If You Ride, I Ride

cw // kissing, dirty talk, implied sexual content.


Sunghoon mengernyit bingung. Ada Chevrolet Corvette Stingray berwarna merah parkir disebelahnya— sudah pasti lawannya, tetapi masalahnya, lawannya itu tidak keluar dari mobil.

Apa-apaan? Tidak sopan. Setidaknya menyapa, atau menurunkan kaca jendela. Sunghoon mendengus, pada akhirnya langsung masuk ke dalam mobil begitu lampu jalan berubah merah.

Ah, ia jadi teringat akan balapannya di malam hari itu, melawan Riki, Sunoo dan, tentu saja, lelaki yang masih begitu melekat di hati— Heeseung. Sunghoon masih bisa gambarkan dengan jelas senyum Heeseung saat mereka menang, masih bisa rasakan hantu dari jemari lelaki itu menari-nari di pinggang.

Sepertinya terlalu tenggelam dalam memori, Sunghoon terkejut saat lihat lampu berubah hijau, buru-buru menginjak pedal gas guna mengejar mobil disampingnya.

Baru saja mulai balapan, Sunghoon sudah membanting stir kesana-kemari— hampir menabrak akibat ramainya orang berlalu lalang. Inilah mengapa Sunghoon bertanya ulang, memastikan bahwa memang benar 'Ace' menginginkannya balapan di Highway Street yang terkenal akan keramaian. Tak peduli mau jam berapa, pasti selalu padat.

Sial, sial, sial. Sunghoon mengumpat. Pantas saja bayarannya mahal, lawannya adalah seorang pembalap handal, jauh lebih handal dari dirinya. Sunghoon hanya bisa menutup celah diantara mereka, selebihnya tidak bisa.

Kalau begini, bahkan gas nitro tidak akan bisa membantu.

Dan benar, Sunghoon telak kalah. Mengais nafas gemetar, paksa diri terima realita akan kehilangan uang serta melakukan entah apa yang lawannya itu mau.

Sunghoon parkir sembarangan, diujung jalan. Ia keluar dengan raut tidak enak, kepala menunduk tidak ingin melihat lawannya yang juga ikut keluar— entah mengapa, rasanya seakan Sunghoon bisa mencakar wajah apabila tau wujud dari musuh.

I lost,” Sunghoon berkata penuh kecewa, “So just tell me what do you want me to do.” Selesai berucap, masih menunduk. Hanya lihat sepasang sepatu berwarna hitam serta celana jeans robek didepannya.

I want you to come back home with me, little prince.”

Deg. Suara itu. Tidak mungkin. Sunghoon menahan nafas, merasa jantung berdentum begitu pedih melawan relung yang mencoba menahan agar tidak keluar. Tidak berani, benar-benar tidak berani menaikkan kepala.

Sunghoon takut. Bagaimana jika ia hanya berhalusinasi? Bagaimana jika sebenarnya sekarang hanya sebuah prank oleh entah siapapun yang membencinya? Bagaimana jika—

Pikiran terputus kala sebuah tangan secara halus menaikkan dagu, Sunghoon tercekat, mata bertemu mata. Heeseung, lelaki itu ada didepannya, menatapnya penuh cinta, persis sama seperti sebelumnya.

“Pulang, ya? Gue butuh lo, Sunghoon, ayo pulang,” Dahi kembali bersatu, Sunghoon terisak atas rindu menyebar menyakitkan, “Gue minta maaf, dua tahun lalu gue diam aja pas lo pergi, karena gue gak tau mau gimana.”

Tangan Heeseung elus perlahan pipi Sunghoon yang basah akibat tangisan, “Gue butuh waktu untuk berdamai dengan diri gue sendiri, dan setelahnya gue sadar, mau gimanapun, gue gak bisa hidup tanpa lo. Makanya gue pura-pura jadi Ace, dan ngajak lo balapan.”

Dugaan Sunghoon benar. Ace memang lelakinya, yang begitu dirindukan hingga semuanya sesak, mana peduli lagi terhadap dunia yang seakan berhenti disekitar mereka.

I-I thought you hate me,” Suara Sunghoon kecil, ia biarkan seluruh perasaan yang dipendam keluar, “I thought.. I thought you don't want me anymore.”

Heeseung menggeleng, memajukan wajahnya lebih dekat hingga hidung mereka ikut bersentuhan. “I'll never hate you. Hell, I'm too in love with you that I couldn't even bear with the thought of me hating you.”

Mendengar Heeseung berucap cinta setelah sekian lama membuat Sunghoon tertawa kecil, bahagia membeludak didalam hati.

Tetapi tetap saja, apa yang telah dilakukan, Sunghoon tidak berhak berjalan bersama Heeseung lagi. Oleh karenanya, Sunghoon mencoba menarik badan menjauh, berakhir sia-sia karena Heeseung mencengkram pinggangnya. Tidak memperbolehkan diri kemanapun.

“Gue gak bisa, Heeseung, le-lepas, gue gak bisa dimaafin gini aja,” Sunghoon memohon, menjauhkan wajah sejauh mungkin kala tangan Heeseung mencoba menyentuh— pedih membakar hati menjauhi sentuhan lelaki yang dicintai, namun mau bagaimana lagi? Sunghoon terlalu jatuh dalam penyesalan.

Heeseung berakhir menahan kuat dagu Sunghoon, memaksa agar saling menatap, dan Sunghoon melihat cinta bercampur rindu didalam orbit hitam lelaki itu— tidak ada yang lain.

“Gue udah maafin lo, Sunghoon. So please, come back. Please. I need you, not just me, Jay and Wonyoung needs you, Casa Segura needs you. We all need you.”

Mendengar Heeseung memohon cukup meruntuhkan dinding perlawanan yang sedari tadi Sunghoon susah payah pertahankan. Ia mengangguk penuh kalut, tambah menangis menyadari bahwa ia akan kembali bersama Heeseung.

Tawa lepas dari belah bibir ketika badan diangkat, Heeseung membawanya ke dalam mobil, tidak menaruhnya di kursi penumpang melainkan di pangkuan. Badan Sunghoon berubah menyamping, kaki menjulur hingga kursi yang seharusnya ia duduki.

Bibir dihantam bibir tak lama kemudian. Sunghoon remat helaian rambut Heeseung, geligi bergerak berantakan satu sama lain. Ingin, ingin, ingin. Sunghoon terlampau ingin, terlalu lama tidak merasa candu akan didominasi Heeseung.

Kala bibir berpisah dengan untaian saliva berhambur tak karuan, Heeseung terkekeh. “By the way, you never got the chance to ride me,” Kilat mata yang lebih tua berhias nafsu, yang mana Sunghoon langsung memajukan bibir ke telinga untuk berbisik,

Then take me home immediately, and I'll ride you until I couldn't feel my legs, Master.”