fantasia

shirabu mengerang. udara dingin hantam tubuh tepat ketika keluar dari gedung apartment— ya, ia tidak mendengar perkataan semi. persetan. shirabu bisa lindungi diri sendiri, bisa beli belanjaan sendiri.

jalanan mungkin dapat dibilang sepi, walau tetap masih ada beberapa mobil serta orang berlalu. setidaknya cukup untuk buat shirabu tidak terlalu takut.

senandung keluar dari mulut. sengaja, agar tidak terlalu terasa seram berjalan sendirian kala waktu hampir berada di tengah.

tidak butuh waktu lebih dari lima menit untuk supermarket jadi terlihat di pandangan mata. shirabu sedikit merasa tenang mengetahui lampu masih terang benderang, setidaknya ada beberapa yang sedang berbelanja juga.

ketika kaki melangkah untuk menyebrang, seseorang menabrak bahunya. shirabu meringis— sakit, orang itu seperti dalam kebut.

“a-ah, maaf.” adalah kalimat yang diucap shirabu sebelum akhirnya mata membulat ketika lihat bahwa orang tersebut membawa pistol.

baru saja bibir terbelah untuk kembali berucap,

dor!

suara pistol secara sayup merayap ke dalam indera pendengaran— tidak fokus lagi, pandangan berubah begitu kabur. shirabu tidak tau apa yang terjadi hingga badan terbanting begitu saja di lantai. seluruhnya berasa kebas.

sakit, sakit sekali. nafas bagai ditarik perlahan dari ujung kaki dan terus perlahan memanjat naik— shirabu ingin berteriak meminta tolong kepada keramaian yang entah kenapa sekarang mengelilinginya tapi suara tidak mau keluar.

sebentar. ‘apakah aku akan mati..?’ pikiran menyimpulkan, yang mana hati langsung panik. tidak, tidak, tidak. shirabu tidak ingin mati, masih ingin hidup,

masih ingin bersama soulmate-nya.

ah. semi. shirabu menyesal, seharusnya ia tidak membantah perintah dari semi tadi, jika saja ia tau akhirnya akan begini.

aku gak mau pergi, gak mau tinggalin kak ei..


terang adalah hal yang pertama ia lihat.

mata shirabu pun mengerjap kala terasa seperti terbangun lagi. ‘eh, dimana ini?’ pikiran shirabu bertanya bingung, tidak mengerti bagaimana bisa diri berada di sebuah ladang rumput dihiasi reruntuhan bangunan yang mirip dengan teater yunani kuno serta bunga cypress bercampur bunga kamperfuli yang mengelilingi.

“sudah bangun, ya?”

shirabu terlonjak, suara itu berasal dari sebelahnya. namun yang buat dirinya jauh lebih kaget adalah,

mengapa orang berpakaian serba putih dengan sayap yang patah di salah satu sisinya ini mempunyai wajah yang sama dengannya?

“lo—lo siapa? gue sekarang di-dimana?” secara refleks, shirabu mundur. mulai ketakutan karena ini semua tidak masuk akal, kecuali jika memang tadi ia mati sehingga sekarang ia bisa jadi berada di surga.

“hmm, eita called you ken, right?” bukannya menjawab, malah bertanya balik. “berarti panggil aku rabu aja, as in love.

sebentar, orang ini—rabu— tau semi darimana? shirabu ingin bertanya tetapi rabu sudah lebih dahulu kembali bicara, “kamu gak perlu tau kenapa aku bisa kenal eita, sama tempat ini dimana. nanti kamu tau sendiri kok,”

“yang penting sekarang, i need you to remember this. kamu sama eita terlilit kutukan, kalian sendiri penyebabnya. sebentar lagi kamu bakal balik ke dunia manusia— but you’re not a living human anymore, and not a dead person either.

benar-benar membingungkan. tetapi jauh di dalam, shirabu bisa tau dengan jelas bahwa rabu tidak berbohong. dan ketika badannya mulai menghilang bersamaan oleh kesadarannya, shirabu gagal mendengar kalimat terakhir dari sang malaikat—

“aku gak kira bakal ngomong ini sama diriku sendiri di kehidupan yang lain tapi, please, you need to end this never ending curse.

