never ending curse
shirabu mengerang. udara dingin hantam tubuh tepat ketika keluar dari gedung apartment— ya, ia tidak mendengar perkataan semi. persetan. shirabu bisa lindungi diri sendiri, bisa beli belanjaan sendiri.
jalanan mungkin dapat dibilang sepi, walau tetap masih ada beberapa mobil serta orang berlalu. setidaknya cukup untuk buat shirabu tidak terlalu takut.
senandung keluar dari mulut. sengaja, agar tidak terlalu terasa seram berjalan sendirian kala waktu hampir berada di tengah.
tidak butuh waktu lebih dari lima menit untuk supermarket jadi terlihat di pandangan mata. shirabu sedikit merasa tenang mengetahui lampu masih terang benderang, setidaknya ada beberapa yang sedang berbelanja juga.
ketika kaki melangkah untuk menyebrang, seseorang menabrak bahunya. shirabu meringis— sakit, orang itu seperti dalam kebut.
“a-ah, maaf.” adalah kalimat yang diucap shirabu sebelum akhirnya mata membulat ketika lihat bahwa orang tersebut membawa pistol.
baru saja bibir terbelah untuk kembali berucap,
dor!
suara pistol secara sayup merayap ke dalam indera pendengaran— tidak fokus lagi, pandangan berubah begitu kabur. shirabu tidak tau apa yang terjadi hingga badan terbanting begitu saja di lantai. seluruhnya berasa kebas.
sakit, sakit sekali. nafas bagai ditarik perlahan dari ujung kaki dan terus perlahan memanjat naik— shirabu ingin berteriak meminta tolong kepada keramaian yang entah kenapa sekarang mengelilinginya tapi suara tidak mau keluar.
sebentar. ‘apakah aku akan mati..?’ pikiran menyimpulkan, yang mana hati langsung panik. tidak, tidak, tidak. shirabu tidak ingin mati, masih ingin hidup,
masih ingin bersama soulmate-nya.
ah. semi. shirabu menyesal, seharusnya ia tidak membantah perintah dari semi tadi, jika saja ia tau akhirnya akan begini.
aku gak mau pergi, gak mau tinggalin kak ei..
terang adalah hal yang pertama ia lihat.
mata shirabu pun mengerjap kala terasa seperti terbangun lagi. ‘eh, dimana ini?’ pikiran shirabu bertanya bingung, tidak mengerti bagaimana bisa diri berada di sebuah ladang rumput dihiasi reruntuhan bangunan yang mirip dengan teater yunani kuno serta bunga cypress bercampur bunga kamperfuli yang mengelilingi.
“sudah bangun, ya?”
shirabu terlonjak, suara itu berasal dari sebelahnya. namun yang buat dirinya jauh lebih kaget adalah,
mengapa orang berpakaian serba putih dengan sayap yang patah di salah satu sisinya ini mempunyai wajah yang sama dengannya?
“lo—lo siapa? gue sekarang di-dimana?” secara refleks, shirabu mundur. mulai ketakutan karena ini semua tidak masuk akal, kecuali jika memang tadi ia mati sehingga sekarang ia bisa jadi berada di surga.
“hmm, eita called you ken, right?” bukannya menjawab, malah bertanya balik. “berarti panggil aku rabu aja, as in love.”
sebentar, orang ini—rabu— tau semi darimana? shirabu ingin bertanya tetapi rabu sudah lebih dahulu kembali bicara, “kamu gak perlu tau kenapa aku bisa kenal eita, sama tempat ini dimana. nanti kamu tau sendiri kok,”
“yang penting sekarang, i need you to remember this. kamu sama eita terlilit kutukan, kalian sendiri penyebabnya. sebentar lagi kamu bakal balik ke dunia manusia— but you’re not a living human anymore, and not a dead person either.”
benar-benar membingungkan. tetapi jauh di dalam, shirabu bisa tau dengan jelas bahwa rabu tidak berbohong. dan ketika badannya mulai menghilang bersamaan oleh kesadarannya, shirabu gagal mendengar kalimat terakhir dari sang malaikat—
“aku gak kira bakal ngomong ini sama diriku sendiri di kehidupan yang lain tapi, please, you need to end this never ending curse.”