannya kearah kanan sebagai penunjuk arah, “Mari, tuan. Akan saya tunjukkan jalannya.”

Sunghoon mengernyit bingung, untuk apa Heeseung memanggilnya secepat ini? Bahkan belum ada sejam berada dalam kamar. Dan juga, arah yang ditunjukkan sang pelayan berbalik arah dengan perpustakaan yang ada didekat kamarnya.

Maka Sunghoon tanyakan kala mereka telah mendekati aula utama untuk melintas ke gedung kastil kedua, “Bukankah ruangan yang berada dekat kamar itu ruang perpustakaan?”

“Benar, tuan. Tetapi itu adalah ruang perpustakaan pribadi milik tuan, sedangkan Tuan Heeseung meminta anda di ruang perpustakaan pribadinya.”

Ah, begitu ternyata. Sunghoon mengangguk paham, membiarkan kesunyian menyelimuti keduanya. Lagi-lagi ia gunakan untuk melihat sekitar gedung kastil kedua yang anehnya jauh berbeda dengan gedung tempat kamarnya berada;

Dinding tak lagi terbuat dari batu biasa melainkan marmer hitam berselir abu, beberapa lampu gantung dipenuhi emas menghiasi korridor untuk menggantikan obor sebagai sumber pencahayaan, karpet abu dengan sentuhan bordir emas melapisi jalan— gedung kastil ini jauh lebih mewah dari sebelumnya.

Sunghoon tarik kesimpulan bahwa kemungkinan ini ialah kastil pribadi Heeseung, terlihat dari kosongnya pelayan dan perabotan selama ia berjalan. Terkesan sangat tertutup namun tetap terlihat layak rumah seorang count pada umumnya.

Setelah hampir 5 menit, sang pelayan akhirnya berhenti didepan sebuah pintu hitam tanpa ada satupun dekorasi tepat ditengah-tengah antara dua pintu lain yang tidak diketahui. “Silahkan masuk, tuan. Tuan Heeseung telah menunggu didalam.”

Belum sempat Sunghoon berkata, pelayan itu sudah terlebih dahulu menunduk hormat— meninggalkan Sunghoon sendiri untuk menghadapi Heeseung.

Satu tarikan nafas dalam mengawali langkah Sunghoon sebelum membuka pintu. Hal pertama menyapa pandangan adalah rak-rak buku tua menjulang tinggi mengelilingi sebuah meja panjang dan dua sofa beludru merah pada kedua ujungnya, dengan lampu gantung yang sepenuhnya tertutupi berlian tepat ditengah.

Di salah satu sofa tersebut, duduklah sosok Heeseung— memegang sebuah buku yang terlalu tua hingga cover-nya bahkan tak lagi dapat dibaca. Mau seberapa besar Sunghoon menolak, hati akui Heeseung terlihat jauh lebih tampan berlipat-lipat seperti itu.

Pun Sunghoon tersadar setelah beberapa detik bahwa diri pasti tampak layak orang bodoh berdiri tanpa tujuan. Tetapi ia juga benar-benar tidak tau mau bagaimana, terlebih lagi Heeseung seakan tidak sadar akan kehadirannya.

Dehaman dikeluarkan untuk menarik perhatian, berakhir menguap begitu saja diantara keduanya. Heeseung sama sekali tidak bergugat. Kesal, Sunghoon paham jelas Heeseung pasti mendengar dan merasakan kehadirannya.

Maka Sunghoon langsung duduk di sofa ujung seberang Heeseung, memainkan handphone sambil menyumpah serapahi lelaki itu dalam batin. Persetan apabila tidak seharusnya duduk— pedulinya telah hangus termakan bara emosi.

Dasar brengsek! Buat apa kesini kalau cuma disuruh lihat dia baca buku doang?! Mending gue balik ke kamar.’ Batin Sunghoon berteriak marah, sampai tidak menyadari Heeseung telah menutup buku dan berjalan kearahnya.

Masih saja asik memisuh, yang mana sedetik kemudian handphone-nya menghilang dari genggaman, lalu—

Krak.

Handphone yang awalnya berada di tangan, sekarang hancur menyedihkan— jatuh berkeping disebelah kaki yang lebih tua. Semudah itu Heeseung menghancurkan barang yang sangat amat Sunghoon butuhkan.

Next time, think twice before cursing me inside your mind and this little device of yours,” Suara Heeseung terdengar lebih dalam dari biasanya, seperti menahan emosi. “Seharusnya kamu sadar saya sedang membaca, apa tidak bisa menunggu sebentar?”

Namun Sunghoon sudah kepalang termakan amarah dengan tubuh spontan berdiri, sama sekali tidak mempedulikan fakta Heeseung baru saja membaca pikirannya, “You piece of shit! That fucking phone costs me a lot!

Kalimat diteriakkan langsung tepat didepan wajah, membuat Heeseung mendecih. Tangan yang tadi digunakan untuk menghancurkan dibawa naik, kemudian dijentikkan— hal yang selanjutnya terjadi tak bisa diterima akal sehat Sunghoon. Handphone-nya. Kembali utuh, di tangan Heeseung.

Mata Sunghoon berkedip cepat. Tidak percaya apa yang baru saja dilihat. “Ba-bagaimana—? Bagaimana bisa…?”

“Memangnya kamu tidak bisa? Kan semua vampir mempunyai kemampuan sihirnya masing-masing,” Ada niatan mengejek dibalik pertanyaan Heeseung, “Ah, ya. Saya lupa. Kamu kan vampir jadi-jadian, kamu saja tidak menyadari vampir seperti saya bisa membaca pikiran.”

“Gue bukan vampir jadi-jadian, sialan!”

Bukannya takut mendengar Sunghoon tambah meninggikan suaranya dan pipinya yang berubah merah padam, Heeseung malah tertawa lepas. “Kalau memang begitu faktanya, kenapa saya bisa cium darah mengalir di tubuh kamu?”

Heeseung menundukkan kepala, menyatukan dahi keduanya yang membuat Sunghoon sontak mengambil langkah mundur— berniat menjauhi namun gagal akibat tubuh yang malah kembali terduduk di sofa dengan kedua tangan Heeseung mengukung sisi-sisinya.

Yang lebih tua memiringkan kepala sedikit, melesakkan hidung di leher Sunghoon sebelum berbisik tepat di telinga—

You smell delicious, my dear mate. Mind if I feast?