shirabu mengerang. udara dingin hantam tubuh tepat ketika keluar dari gedung apartment— ya, ia tidak mendengar perkataan semi. persetan. shirabu bisa lindungi diri sendiri, bisa beli belanjaan sendiri.

jalanan mungkin dapat dibilang sepi, walau tetap masih ada beberapa mobil serta orang berlalu. setidaknya cukup untuk buat shirabu tidak terlalu takut.

senandung keluar dari mulut. sengaja, agar tidak terlalu terasa seram berjalan sendirian kala waktu hampir berada di tengah.

tidak butuh waktu lebih dari lima menit untuk supermarket jadi terlihat di pandangan mata. shirabu sedikit merasa tenang mengetahui lampu masih terang benderang, setidaknya ada beberapa yang sedang berbelanja juga.

ketika kaki melangkah untuk menyebrang, seseorang menabrak bahunya. shirabu meringis— sakit, orang itu seperti dalam kebut.

“a-ah, maaf.” adalah kalimat yang diucap shirabu sebelum akhirnya mata membulat ketika lihat bahwa orang tersebut membawa pistol.

baru saja bibir terbelah untuk kembali berucap,

dor!

suara pistol secara sayup merayap ke dalam indera pendengaran— tidak fokus lagi, pandangan berubah begitu kabur. shirabu tidak tau apa yang terjadi hingga badan terbanting begitu saja di lantai. seluruhnya berasa kebas.

sakit, sakit sekali. nafas bagai ditarik perlahan dari ujung kaki dan terus perlahan memanjat naik— shirabu ingin berteriak meminta tolong kepada keramaian yang entah kenapa sekarang mengelilinginya tapi suara tidak mau keluar.

sebentar. ‘apakah aku akan mati..?’ pikiran menyimpulkan, yang mana hati langsung panik. tidak, tidak, tidak. shirabu tidak ingin mati, masih ingin hidup,

masih ingin bersama soulmate-nya.

ah. semi. shirabu menyesal, seharusnya ia tidak membantah perintah dari semi tadi, jika saja ia tau akhirnya akan begini.

aku gak mau pergi, gak mau tinggalin kak ei..

—-

terang adalah hal yang pertama ia lihat.

mata shirabu pun mengerjap kala terasa seperti terbangun lagi. ‘eh, dimana ini?’ pikiran shirabu bertanya bingung, tidak mengerti bagaimana bisa diri berada di sebuah ladang rumput dihiasi reruntuhan bangunan yang mirip dengan teater yunani kuno serta bunga cypress bercampur bunga kamperfuli yang mengelilingi.

“sudah bangun, ya?”

shirabu terlonjak, suara itu berasal dari sebelahnya. namun yang buat dirinya jauh lebih kaget adalah,

mengapa orang berpakaian serba putih dengan sayap yang patah di salah satu sisinya ini mempunyai wajah yang sama dengannya?

“lo—lo siapa? gue sekarang di-dimana?” secara refleks, shirabu mundur. mulai ketakutan karena ini semua tidak masuk akal, kecuali jika memang tadi ia mati sehingga sekarang ia bisa jadi berada di surga.

“hmm, eita called you ken, right?” bukannya menjawab, malah bertanya balik. “berarti panggil aku rabu aja, as in love.

sebentar, orang ini—rabu— tau semi darimana? shirabu ingin bertanya tetapi rabu sudah lebih dahulu kembali bicara, “kamu gak perlu tau kenapa aku bisa kenal eita, sama tempat ini dimana. nanti kamu tau sendiri kok,”

“yang penting sekarang, i need you to remember this. kamu sama eita terlilit kutukan, kalian sendiri penyebabnya. sebentar lagi kamu bakal balik ke dunia manusia— but you’re not a living human anymore, and not a dead person either.

benar-benar membingungkan. tetapi jauh di dalam, shirabu bisa tau dengan jelas bahwa rabu tidak berbohong. dan ketika badannya mulai menghilang bersamaan oleh kesadarannya, shirabu gagal mendengar kalimat terakhir dari sang malaikat—

“aku gak kira bakal ngomong ini sama diriku sendiri di kehidupan yang lain tapi, please, you need to end this never ending curse.

shirabu mengerang. udara dingin hantam tubuh tepat ketika keluar dari gedung apartment— ya, ia tidak mendengar perkataan semi. persetan. shirabu bisa lindungi diri sendiri, bisa beli belanjaan sendiri.

