sehidup, semati.
cw // slight making out.
Satu minggu.
Total seminggu Harris tidak ada mendengar kabar, maupun melihat dan mengetahui kondisi Shaka.
Sejujurnya, mereka pernah melewati ini sebelumnya, bahkan jauh lebih lama— Harris ingat mereka hilang kontak selama hampir sebulan, dan ketika akhirnya putuskan untuk bertemu, berdua sontak berubah layak orang gila yang baru saja menghirup udara segar setelah terkontaminasi harum rumah sakit sesaat saling lihat.
Tentu tidak ingin mengulanginya.
Harris sekarang sudah cukup menderita— terlalu menyibukkan diri dengan mendadak anggap serius pekerjaan, sampai-sampai membuat Karline, asistennya, geleng kepala saat kunjungi.
Walau Karline diam saja selagi memasuki ruangan, Harris tetap tau— tidak sebodoh itu sampai tidak sadar apa yang Karline coba ucapkan tanpa berkata sembari taruh tumpukan dokumen yang diminta diatas meja.
Hela nafas pelan, Harris kasih kembali jawaban berupa tatapan yang menyuruh Karline untuk tidak mengkhawatirkan apapun, satu tangan ambil satu kertas sebagai properti pura-pura.
Sunyi semakin lama semakin berubah layak pisau, lantas buat Karline akhirnya mengendikkan bahu sok acuh dengan badan berbalik ke arah pintu, “Mending pulang, Ris.”
Pulang, ya?
Kemana Harris harus pergi berpulang, jikalau rumahnya saja mengunci pintu dan tidak memperbolehkannya masuk?
Persetan. Sudah tidak peduli entah sudah waktunya atau belum, tangan sontak ambil kunci mobil yang tidak tergerak di atas meja selama berhari-hari— Harris putuskan untuk datangi Shaka sekarang juga.
Dari sekian banyak skenario yang Harris telah bayangkan akan terjadi, ini yang tidak ia bayangkan— Shaka didepan pintu tepat setelah masukkan pin, mata berkelubung merah nan kosong dengan gestur tubuh seakan mempersilahkan masuk.
Tidak, sama sekali tidak dikira. Harris pikir Shaka akan berteriak, akan mengusir— oh, pantas saja tidak seperti itu, Harris sadar disaat ia masuk ke dalam; Shaka sama sepertinya, sama lelahnya, ingin cepat selesaikan apapun yang sedang terjadi diantara mereka.
Maka akhirnya disinilah mereka berhadap-hadapan di tengah lorong, ada ringisan yang Harris tahan kala lihat jelas pipi Shaka sedikit menirus, pun Shaka juga tahan isak lihat bagaimana rambut Harris yang tidak karuan— berdua sebanding kacaunya.
Harris keluarkan dehaman serak, tangan terkepal gemetaran di sisi tubuh, “Shaka,” panggilnya lembut bak takut melukai lebih lanjut.
Yang dipanggil diam saja, bibir ditipiskannya jadi satu garis— entah sebagai tanda ia dengarkan, atau agar tangis tak mengalun bebas.
Tangan Harris masih tidak berhenti gemetar, apalagi begitu dinaikkan perlahan guna tangkup pipi Shaka. Suara berubah kecil, “Maafin aku.”
Sedetik, dua detik. Tak, tak, tak. Bunyi denting jam menghantui, sebelum akhirnya pendengaran Harris seakan diporak-porandakan hingga berdengung—
Shaka gila. Sebenar-benarnya hilang akal, sekedar ucapan kata maaf buatnya tidak bisa berpikir lurus dan merasak maju agar kedua bibir bersatu.
Pun Harris terikut, tenggelam dalam gilanya, tangan yang menangkup berubah menuntut— seakan tiada sedetik lalu hati berdentum perih.
Lagipula, apalah daya perih itu kala dihadapkan dengan ingin?
Maka wajar tak bisa Harris berhenti sekalipun rasa tercekik, kalap habisi bibir Shaka akibat rindu— terlampau rindu hingga lidah sekarang saling beradu, bersamaan dengan geligi tanpa ampun menubruk satu sama lain.
Tubuh Shaka didorong mundur, mundur, mundur— berhenti sehabis punggung telak menabrak belakang sofa.
Mungkin akan masih lanjut rakus melumat, bahkan menjurus lebih, jika saja Shaka tidak mendadak tersadar bahwa apa yang dilakukan keduanya salah.
Sontak jemari tarik kuat rambut Harris menjauh, walau hanya berhasil memutus pangutan saja— dahi masih bersandar satu sama lain, begitu pula dengan hidung yang bergesek pelan.
Mata Shaka sudah sayu, tetapi dipaksa menatap tajam lelakinya, “Enggak—” Ucapnya serak, terputus oleh maruknya raupan nafas, “Gak gini, Harris. Ja-jawab dulu, jawab aku. Jawab pertanyaanku.”
Dari sekian banyak skenario yang dibayangkan, inilah salah satu yang Harris sudah tebak akan terjadi. Tetap saja tubuh berubah tegang dan Shaka bisa rasakan.
Yang lebih muda tidak menunggu jawaban, menurutnya sudah cukup jelas— tangan Harris yang menangkup pipi ia tepis kasar, tubuh ia dorong sejauh mungkin.
“Keluar,” Shaka usir dengan isakan, tidak lagi peduli mau bagaimana akhir dari kisah keduanya, “Keluar, brengsek— keluar!”
Teriakannya penuh pilu, sayang hanya dibalas oleh gelengan dari Harris. Tidak menuruti permintaan Shaka.
Malah kembali mendekati, kedua tangan menangkup kembali pipi Shaka yang basah akan tangisan.
“Aku gak bisa jawab sesuai apa yang kamu mau,” Jemari Harris hapus satu persatu jejak tangis milik Shaka yang masih mencoba memberontak, “Tapi aku bisa kasih kamu janjiku.”
Shaka tatap Harris penuh ketidakpercayaan, “A-aku gak butuh, aku gak mau itu— le-lepas!”
Helaan nafas dikeluarkan Harris, kepalanya menggeleng tidak setuju, dahi kemudian lagi-lagi disandarkan satu sama lain.
Tiada aba-aba, Harris langsung ucapkan janji, sekalipun Shaka tidak mau dengarkan.
“Disaat susah maupun senang, kelimpahan maupun kekurangan, sehat maupun sakit,”
Tatapan Harris melembut, merasa Shaka mematung tepat saat sadari apa janji yang dimaksud.
Pun kedua ibu jari mengelus pelan rahang sebelum melanjutkan, “Untukmu dan kepadamu aku hidup, dan kepadamu lah aku berpulang— sehidup semati, ini janjiku padamu,”
Perlahan Harris turun pada satu kaki, satu tangan sekarang memegang pasang tangan Shaka yang gemetaran, sedangkan satunya ambil cincin yang telah berada dalam saku sejak entah kapan untuk dipakaikan— tidak peduli belum bertanya dan belum diiyakan.
Setelah sukses hiasi jari cantik Shaka dengan lingkar emas, Harris bawa naik kedua tangannya ke bibir, dikecup penuh cinta sambil mempertahankan kontak mata;
“Arshaka Argantara, when the time is right, will you let me have you forever?”