you and your curse

mengetuk perlahan. sebelum masuk, juyeon pastikan dulu angka di pintu memang benar 1501 atau bukan. hela nafas saat tau ruangannya tidak salah, kemudian akhirnya mendorong masuk.

pandangan pertama dilihat— hyunjae duduk di sofa, menatap kosong kearah jendela yang silau akan cahaya terpantul dari kaca gedung-gedung di depan rumah sakit. tampaknya tidak sadar akan kehadiran juyeon.

“hyunjae?” juyeon panggil lembut, tidak mau mengagetkan. walaupun jatuhnya tetap begitu karena ya, ia saja datang tanpa diundang— siapa yang tidak akan kaget coba?

untungnya hyunjae hanya berjengit kecil, lalu menoleh dan senyum ke arah juyeon. “juyeon,” panggilnya balik, “kenapa kesini?”

juyeon garuk tengkuk yang tidak gatal, lupa menyusun alasan logis atas pertanyaan terduga dari hyunjae. tidak mungkin kan, jika juyeon berkata ‘aku penasaran kenapa kamu tidak punya angka di tanganmu.’ itu sama saja ia hilang sopan santun.

“uh... no particular reasons..? cuma ingin berkunjung, apa tidak boleh?” berkata sambil berjalan sedikit, juyeon duduk di kursi depan kasur secara inisiatif.

“kamu lucu—tentu saja boleh, hehe!”

aduh. gemas sekali. tawa riang hyunjae, rasanya juyeon ingin mempertahankannya. ingin mendengarnya terus menerus. karena indah, suka. dirinya suka.

“lagian aku selalu kesepian disini, jadi aku senang juyeon datang.” hyunjae mengembalikan atensinya ke jendela, dan juyeon tetap tidak melepas pandangannya.

ia bergumam ‘baguslah kalau begitu’, menjawab perkataan hyunjae tadi. setelahnya, kosong pembicaraan. tetapi tidak awkward—jatuhnya nyaman.

hati juyeon terasa begitu ringan menatap hyunjae tanpa sepatah kata.

lalu teringat tujuan awal. soulmate. jujur, juyeon tidak enak hati. mereka belum kenal lama— hell, they’re still semi-strangers. tetapi juyeon bisa gila mati penasaran kalau tidak bertanya.

“uh.. hyunjae. mau bertanya sesuatu.” hyunjae menengok, tatap juyeon. “what is it, ju?”

sial, juyeon terlalu ragu. pertanyaan ada diujung lidah namun suara tidak kunjung keluar.

“apa juyeon mau tanya kenapa pergelangan tanganku kosong?” bullseye. tebakan hyunjae langsung benar.

juyeon mengangguk patah, “maaf.” takut hyunjae risih. tetapi tidak. pemuda itu hanya terkekeh kecil.

“gak apa-apa! seharusnya juyeon bertanya saja, aku tidak masalah kok.”

demi apapun, hyunjae ini seberapa sempurna sih? juyeon pening lihatnya. hyunjae benar-benar tidak risih. senyummya masih sama, masih penuh dengan kehangatan.

“the reason why i don’t have the numbers, itu karena keluargaku. uhm, panjang ceritanya tapi secara garis besar kami dikutuk.”

bentar dulu, apa? dikutuk?

paham kutukan memang ada, tetapi jaman sekarang jarang sekali sehingga juyeon sedikit kaget.

“aku tidak tau siapa yang mengutuk, tapi aku tau kenapa— orang tuaku terlalu pelit, despite having lots of money in their pockets. dan ya, seluruh anggota keluarga dikutuk entah mengidap penyakit mematikan atau tidak memiliki soulmate. begitulah.” hyunjae bertepuk sekali, seperti mengakhiri ceritanya dengan itu.

juyeon terkekeh sedikit lihat kelakuan, “begitu toh.”

“ah, tapi juyeon tau tidak? apa yang paling lucu dari seluruh cerita itu?”

rasanya tidak ada yang lucu. lantas juyeon menggeleng, sedikit bingung dengan pertanyaan hyunjae serta senyumnya yang terasa berbeda.

“kutukan itu seharusnya satu orang hanya dapat salah satu saja, but i got both.”

juyeon terdiam. pikiran kosong. lidah kelu. tidak bisa ucapkan kalimat untuk membalas. dua-duanya— tidak ada soulmate, kemudian.. penyakit mematikan? apa itu alasan sebenarnya hyunjae di rumah sakit?

retorikal. semua pertanyaan di benak sifatnya retorikal. juyeon tau, juyeon cukup pintar untuk menyambungkan satu dan dua bersama.

“tapi penyakitku tidak mematikan kok! masih bisa disembuhkan!” tawa riang hyunjae balik, hati juyeon berdenyut perih. tidak seharusnya ia begitu, seharusnya ia lega karena penyakit hyunjae tidak mematikan.

“syukurlah.” adalah satu satunya respon yang juyeon bisa keluarkan. mereka terdiam lagi sehabis itu, dan kali ini benar-benar awkward.

hyunjae yang pertama mematahkan kesunyian. “juyeon, ini sudah lumayan sore,” mengingatkannya terhadap waktu yang berjalan terlalu cepat.

“... i-iya ya? kalau begitu aku pamit pulang, hyunjae— nanti berkunjung lagi kok.” saat berdiri, rasanya tergesa. juyeon mengutuk diri dalam hati karena itu.

walaupun hyunjae terlihat tidak sadar akan hal tersebut, karena ia hanya mengangguk sambil tersenyum lebar.

“dadah, juyeon.”

dan juyeon pergi dengan relung terlilit beban, namun dibiarkan.