jalanan mungkin dapat dibilang sepi, walau tetap masih ada beberapa mobil serta orang berlalu. setidaknya cukup untuk buat shirabu tidak terlalu takut.

senandung keluar dari mulut. sengaja, agar tidak terlalu terasa seram berjalan sendirian kala waktu hampir berada di tengah.

tidak butuh waktu lebih dari lima menit untuk supermarket jadi terlihat di pandangan mata. shirabu sedikit merasa tenang mengetahui lampu masih terang benderang, setidaknya ada beberapa yang sedang berbelanja juga.

ketika kaki melangkah untuk menyebrang, seseorang menabrak bahunya. shirabu meringis— sakit, orang itu seperti dalam kebut.

“a-ah, maaf.” adalah kalimat yang diucap shirabu sebelum akhirnya mata membulat ketika lihat bahwa orang tersebut membawa pistol.

baru saja bibir terbelah untuk kembali berucap,

dor!

suara pistol secara sayup merayap ke dalam indera pendengaran— tidak fokus lagi, pandangan berubah begitu kabur. shirabu tidak tau apa yang terjadi hingga badan terbanting begitu saja di lantai. seluruhnya berasa kebas.

sakit, sakit sekali. nafas bagai ditarik perlahan dari ujung kaki dan terus perlahan memanjat naik— shirabu ingin berteriak meminta tolong kepada keramaian yang entah kenapa sekarang mengelilinginya tapi suara tidak mau keluar.

sebentar. ‘apakah aku akan mati..?’ pikiran menyimpulkan, yang mana hati langsung panik. tidak, tidak, tidak. shirabu tidak ingin mati, masih ingin hidup,

masih ingin bersama soulmate-nya.

ah. semi. shirabu menyesal, seharusnya ia tidak membantah perintah dari semi tadi, jika saja ia tau akhirnya akan begini.

aku gak mau pergi, gak mau tinggalin kak ei..

horizontal rule

terang adalah hal yang pertama ia lihat.

mata shirabu pun mengerjap kala terasa seperti terbangun lagi. ‘eh, dimana ini?’ pikiran shirabu bertanya bingung, tidak mengerti bagaimana bisa diri berada di sebuah ladang rumput dihiasi reruntuhan bangunan yang mirip dengan teater yunani kuno serta bunga cypress bercampur bunga kamperfuli yang mengelilingi.

“sudah bangun, ya?”

shirabu terlonjak, suara itu berasal dari sebelahnya. namun yang buat dirinya jauh lebih kaget adalah,

mengapa orang berpakaian serba putih dengan sayap yang patah di salah satu sisinya ini mempunyai wajah yang sama dengannya?

“lo—lo siapa? gue sekarang di-dimana?” secara refleks, shirabu mundur. mulai ketakutan karena ini semua tidak masuk akal, kecuali jika memang tadi ia mati sehingga sekarang ia bisa jadi berada di surga.

“hmm, eita called you ken, right?” bukannya menjawab, malah bertanya balik. “berarti panggil aku rabu aja, as in love.

sebentar, orang ini—rabu— tau semi darimana? shirabu ingin bertanya tetapi rabu sudah lebih dahulu kembali bicara, “kamu gak perlu tau kenapa aku bisa kenal eita, sama tempat ini dimana. nanti kamu tau sendiri kok,”

“yang penting sekarang, i need you to remember this. kamu sama eita terlilit kutukan, kalian sendiri penyebabnya. sebentar lagi kamu bakal balik ke dunia manusia— but you’re not a living human anymore, and not a dead person either.

benar-benar membingungkan. tetapi jauh di dalam, shirabu bisa tau dengan jelas bahwa rabu tidak berbohong. dan ketika badannya mulai menghilang bersamaan oleh kesadarannya, shirabu gagal mendengar kalimat terakhir dari sang malaikat—

“aku gak kira bakal ngomong ini sama diriku sendiri di kehidupan yang lain tapi, please, you need to end this never ending curse.

shirabu mengerang. udara dingin hantam tubuh tepat ketika keluar dari gedung apartment— ya, ia tidak mendengar perkataan semi. persetan. shirabu bisa lindungi diri sendiri, bisa beli belanjaan sendiri.

jalanan mungkin dapat dibilang sepi, walau tetap masih ada beberapa mobil serta orang berlalu. setidaknya cukup untuk buat shirabu tidak terlalu takut.

senandung keluar dari mulut. sengaja, agar tidak terlalu terasa seram berjalan sendirian kala waktu hampir berada di tengah.

tidak butuh waktu lebih dari lima menit untuk supermarket jadi terlihat di pandangan mata. shirabu sedikit merasa tenang mengetahui lampu masih terang benderang, setidaknya ada beberapa yang sedang berbelanja juga.

ketika kaki melangkah untuk menyebrang, seseorang menabrak bahunya. shirabu meringis— sakit, orang itu seperti dalam kebut.

