sorry, but i can’t

semi tatap kosong nisan bertuliskan ‘shirabu kenjirou’ yang berada di depannya.

mata bengkak, jas hitam berantakan, rambut abu lecek, air mata menguap seperti hati seolah-olah diberi anestesi. ia terlihat begitu tragis, raga ikut mati bersama belahan jiwanya.

hanya angguk tanpa semangat saat hampir semua orang—yang mana semi cuma kenali rekan kerja serta teman-teman shirabu— ucapkan kata begitu menyesakkan terdengar di telinga,

“turut berduka cita ya sem, stay strong. lo pasti bisa ngelampauin ini.”

mereka segampang itu ngomongnya, pikiran semi berkata miris. bagaimana ia bisa berlaku kuat, mengetahui bahwa kasihnya direnggut nyawa dengan paksa— semi bahkan tidak mau mengingat bagaimana amarah berkobar begitu mengerikan dalam hati kala polisi memberi tau penyebab kematian shirabu adalah karena ditembak oleh seorang pemabuk acak di jalanan.

kalau bisa saja, semi akan lacak pemabuk itu. sayang sekali cctv di area dimana kejadian terjadi pada saat itu sedang dimatikan, tidak ada juga saksi mata ataupun jejak dari sang penembak. jujur saja rasanya seperti sudah direncanakan— namun semi tepis, pasti tidak mungkin begitu.

“eita,”

seseorang memanggil, semi melirik sedikit tidak ada rasa untuk mengetahui siapa. tetapi ketika tau yang panggil adalah ibu dari shirabu, semi langsung menoleh sepenuhnya. wajah berubah dari begitu kosong menjadi penuh sendu. rasa bersalah terpancar lewat mata karena mau bagaimanapun semi gagal melindungi shirabu sedangkan dahulu sempat ada janji terucap terkait hal itu.

hangat menjalar saat sang ibu menarik semi ke pelukan menguatkan, “jangan menyalahkan dirimu, nak. ibu tau kamu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk shirabu jadi relakan dia ya? biarkan dia tenang disana.”

semi mengangguk singkat lalu tersenyum tipis seakan benar-benar mengiyakan perkataan sang ibu dari kekasih, padahal jauh di dalam hatinya,

semi tidak bisa merelakan shirabu begitu saja.