i won
tangan geret koper keluar dari halaman sekolah, berhenti saat berada di perbatasan gerbang depan. kita hela nafas—tambah menenggelamkan wajah dalam lipatan syal tebal akibat udara dingin terlalu menusuk.
jika tadi ia bersenang-senang, tersenyum karena berhasil lepas dari dunia sma, sekaligus meraih peringkat pertama, sekarang pikirannya kacau.
‘apa suna juga akan pergi sama seperti orang tuaku?’
ah. ketakutan. lama sekali kita tidak rasa hal ini, tidak semenjak orang tuanya serta neneknya yang membesarkannya meninggalkan dirinya.
kita terbiasa berada di sisi tanpa ada keramaian dari sd, namun bukan berarti ia kuat untuk kehilangan orang lagi dalam hidupnya. kalau suna pilih osamu (yang mana kemungkinannya lebih besar) maka kita benar benar akan anggap diri memang disuruh untuk sendiri dari awal.
“nak kita, apa tidak naik bis, nak? terakhir jam 8 loh. ini sudah jam 7 lewat.” itu bapak penjaga, sedari tadi lihati anak anak angkatan kita pergi dan juga kita yang masih setia berdiri.
“nanti, pak. kita masih tunggu seseorang.”
ya, kata suna— tunggu sampai jam 8. bisa dibilang, itu adalah batas waktunya jadi kalau ia tidak datang sebelum itu, maka ia pilih osamu dibanding kita. begitu saja simpelnya.
tapi ini sudah jam 7 lewat. haruskah ia relakan semuanya dan pergi langsung?
baru saja kaki ingin melangkah, telinga dengar derap kaki serta hidung cium scent segar yang begitu ia rindukan— suna. ia ada disini. alpha itu ada disini.
sontak kita menoleh, lepaskan koper begitu saja, berlari ke arah suna lalu peluk lelaki itu erat. rindu, sangat rindu, kita hampir menangis kalau saja ia tidak berada dekat dengan scent glands milik suna yang menenangkan dirinya.
tunggu. sebentar dulu— kita tarik dirinya, tatap suna tepat di mata, coba mencari jawaban di dalam gelap. astaga ternyata begitu, toh. pantas saja rasanya tidak enak. kita tertawa miris,
suna kesini bukan untuk ikut bersamanya namun untuk mengucap perpisahan. alpha itu memilih osamu— persis seperti apa yang tadi dipikirkan.
tanpa sadar tangisan keluar, kita kembali tenggelamkan diri dalam pelukan suna yang panik, “shin—astaga, aku mohon jangan menangis,”
“to-tolong jangan pergi, rin,” isakan menyedihkan menusuk telinga, “aku— aku minta maaf aku gak bisa lepasin kamu, tolong, sta-stay with me, hiks, like you did that dawn when you took care of me,”
tangan suna tangkup kedua pipi kita gemetaran, nafas lelaki itu masai sekarang— “i’m sorry, aku udah buat keputusan shin, aku kesini cuma mau bilang goodbye aku haru—“
“—no, no, no, no! li-liat aku, liat ke mataku, hiks, and tell me, am i not the one you love right now?”
kita potong kalimat suna, lalu ajukan pertanyaan yang mana sukses buat suna terdiam. mata saling beradu, wajah begitu dekat hingga sama sekali tidak ada kebohongan yang bisa ditutupi sehingga sekalipun suna mengelak, kita akan tau.
“rin, jawab.. please.”
dan saat itu juga kita berhasil buat suna luluh, sadarkan alpha itu siapa yang hati gumamkan untuk sekarang,
“... ya, that’s right.”
pun tangan kita naik, genggam salah satu tangan suna yang tangkup pipinya— “kalau gitu, hiks, apa susahnya ikut sama aku..? a-ayo pergi bareng, rin. tolong, i can’t have you go away from my life like other people always do to me.”
mungkin sekarang kita terlihat begitu memilukan, mengais-ngais atas cinta. menangis tersedak tahan perih di relung. tetapi ia tidak peduli, sama sekali tidak peduli, jika itu bisa buat suna menetap dengannya— maka kita akan lakukan.
tidak ada jawaban dari suna, melainkan hanya ada kecupan lembut di pelipis kita, sebelum akhirnya alpha itu menundukkan kepala. letakkan bibir di scent glands kita lalu—
“ah!” sang omega memekik kaget, tangisan tambah tidak terhenti kala sekarang ia bisa rasa degup jantung suna, bisa dengar dentuman nafas lelaki itu secara jelas.
suna, ia menggigit kita, mengikatnya sebagai kepemilikan. dengan begitu mereka sudah bonded, atau kalau guna kata lain,
itu adalah jawaban nonverbal atas ajakan kita tadi. suna akan ikut dengannya, yang mana kita dirangkul ketika mereka melangkah menjauh dari sekolah.
namun sebelum itu, kita sempatkan untuk menoleh sedikit kebelakang— ke arah kamar osamu yang kita tau sedari tadi memperhatikan dengan tatapan kosong.
tersenyum miring, ia ucapkan tanpa suara,
‘aku menang, osamu.’