“a-ah, maaf.” adalah kalimat yang diucap shirabu sebelum akhirnya mata membulat ketika lihat bahwa orang tersebut membawa pistol.

baru saja bibir terbelah untuk kembali berucap,

dor!

suara pistol secara sayup merayap ke dalam indera pendengaran— tidak fokus lagi, pandangan berubah begitu kabur. shirabu tidak tau apa yang terjadi hingga badan terbanting begitu saja di lantai. seluruhnya berasa kebas.

sakit, sakit sekali. nafas bagai ditarik perlahan dari ujung kaki dan terus perlahan memanjat naik— shirabu ingin berteriak meminta tolong kepada keramaian yang entah kenapa sekarang mengelilinginya tapi suara tidak mau keluar.

sebentar. ‘apakah aku akan mati..?’ pikiran menyimpulkan, yang mana hati langsung panik. tidak, tidak, tidak. shirabu tidak ingin mati, masih ingin hidup,

masih ingin bersama soulmate-nya.

ah. semi. shirabu menyesal, seharusnya ia tidak membantah perintah dari semi tadi, jika saja ia tau akhirnya akan begini.

aku gak mau pergi, gak mau tinggalin kak ei..

(horizontal rule):

terang adalah hal yang pertama ia lihat.

mata shirabu pun mengerjap kala terasa seperti terbangun lagi. ‘eh, dimana ini?’ pikiran shirabu bertanya bingung, tidak mengerti bagaimana bisa diri berada di sebuah ladang rumput dihiasi reruntuhan bangunan yang mirip dengan teater yunani kuno serta bunga cypress bercampur bunga kamperfuli yang mengelilingi.

“sudah bangun, ya?”

shirabu terlonjak, suara itu berasal dari sebelahnya. namun yang buat dirinya jauh lebih kaget adalah,

mengapa orang berpakaian serba putih dengan sayap yang patah di salah satu sisinya ini mempunyai wajah yang sama dengannya?

“lo—lo siapa? gue sekarang di-dimana?” secara refleks, shirabu mundur. mulai ketakutan karena ini semua tidak masuk akal, kecuali jika memang tadi ia mati sehingga sekarang ia bisa jadi berada di surga.

“hmm, eita called you ken, right?” bukannya menjawab, malah bertanya balik. “berarti panggil aku rabu aja, as in love.

sebentar, orang ini—rabu— tau semi darimana? shirabu ingin bertanya tetapi rabu sudah lebih dahulu kembali bicara, “kamu gak perlu tau kenapa aku bisa kenal eita, sama tempat ini dimana. nanti kamu tau sendiri kok,”

“yang penting sekarang, i need you to remember this. kamu sama eita terlilit kutukan, kalian sendiri penyebabnya. sebentar lagi kamu bakal balik ke dunia manusia— but you’re not a living human anymore, and not a dead person either.

benar-benar membingungkan. tetapi jauh di dalam, shirabu bisa tau dengan jelas bahwa rabu tidak berbohong. dan ketika badannya mulai menghilang bersamaan oleh kesadarannya, shirabu gagal mendengar kalimat terakhir dari sang malaikat—

“aku gak kira bakal ngomong ini sama diriku sendiri di kehidupan yang lain tapi, please, you need to end this never ending curse.

shirabu mengerang. udara dingin hantam tubuh tepat ketika keluar dari gedung apartment— ya, ia tidak mendengar perkataan semi. persetan. shirabu bisa lindungi diri sendiri, bisa beli belanjaan sendiri.

jalanan mungkin dapat dibilang sepi, walau tetap masih ada beberapa mobil serta orang berlalu. setidaknya cukup untuk buat shirabu tidak terlalu takut.

senandung keluar dari mulut. sengaja, agar tidak terlalu terasa seram berjalan sendirian kala waktu hampir berada di tengah.

tidak butuh waktu lebih dari lima menit untuk supermarket jadi terlihat di pandangan mata. shirabu sedikit merasa tenang mengetahui lampu masih terang benderang, setidaknya ada beberapa yang sedang berbelanja juga.

ketika kaki melangkah untuk menyebrang, seseorang menabrak bahunya. shirabu meringis— sakit, orang itu seperti dalam kebut.

“a-ah, maaf.” adalah kalimat yang diucap shirabu sebelum akhirnya mata membulat ketika lihat bahwa orang tersebut membawa pistol.

baru saja bibir terbelah untuk kembali berucap,

dor!

suara pistol secara sayup merayap ke dalam indera pendengaran— tidak fokus lagi, pandangan berubah begitu kabur. shirabu tidak tau apa yang terjadi hingga badan terbanting begitu saja di lantai. seluruhnya berasa kebas.

sakit, sakit sekali. nafas bagai ditarik perlahan dari ujung kaki dan terus perlahan memanjat naik— shirabu ingin berteriak meminta tolong kepada keramaian yang entah kenapa sekarang mengelilinginya tapi suara tidak mau keluar.

sebentar. ‘apakah aku akan mati..?’ pikiran menyimpulkan, yang mana hati langsung panik. tidak, tidak, tidak. shirabu tidak ingin mati, masih ingin hidup,

masih ingin bersama soulmate-nya.

ah. semi. shirabu menyesal, seharusnya ia tidak membantah perintah dari semi tadi, jika saja ia tau akhirnya akan begini.

aku gak mau pergi, gak mau tinggalin kak ei..

(horizontal rule)

terang adalah hal yang pertama ia lihat.

mata shirabu pun mengerjap kala terasa seperti terbangun lagi. ‘eh, dimana ini?’ pikiran shirabu bertanya bingung, tidak mengerti bagaimana bisa diri berada di sebuah ladang rumput dihiasi reruntuhan bangunan yang mirip dengan teater yunani kuno serta bunga cypress bercampur bunga kamperfuli yang mengelilingi.

“sudah bangun, ya?”

shirabu terlonjak, suara itu berasal dari sebelahnya. namun yang buat dirinya jauh lebih kaget adalah,

mengapa orang berpakaian serba putih dengan sayap yang patah di salah satu sisinya ini mempunyai wajah yang sama dengannya?

“lo—lo siapa? gue sekarang di-dimana?” secara refleks, shirabu mundur. mulai ketakutan karena ini semua tidak masuk akal, kecuali jika memang tadi ia mati sehingga sekarang ia bisa jadi berada di surga.

“hmm, eita called you ken, right?” bukannya menjawab, malah bertanya balik. “berarti panggil aku rabu aja, as in love.

sebentar, orang ini—rabu— tau semi darimana? shirabu ingin bertanya tetapi rabu sudah lebih dahulu kembali bicara, “kamu gak perlu tau kenapa aku bisa kenal eita, sama tempat ini dimana. nanti kamu tau sendiri kok,”

“yang penting sekarang, i need you to remember this. kamu sama eita terlilit kutukan, kalian sendiri penyebabnya. sebentar lagi kamu bakal balik ke dunia manusia— but you’re not a living human anymore, and not a dead person either.

benar-benar membingungkan. tetapi jauh di dalam, shirabu bisa tau dengan jelas bahwa rabu tidak berbohong. dan ketika badannya mulai menghilang bersamaan oleh kesadarannya, shirabu gagal mendengar kalimat terakhir dari sang malaikat—

“aku gak kira bakal ngomong ini sama diriku sendiri di kehidupan yang lain tapi, please, you need to end this never ending curse.

“ken.. jirou?”

suara semi tercekat, mata mulai kabur kala hati berteriak tidak percaya akan seseorang yang berada di depannya ini. shirabu— astaga, semua yang tadi diucapkan ternyata benar adanya? semi langsung memeluk, tubuh gemetar saat rasa kehangatan menguar dari tubuh yang lebih muda.

hidup, shirabu hidup. semi bisa dengar degup jantung, bisa rasa hembusan nafas terpa leher. hampir menangis jika saja shirabu tidak membuka mulut untuk berucap,

“kak ei, mending kita ke apartment dulu. kakak diliatin orang.”

ah, iya. semi lupa, shirabu sempat ada bilang bahwa orang-orang kemungkinan tidak bisa melihatnya. berarti sedari tadi semi seakan peluk udara kosong, pun akhirnya semi terpaksa lepaskan pelukan dan menahan diri untuk tidak menggenggam tangan shirabu ketika mereka berjalan balik ke apartment.

perjalanan mereka benar-benar cepat. mungkin tidak sampai lima menit, keduanya memang tidak sabar untuk berbicara atau bahkan hanya untuk sekedar menumpahkan kerinduan selama 2 hari terpisahkan.

semi bahkan tidak menyia-nyiakan waktu, langsung kembali memeluk shirabu sesaat setelah pintu tertutup. kali ini tangisan keluar tanpa hambatan.

“dek—“ panggil semi yang sedikit tidak jelas karena sedang tenggelam diantara surai coklat terang milik soulmate-nya, “don’t leave me like that again,

shirabu terkekeh. walaupun suara serak akibat tahan tangisan. “i won’t tapi aku gak bisa janji.”

lagian siapa juga yang bisa berjanji akan kehidupan atau kematian? apa yang mereka lakukan sebenarnya sudah salah, menentang kehendak. berdua tau itu— tetapi memilih untuk berpaling muka, memilih untuk kembali rajut cinta.

maka dari itu, beberapa menit kemudian, semi tersadarkan. jauhi badan shirabu sedikit—

“ken, jelasin dulu ke aku. siapa yang bunuh kamu, dan kenapa bisa kamu tau kita kutuk satu sama lain?”

“ken.. jirou?”

suara semi tercekat, mata mulai kabur kala hati berteriak tidak percaya akan seseorang yang berada di depannya ini. shirabu— astaga, semua yang tadi diucapkan ternyata benar adanya? semi langsung memeluk, tubuh gemetar saat rasa kehangatan menguar dari tubuh yang lebih muda.

hidup, shirabu hidup. semi bisa dengar degup jantung, bisa rasa hembusan nafas terpa leher. hampir menangis jika saja shirabu tidak membuka mulut untuk berucap,

“kak ei, mending kita ke apartment dulu. kakak diliatin orang.”

ah, iya. semi lupa, shirabu sempat ada bilang bahwa orang-orang kemungkinan tidak bisa melihatnya. berarti sedari tadi semi seakan peluk udara kosong, pun akhirnya semi terpaksa lepaskan pelukan dan menahan diri untuk tidak menggenggam tangan shirabu ketika mereka berjalan balik ke apartment.

perjalanan mereka benar-benar cepat. mungkin tidak sampai lima menit, keduanya memang tidak sabar untuk berbicara atau bahkan hanya untuk sekedar menumpahkan kerinduan selama 2 hari terpisahkan.

semi bahkan tidak menyia-nyiakan waktu, langsung kembali memeluk shirabu sesaat setelah pintu tertutup. kali ini tangisan keluar tanpa hambatan.

“dek—“ panggil semi yang sedikit tidak jelas karena sedang tenggelam diantara surai coklat terang milik soulmate-nya, “don’t leave me like that again,*”

shirabu terkekeh. walaupun suara serak akibat tahan tangisan. “i won’t tapi aku gak bisa janji.”

lagian siapa juga yang bisa berjanji akan kehidupan atau kematian? apa yang mereka lakukan sebenarnya sudah salah, menentang kehendak. berdua tau itu— tetapi memilih untuk berpaling muka, memilih untuk kembali rajut cinta.

maka dari itu, beberapa menit kemudian, semi tersadarkan. jauhi badan shirabu sedikit—

“ken, jelasin dulu ke aku. siapa yang bunuh kamu, dan kenapa bisa kamu tau kita kutuk satu sama lain?”

semi tatap kosong nisan bertuliskan ‘shirabu kenjirou’ yang berada di depannya.

mata bengkak, jas hitam berantakan, rambut abu lecek, air mata menguap seperti hati seolah-olah diberi anestesi. ia terlihat begitu tragis, raga ikut mati bersama belahan jiwanya.

hanya angguk tanpa semangat saat hampir semua orang—yang mana semi cuma kenali rekan kerja serta teman-teman shirabu— ucapkan kata begitu menyesakkan terdengar di telinga,

“turut berduka cita ya sem, stay strong. lo pasti bisa ngelampauin ini.”

mereka segampang itu ngomongnya, pikiran semi berkata miris. bagaimana ia bisa berlaku kuat, mengetahui bahwa kasihnya direnggut nyawa dengan paksa— semi bahkan tidak mau mengingat bagaimana amarah berkobar begitu mengerikan dalam hati kala polisi memberi tau penyebab kematian shirabu adalah karena ditembak oleh seorang pemabuk acak di jalanan.

kalau bisa saja, semi akan lacak pemabuk itu. sayang sekali cctv di area dimana kejadian terjadi pada saat itu sedang dimatikan, tidak ada juga saksi mata ataupun jejak dari sang penembak. jujur saja rasanya seperti sudah direncanakan— namun semi tepis, pasti tidak mungkin begitu.

“eita,”

seseorang memanggil, semi melirik sedikit tidak ada rasa untuk mengetahui siapa. tetapi ketika tau yang panggil adalah ibu dari shirabu, semi langsung menoleh sepenuhnya. wajah berubah dari begitu kosong menjadi penuh sendu. rasa bersalah terpancar lewat mata karena mau bagaimanapun semi gagal melindungi shirabu sedangkan dahulu sempat ada janji terucap terkait hal itu.

hangat menjalar saat sang ibu menarik semi ke pelukan menguatkan, “jangan menyalahkan dirimu, nak. ibu tau kamu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk shirabu jadi relakan dia ya? biarkan dia tenang disana.”

semi mengangguk singkat lalu tersenyum tipis seakan benar-benar mengiyakan perkataan sang ibu dari kekasih, padahal jauh di dalam hatinya,

semi tidak bisa merelakan shirabu begitu saja.

mau seberapapun jiwa tolak, hati sudah perlahan sapa ketakutan— nafas berubah begitu masai, hampir terkesan seperti tercekik kala semi paksa tungkai tanpa alas miliknya untuk berlari diatas jalanan yang dingin.

pikiran kalut. isinya hanya— shirabu, shirabu kenjirou, soulmatenya. tidak mungkin kan? yang di berita, sama sekali tidak mungkin. belum ada genap 2 jam mereka berbincang lewat pesan, shirabu sekarang pasti berada di dalam rumah.

kan semi sudah beri larangan untuk keluar. tetapi jauh di dalam hati semi tau shirabu tidak akan berpikir dua kali untuk menghiraukan perkataannya. ah, sial sial sial. semi bisa rasa mata mulai buram, sedikit demi sedikit terbelenggu tangisan.

sebentar lagi sampai di tempat kejadian, lagi-lagi semi hiraukan fakta— tempatnya dekat dengan apartment serta supermarket yang memang sering didatangi untuk belanja. masih berpegang teguh pada kebenaran semata yang dibuat agar diri tenang.

ketika sampai, polisi sudah berada di sana. banyak orang-orang berkumpul. semi tarik nafas gemetar, kaki lemas tuju badan yang terbujur kaku di tengah dengan darah masih segar disekitar.

pun mata tangkap rambut berwarna tembaga meruak dari dalam kain yang tutupi. ‘ah, tidak, kan bukan hanya shirabu yang memiliki rambut yang berwarna seperti itu.’ lalu tatapan menurun, ke arah pergelangan yang mana merupakan letak tanda soulmate—

jantung semi seakan dicaci, diinjak hingga dasar bumi paling dalam. tanda itu, bentuk jantung, hanya milik shirabu. dan sudah tidak berwarna lagi.

seketika semua begitu kosong. begitu sakit. semi tidak peduli, terobos paksa untuk dekati—telinga tuli akan teriakan polisi agar menjauh. hah, melawak. bagaimana bisa semi menjauh dari shirabu, soulmatenya, yang sekarang begitu dingin dalam pelukan dengan tangan gemetar.

“ke-ken, denger kakak kan? i’m—i’m here now, ayo bangun ya? kita belanja sekarang juga,” semi menyatukan dahi mereka, tangis terjatuh menyedihkan diatas wajah shirabu yang bersimbah darah.

sudah, hentikan semua ini. semi tidak kuat, meraung-raung tidak berhenti meminta shirabu untuk kembali, meminta kepada tuhan agar cintanya bernafas kehidupan lagi.

ia peluk shirabu semakin erat— tidak peduli baju jadi tenggelam dalam darah. bahkan ia tidak sadar orang-orang disekitarnya menatap dirinya dengan iba, polisi yang sedari tadi berteriak saja terdiam ketika mengetahui bahwa semi adalah soulmate dari sang korban.

“dek,” suara semi betul-betul serak, “you know i can’t live without you, right? aku gak bakal kuat kalau harus nungguin kamu sampai kehidupan selanjutnya lagi— ayolah, ke-ken, open your eyes, please.

memohon hingga suara habis, hingga badan mati rasa akibat dilingkupi udara dingin. karena apapun itu, semi akan lakukan apapun kalau itu bisa mengembalikan shirabu nantinya.

namun semi tidak mengetahui bahwa apa yang ia lakukan benar-benar kembalikan shirabu dengan cara paling terburuk.

mau seberapapun jiwa tolak, hati sudah perlahan sapa ketakutan— nafas berubah begitu masai, hampir terkesan seperti tercekik kala semi paksa tungkai tanpa alas miliknya untuk berlari diatas jalanan yang dingin.

pikiran kalut. isinya hanya— shirabu, shirabu kenjirou, soulmatenya. tidak mungkin kan? yang di berita, sama sekali tidak mungkin. belum ada genap 2 jam mereka berbincang lewat pesan, shirabu sekarang pasti berada di dalam rumah.

kan semi sudah beri larangan untuk keluar. tetapi jauh di dalam hati semi tau shirabu tidak akan berpikir dua kali untuk menghiraukan perkataannya. ah, sial sial sial. semi bisa rasa mata mulai buram, sedikit demi sedikit terbelenggu tangisan.

sebentar lagi sampai di tempat kejadian, lagi-lagi semi hiraukan fakta— tempatnya dekat dengan apartment serta supermarket yang memang sering didatangi untuk belanja. masih berpegang teguh pada kebenaran semata yang dibuat agar diri tenang.

ketika sampai, polisi sudah berada di sana. banyak orang-orang berkumpul. semi tarik nafas gemetar, kaki lemas tuju badan yang terbujur kaku di tengah dengan darah masih segar disekitar.

pun mata tangkap rambut berwarna tembaga meruak dari dalam kain yang tutupi. ‘ah, tidak, kan bukan hanya shirabu yang memiliki rambut yang berwarna seperti itu.’ lalu tatapan menurun, ke arah pergelangan yang mana merupakan letak tanda soulmate—

jantung semi seakan dicaci, diinjak hingga dasar bumi paling dalam. tanda itu, bentuk jantung, hanya milik shirabu. dan sudah tidak berwarna lagi.

seketika semua begitu kosong. begitu sakit. semi tidak peduli, terobos paksa untuk dekati—telinga tuli akan teriakan polisi agar menjauh. hah, melawak. bagaimana bisa semi menjauh dari shirabu, soulmatenya, yang sekarang begitu dingin dalam pelukan dengan tangan gemetar.

“ke-ken, denger kakak kan? i’m—i’m here now, ayo bangun ya? kita belanja sekarang juga,” semi menyatukan dahi mereka, tangis terjatuh menyedihkan diatas wajah shirabu yang bersimbah darah.

sudah, hentikan semua ini. semi tidak kuat, meraung-raung tidak berhenti meminta shirabu untuk kembali, meminta kepada tuhan agar cintanya bernafas kehidupan lagi.

ia peluk shirabu semakin erat— tidak peduli baju jadi tenggelam dalam darah. bahkan ia tidak sadar orang-orang disekitarnya menatap dirinya dengan iba, polisi yang sedari tadi berteriak saja terdiam ketika mengetahui bahwa semi adalah soulmate dari sang korban.

“dek,” suara semi betul-betul serak, “you know i can’t live without you, right? aku gak bakal kuat kalau harus nungguin kamu sampai kehidupan selanjutnya lagi— ayolah, ke-ken, open your eyes, please.

memohon hingga suara habis, hingga badan mati rasa akibat dilingkupi udara dingin. karena apapun itu, semi akan lakukan apapun kalau itu bisa mengembalikan shirabu nantinya.

*namun semi tidak mengetahui bahwa apa yang ia lakukan benar-benar kembalikan shirabu dengan cara paling terburuk.*